Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Kisah Dua Jip Membelah Gelap

Aksi penyelundupan mobil asal Malaysia makin merajalela di perbatasan Kalimantan. Sebagian lewat pintu resmi yang dijaga polisi.

11 Juli 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Senja telah menghampiri kawasan Jagoi Babang, Kabupaten Bengka yang, Kalimantan Barat. Dalam kesenyapan hutan Kalimantan, tiba-tiba dua jip besar menderu, meluncur dari arah perbatasan Malaysia. Sebuah jip putih bermerek Toyota Land Cruiser model Ninja. Yang satunya lagi bermerek sama dengan tipe Prado TZ berwarna perak. Kemilau dua mobil mewah itu sungguh kontras dengan jalan aspal yang hitam dan mulai diselimuti gelap.

Setelah sekitar empat jam membelah hutan, mereka tiba di Pontianak pada Kamis malam, dua pekan lalu. Sekitar pukul 21.00 WIB, keduanya menyusup ke halaman Hotel Kapuas Palace. Berpelat nomor B-8587-KS, jip Ninja dikemudikan oleh Hendro. Jip Prado yang bernomor B-248-VO disetir oleh Anong. Setelah memarkir mobilnya di sebuah garasi di belakang hotel, mereka langsung masuk kamar hotel.

Aneh, kedua mobil itu berpelat B, yang menunjukkan nomor mobil Jakarta. Padahal, sungguh mustahil ada mobil dari Jakarta yang bisa seenaknya berkeliaran di wilayah Malaysia lalu masuk ke wilayah Kalimantan Barat. Keanehan ini terjawab setelah muncul kegaduhan di Hotel Kapuas Palace sejam kemudian. Bersenjata lengkap, tiba-tiba sejumlah polisi dari Kepolisian Daerah Kalimantan Barat masuk kamar yang disewa Hendro dan Anong.

Tanpa perlawanan, Hendro dan Anong ditangkap, lalu digelandang ke tahanan Polda Kalimantan Barat. Dua mobil mereka pun turut dibawa, kemudian diparkir di halaman Polda. ”Ini barang selundupan,” kata Komisaris Besar Heru Setiawan, Direktur Reserse dan Kriminal Polda Kalimantan Barat. Rencananya, kedua jip keluaran 2002 itu hendak dijual di Jakarta. Itu sebabnya, pelatnya dipalsukan dengan nomor mobil Jakarta.

Kepada polisi, kedua sopir mobil mewah itu mengaku hanya sebagai orang suruhan. ”Kami dibayar masing-masing Rp 1 juta untuk membawa mobil,” kata Anong kepada polisi yang memeriksanya. Menurut Heru, mereka berada dalam kendali sekelompok penyelundup mobil di kalimantan. Namun, dia tak bersedia mengungkap identitas mafia ini. ”Nanti mereka malah kabur,” katanya.

Jika nama kelompok itu diungkap, Heru juga khawatir operasi polisi memberantas penyelundupan mobil jadi berantakan. ”Untuk kasus ini saja kami sudah mengintainya selama enam bulan,” katanya.

Sebenarnya, tak begitu repot untuk menelusuri jejak penyelundup mobil mewah di Kalimantan. Tinggal menyamar sebagai pembeli, si pelacak akan langsung berhadapan dengan penyelundup. Mereka tak menutup diri seperti penyelundup di Jakarta maupun Surabaya.

Wartawan Tempo yang menelusuri liku-liku penyelundup mobil di Kalimantan menemukan sejumlah sindikat yang masih aktif. Masing-masing kelompok menguasai tiga titik penyeberangan mobil dari Malaysia, yaitu Nanga Badau di Kabupaten Kapuas Hulu, Entikong (Kabupaten Sanggau) dan Jagoi Babang. Penamaan geng penyelundup ini juga disesuaikan dengan nama kawasan yang dikuasainya.

Salah seorang bos kelompok Jagoi Babang dengan terus terang mengaku sebagai pemilik mobil yang ditangkap polisi. Dia menjelaskan, jip itu memang hendak diseberangkan ke Jakarta melalui pelabuhan Pontianak. ”Calon pembelinya sudah ada,” katanya kepada Tempo. Satu unit jip bekas itu dilepas dengan harga Rp 110 juta. Di Malaysia, mobil itu dibeli hanya dengan harga Rp 60 juta. Sedangkan harga unit yang baru dan legal hampir semiliar. ”Mobil itu tertangkap akibat kecerobohan teman-teman,” ujarnya.

Si penyelundup yakin peristiwa penangkapan itu juga melibatkan pesaingnya. ”Kami dikerjai sindikat lain yang bekerja sama dengan aparat,” katanya. Menurut dia, semua sindikat penyelundupan menjalin kerja sama dengan aparat kepolisian. ”Mustahil kami memasukkan mobil tanpa kerja sama dengan mereka. Kami memberi mereka Rp 10-25 juta untuk setiap mobil, “ katanya. Soalnya, saat membawa mobil lewat jalan darat dan banyak pos polisi yang harus dilewati.

Jika tak mau bekerja sama dengan aparat, mereka bisa menyelundupkan mobil melalui jalan tikus di kawasan Lubuk Antu, Badau, Jagoi Babang, dan Serikin. ”Ini cara murah, namun risikonya berat,” katanya. Di Kalimantan Barat ada 64 jalan tikus yang tembus ke Malaysia. Sedangkan jalan resminya cuma satu, yaitu dari Entikong ke Pontianak sepanjang 867 kilometer.

Mendengar tudingan ada anak buahnya yang main mata dengan penyelundup, Kepala Kepolisian Daerah Kalimantan Barat Inspektur Jenderal Nanan Sukarna langsung meradang. Dia mengatakan, kalau memang ada oknum polisi yang bekerja sama dengan gembong mafia penyelundupan, ia akan ditindak dengan tegas. ”Tunjukkan kepada saya yang mana orangnya, pasti saya copot,” katanya. Hanya, dia meminta agar tidak semua anggota polisi disamaratakan. ”Masih banyak polisi yang baik,” ujarnya.

Cara lain yang digunakan oleh penyelundup adalah bekerja sama dengan sindikat dari Malaysia dan Brunei. Mereka membawa masuk mobil melalui Entikong dilengkapi surat resmi dan jaminan asuransi. Di Entikong, persyaratannya juga tak rumit. Hanya butuh paspor dan surat kendaraan. Pintu yang dilewati hanya kantor imigrasi, Jawatan Pengangkutan Jalan Malaysia, dan polisi yang bertugas di pintu perbatasan Entikong. Kaca depan mobil akan ditempeli stiker yang menunjukkan pengesahan dan batas waktu pemberlakuan izin berada di luar negeri.

Nah, ketika pulang ke negaranya, sindikat dari Malaysia dan Brunei tadi melaporkan mobilnya telah hilang. Jadi, ada keuntungan yang diperolehnya: selain mendapat uang dari hasil menjual, si penyelundup juga mengantongi uang dari asuransi.

Mobil asing bersurat resmi dan berjaminan asuransi itu bisa berseliweran di Pontianak selama dua bulan. ”Jadi, kecil kemungkinan untuk ditangkap,” kata seorang penyelundup dari Entikong. Nah, selama tenggang waktu itulah diupayakan mobil diseberangkan ke Jakarta.

Modus seperti ini juga merepotkan polisi. ”Soalnya, ketika kami melaporkan ada mobil dari Malaysia dan Brunei yang kami tahan, mereka (pemilik mobil) tak meresponsnya,” kata Komisaris Besar Heru. Apalagi, jika si penyelundup warga Malaysia secara cerdik menjadikan mobilnya sebagai jaminan utang pada warga Pontianak. Kini di halaman parkir Polda Kalimantan Barat ada belasan mobil sitaan. ”Semua mobil itu telah dijadikan jaminan utang,” katanya. Namun, warga Malaysia yang dipanggil untuk diperiksa tak mau datang.

Tak jarang pula mobil yang diselundupkan ke Pontianak adalah mobil curian. Di Malaysia, para penyelundup bekerja sama dengan sindikat yang beroperasi di kawasan Malaysia Timur. Ada juga sindikat lain yang beroperasi di Malaysia Barat. Mereka ini juga bekerja sama dengan pencuri mobil. Kawasan yang dikuasai adalah Malaka, Pelabuhan Teluk Kemang dan Port Dikson, Negeri Sembilan, serta Pelabuhan Bagan Talang, Selangor.

Menurut data dari Kedutaan Besar RI di Kuala Lumpur, grafik penyelundupan mobil dari Malaysia ke Indonesia naik turun. Pada 2003, tercatat 26 kasus penyelundupan. Angka ini menurun pada 2004, hanya 22 kasus, tapi melonjak lagi pada tahun ini. Sampai Maret lalu saja sudah 68 kasus yang tercatat.

Tahun ini, Polri yang bekerja sama dengan Polisi Diraja Malaysia sudah menggulung dua sindikat penyelundup mobil, di antaranya kelompok Garuda yang beroperasi di kawasan Riau dan Usop di Malaka Tengah. Sindikat ini bekerja sama dengan bandit penyelundup di Batam. Sebelum masuk ke Batam, mobil dibawa melalui jalan darat ke Singapura, lalu di kirim ke Batam dengan kontainer.

Mobil selundupan dari Singapura tak hanya datang dari Malaysia, tapi juga dari Negeri Singa itu sendiri. Soalnya, bagi warga Singapura, mobil yang sudah berumur 10 tahun harus dihancurkan. Pilihannya tentu lebih baik dijual ke Indonesia. Harga mobil berusia 10 tahun di Singapura hanya Rp 3 juta, dan di Batam bisa dijual jauh lebih mahal.

Tahun ini, sudah empat kali kapal pengangkut belasan mobil mewah ditangkap petugas Bea dan Cukai di Batam. Namun, penangkapan ini tetap saja tak membuat penyelundup jera. Sampai kini penyelundupan mobil di Batam masih berlangsung. ”Sangat sulit menghentikan penyelundupan mobil,” kata Souvenir, Kepala Pemberantasan dan Penindakan Bea dan Cukai Batam.

Souvenir tak bersedia mengungkapkan masalah yang dihadapinya. Begitu juga dengan atasannya, Kepala Bea dan Cukai Batam, Rachman Natawijaya. ”Pokoknya, payah. Payah, titik,” kata Rachman. Apakah banyak aparat yang terlibat di sini? Rachman dan Souvenir memilih untuk tutup mulut ketimbang bercerita.

Masalah lain, menurut Perwira Penghubung Polri di Kedutaan Besar RI di Malaysia, Komisaris Besar Polisi Dwi Priyatno, adalah kondisi pengamanan di wilayah perbatasan. Masih banyak pelabuhan dan pintu perbatasan yang dijadikan jalur penyelundupan yang belum terpantau polisi.

Pintu-pintu perbatasan di Kalimantan Barat sebenarnya selalu diawasi oleh polisi, tapi selalu ada mobil selundupan yang lolos. Itu sebabnya, Dwi Priyatno berpesan agar aparat di lapangan memantau secara cermat dan saksama setiap stiker bebas masuk ke Indonesia yang terpasang di mobil orang Malaysia. Sebab, bisa saja stiker itu palsu.

Kepala Polri Jenderal Sutanto pun sudah mendapat laporan tentang adanya berbagai kasus penyelundupan, terutama di perbatasan Kalimantan. Dia berjanji akan segera mengevaluasi kinerja anak buahnya. Jika ada yang terlibat dipastikan akan ditindak. ”Selain itu, kami akan memperkuat pengamanan di kawasan yang rawan penyelundupan,” katanya.

Nurlis E. Meuko, Harry Daya (Pontianak), Rumbadi Dalle (Batam), dan T.H. Salengke (Malaysia)


Dari Sabang sampai Surabaya

Sungguh gampang menyelundupkan mobil mewah ke negeri ini. Hampir semua pelabuhan bisa ditembus. Mau lewat Sabang, bisa. Mau menyelundupkan lewat Surabaya pun tidak masalah. Ada juga mobil yang dimasukkan lewat darat, seperti yang terjadi di perbatasan Entikong, Kalimantan. Selain dijual di daerah terdekat, mobil-mobil itu juga dilempar ke Jakarta. Inilah jalur-jalurnya.

1. Sabang Pemain: Seorang pemain lokal dibantu cukong Jakarta yang dibekingi aparat lokal. Modus: Memanfaatkan Sabang sebagai daerah bebas masuk mobil dari negara tetangga. Jalur: Dikirim melalui Pelabuhan Cady (Singapura), Terminal 1 Jurong (Malaysia) ke Balohan, Sabang. Sebagian besar mobil ini dikirim ke Jakarta.

2. Medan Pemain: Mafia Medan dan Jakarta. Jalur: Mobil dari Malaysia dan Singapura dimasukkan melalui Pelabuhan Belawan. Muatan dipindah ke kapal domestik, sebelum dikirim ke pelabuhan tujuan.

3. Riau dan Jambi Pemain: Empat penyelundup lokal dan cukong Jakarta serta Bandung. Jalur: Mobil dari Singapura dikirim dengan kapal kayu dari Cady (pelabuhan kecil di Singapura).

4. Batam Pemain: Orang lokal dibekingi aparat. Jalur: Mobil Singapura dimasukkan ke Batam dan sebagian dikirim ke daerah-daerah lain.

5. Lampung Pemain: Sekitar empat cukong dari Jakarta. Jalur: Mobil dari Singapura diselundupkan melalui Batam, dibawa ke Jakarta.

6. Jakarta Pemain: Beberapa cukong besar. Modus: Mobil dari Singapura dan Dubai dimasukkan ke Jakarta dengan memanfaatkan perusahaan ekspedisi yang punya lobi hebat di Pelabuhan Tanjung Priok.

7. Pontianak Pemain: Malaysia, Pontianak, dan Jakarta. Jalur: Mobil langsung dibawa penjual dari Malaysia lewat Entikong ke pembeli di Pontianak.

8. Surabaya Pemain: Cukong setempat dan Jakarta. Jalur: Mobil bekas dari Singapura, Batam, dan Malaysia diselundupkan lewat Pelabuhan Tanjung Perak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus