Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seniman performing art Melati Suryodarmo menenteng gulungan kasur tipis ke tanah lapang yang berdebu. Ia menggebukkan alas tidur itu ke tubuh seniman Hendra Setiawan. Badan Melati pun tak luput dari pukulan kasur. Melati bersama lima seniman dari Studio Plesungan, Karanganyar, Jawa Tengah, menggelar gulungan alas tidur.
Mereka tidur tengkurap dan bermalas-malasan. Lagu berbahasa Estonia, berkisah tentang anak yatim piatu yang kehilangan rumah, mengiringi pertunjukan. Setelah puas tidur, mereka bangun dan menyelimuti tubuh hingga kepala. Mereka berjalan ke sana-kemari, bermain-main. Penari Agus Margiyanto, berkostum hitam, datang dari panggung. Lonceng-lonceng mini berbobot 35 kilogram menempel di baju yang ia pakai. Ia melompat mirip gerakan hewan buas dari panggung ke tanah.
Agus melakonkan watak jahat. Lonceng menghasilkan bunyi dari gerakannya. Dia mengganggu kegembiraan enam orang yang memerankan watak pemalas. Untuk membangun suasana kengerian ketika diganggu lakon jahat tadi, Cahwati melantunkan sedikit lirik dari tari gandrung Banyuwangi. Enam seniman membebatkan kasur pada tubuh mereka seperti orang bersarung. Mereka bergerak persis lomba balap karung. Agus dan enam orang lainnya berkejaran.
Performing art berjudul Mulih Ngalih ini adalah karya bersama Melati dan seniman Studio Plesungan. Pertunjukan ini ditampilkan dalam Festival Lima Gunung XIV di Dusun Mantran Wetan, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Magelang, Jawa Tengah. Panggung pertunjukan di halaman rumah penduduk berdinding gedek itu membelakangi Gunung Andong. Pentas dibikin sederhana menyesuaikan dengan suasana masyarakat desa.
"Tujuan kami menghibur dengan tema pertunjukan yang sederhana," kata Melati. Melati adalah seniman asal Solo yang mendalami performance art secara serius saat kuliah di fakultas seni rupa di Braunschweig, Jerman, 21 tahun lalu. Pencetus festival, Sutanto Mendut, menyatakan penampilan Melati menjadi daya tarik festival. Selain menghadirkan Melati, pesta rakyat itu menyuguhkan Mila Rosinta, penari muda. Perempuan kelahiran Jakarta, 15 Mei 1989, itu dikenal membuka sekolah tari Mila Art Dance School di Sleman, Yogyakarta.
Mila menyuguhkan karya berjudul Sari Menari. Tarian ini pernah dipentaskan Mila bersama musikus muda Leilani Hermiasih alias Frau di Yogyakarta. Awalnya Mila ingin mengajak Frau bermain piano dalam Festival Lima Gunung. Tapi Frau berhalangan. Mila hanya menggunakan rekaman permainan piano dari Frau untuk mengiringi pentasnya.
Tarian Sari Menari muncul dari hasil penelitian Mila dan Frau. Karya ini berbicara tentang penari yang sangat sepuh. Penari ini memiliki semangat yang tinggi untuk selalu berkarya dan menari. Namun ia sadar akan usianya yang senja. Penari ini kemudian berusaha keras menularkan kemampuannya kepada penari muda.
Mila mula-mula mengenakan topeng. Ia menggerakkan tulang belikat secara lentur, kemudian membungkuk, menggerakkan dua kakinya layaknya seorang manula. Pada akhir pertunjukan, Mila mencopot topeng dan menampilkan mimik penari menangis. Gerakan mencopot topeng dan menangis adalah gambaran penari renta yang tidak rela meninggalkan sesuatu yang sangat ia cintai. Dalam penampilannya, Mila berusaha menggaet seorang nenek di antara kerumunan penonton untuk naik ke panggung. Penonton terkekeh-kekeh.
Selain Melati dan Mila, tampil musikus jazz Idang Rasjidi, pemusik Richard Bennett, dan Paula Jeanine Bennett. Seniman yang tampil tahun ini lebih banyak dibandingkan dengan Festival Lima Gunung pada 2014 di Dusun Warangan, Muneng Warangan, Pakis, Magelang, Jawa Tengah. "Kami mengandalkan pemandangan Gunung Andong kali ini," kata Sutanto.
Shinta Maharani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo