Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Mega-mega dan Mimpi Fitri

Fitri Setyaningsih merefleksikan kenangan masa kanaknya dalam koreografi terbarunya di Salihara.

31 Oktober 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

FITRI Setyaningsih muncul. Ia bersanggul rambut putih, berkebaya dan berkain jarik. Seperti perempuan sepuh. Ia kemudian menunggang kuda-kudaan. Bergoyang-goyang sendiri cukup lama. Pemandangan itu terlihat kontras. Sosok tua bergelung menunggang kuda-kudaan kayu yang jauh lebih kecil ukurannya dibanding tubuhnya. Dalam ­folklor Jawa, kita mengenal kuda sembrani. Kuda yang bisa terbang mengarungi awan, mega-mega. Melihat kuda itu mengangguk-angguk repetitif dan ritmis, imajinasi kita melenting seolah-olah kuda itu siap membawa terbang sang perempuan tua.

Adegan yang memikat ini (berada di tengah-tengah koreografi) segera mampu menyampaikan gagasan bahwa koreografi Fitri ini berhubungan dengan kenangan-kenangan masa kanaknya. Menurut Fitri, di masa kecilnya, sekali waktu dia pernah bertemu dengan seorang perempuan tua berambut putih, berkebaya, dan berkain. Perempuan itu berkata kepada Fitri bahwa dia akan membubung tinggi seperti mega-mega, awan. Ucapan itu mengendap lama dalam benak Fitri. Dan jadilah koreografi Mega Mendung, yang disajikan dalam Salihara International Performing Art, Jakarta Selatan, 21 Oktober lalu.

Pentas dimulai dengan kepulan debu dalam remang cahaya biru menyambut penonton. Para penari bergerak menyebar dengan langkah menyaruk debu. Membuat panggung dipenuhi debu yang mengepul. Bertujuh mereka meriung di bawah sebuah set kerangka besi yang bergelombang dan mempunyai jembatan. Gerakan tubuh mereka doyong ke kiri-kanan perlahan seperti mengikuti angin.

Para penari berdiri di atas wajan baja, seperti berjungkat-jungkit mempertahankan keseimbangan. Berdiri-jongkok dengan perlahan. Telinga merasa ngilu akibat suara baja bergesekan dengan hasil ayakan debu pasir itu. Apalagi saat mereka menggeser wajan itu sambil tetap berdiri di atasnya. Kali ini mereka sambil meraih tali seperti pelaut menambatkan kapal di pantai.

Fitri Setyaningsih memutar waktu di masa kanak-kanaknya. Menurut dia, kenangan tentang perempuan tua dan mega itu mulanya menyeruak kembali tatkala dia melihat gambar mega di wayang beber dan kain batik Cirebonan yang bernama Mega Mendung. Penasaran dengan motif mega itu, dia pun melacaknya ke Lasem, Rembang, Jawa Tengah; dan Banyuwangi, Jawa Timur.

Bagian lain yang terasa menyajikan kenangan masa kanak-kanak yang kuat adalah adegan tatkala di set besi itu, di ketinggian dua meter, seorang penari mencoba meniti sebilah rangka. Dia melangkah hati-hati berusaha menyeimbangkan tubuhnya. Dia berusaha keras agar tidak jatuh. Sementara itu, teman-temannya berjajar di jembatan besi dan mengangkat lapisan rok luar berwarna putih dan tersingkaplah warna biru, warna langit. Di sini kita melihat adegan ini berkaitan dengan gagasan ketakutan dan keberanian di ketinggian.

Koreografi Fitri tak banyak mengeksplorasi tubuh. Pada adegan para penari yang bergerak ke sana-kemari, berpencar ke sana-kemari, lalu terlihat ada yang berdiri meringkuk, menggigil kedinginan. Bergantian menggigil dan menjadi tenang kembali saat penari lain menyentuhnya. Seperti mengalirkan energi positif yang menghangatkan.

Untuk adegan menggigil ini, mereka berlatih di sebuah pantai bertebing tinggi di Pacitan, Jawa Timur. Mereka bermandi angin selama dua hari pada jam-jam tertentu ketika angin bertiup kencang dan dingin. "Kami berlatih pagi dan sore. Itu benar-benar dingin, pulang-pulang kembung masuk angin," ujar Otniel Tasman, salah seorang penari. Untuk adegan debu, dalam proses latihan pun para penari harus berupaya agar tidak batuk terkena debu. Mereka tak menutup hidung dan mulut dengan masker atau kain. "Saat latihan mulanya pakai pasir, tapi setelah itu pasir itu kemudian diayak sehingga debunya lebih halus," ujar Otniel.

Yang mengejutkan, secara artistik, ternyata dalam set besi ada bagian yang bisa dikerek. Beberapa penari bergerombol berdiri dalam sebuah bidang yang ternyata bisa diangkat. Dua penari mengerek lift manual itu. Mereka yang dikerek bergembira, apalagi tatkala tiba-tiba ada air dari atas menggerojok mereka. "Hujan" itu membuat anak-anak bersorak. Sekali lagi kita melihat bahwa adegan ini tentu berkaitan dengan kenangan Fitri tentang ketinggian di masa kanak-kanak.

Pentas Fitri ini (dan juga musik yang digarap Gondrong Gunarto dari Solo) menarik. Apalagi jika tubuh para penarinya mampu lebih kuat mengeksplor set besi dan terus-menerus dari awal sampai akhir mampu menyajikan imaji tentang mega mendung dan ketinggian. Yang kurang adalah bagaimana memfokuskan dan menguatkan struktur koreografi ini pada gagasan tentang mega itu. Fitri ingin banyak memasukkan kenangan masa kanaknya tak terbatas pada ide tentang mega. Adegan debu dan pembagian setangkup beras merah dan putih di selembar kain putih kecil kepada penonton di akhir itu memang mengasyikkan, tapi menjadikan fantasi tentang mega tersebut kabur dan hanya menjadi fragmen-fragmen.

Seno Joko Suyono, Dian Yuliastuti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus