Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rachman Sabur, 58 tahun, sutradara Teater Payung Hitam dan pengajar di ISBI Bandung, masih bergulat menyiapkan dua pentasnya yang akan dibawa ke panggung internasional, yakni di Taiwan dan Amerika Serikat. Di Taiwan, dia dan teaternya akan mementaskan lakon Tubuh Tanah Air yang bernuansa lingkungan. Sedangkan di Seattle, Amerika Serikat, mereka akan mementaskan lakon Merah Bolong. Dua lakon itu adalah teater tubuh tanpa teks yang sudah 23 tahun terakhir digeluti teater ini.
Mengapa memilih teater tubuh?
Pencarian tubuh sangat banyak memberi inspirasi. Bisa lebih ekspresif dan ada peluang memainkan secara utuh atau berkolaborasi dengan seni yang lain. Akhirnya itu yang menjadi identitas kami. Sudah lebih dari 20 pertunjukan teater tubuh yang kami pentaskan selama 23 tahun ini.
Bagaimana proses pencarian Anda?
Pencarian teater tubuh ini lumayan panjang, setelah 10 tahun pertama setia pada teks mementaskan lakon dari dalam dan luar negeri, memainkan karya orang lain. Lalu mulai mengarah ke pencarian tubuh. Pentas teater tubuh kami yang pertama pada 1987 dengan lakon Tuhan dan Kami. Saat itu kolaborasi dengan Kang Harry (almarhum Harry Roesli). Dia yang bikin musiknya.
Menurut Anda, teater tubuh bisa kontekstual?
Alhamdulillah, pentas kami masih ada penonton, masih ditunggu. Teater tubuh ini kontekstual, universal, dan bisa punya peluang berkolaborasi dengan seni yang lain, bisa pula dimainkan utuh sendiri. Saya kira teater tubuh lebih strategis, efektif untuk teater yang terus berkembang dan menyesuaikan diri dengan zaman. Selain itu, pentasnya bisa fleksibel, tidak terbatas ruang.
Siapa yang menginspirasi Anda dengan tubuh?
Dulu Mas Willy (W.S. Rendra) pernah memainkan teater minikata. Ini menginspirasi saya. Juga apa yang dipentaskan Mas Don (Sardono W. Kusumo), Meta Ekologi, pada 1979.
Soal Merah Bolong?
Judul awalnya Merah Bolong Putih Doblong Hitam. Maknanya sakit yang amat sangat, amat mendalam. Saya bermetafora dengan warna. Yang jelas, saya ingin memberi gambaran banyak kesia-siaan, berulang kali melakukan perlawanan yang menyakitkan tapi sia-sia. Namun mereka tetap melawan dengan simbol kepalan tangan sang tokoh.
Apa yang berbeda dari pementasan sekarang dan pentas sebelumnya?
Secara tema, ide sih tidak berbeda. Memang ada sedikit perubahan artistik dan teknis. Dulu memakai topeng, ekspresi pemain muncul dari ekspresi di topeng. Sekarang tidak pakai topeng, supaya lebih alami. Eksplorasi ekspresi tubuh mereka sendiri. Ada plus-minus memang. Jika memakai topeng, jarak pandang pemain terbatas. Saya tidak mau ambil risiko dengan batu-batu itu. Tapi yang jelas, tanpa topeng, pemain bisa lebih bebas mengeksplorasi ruang dan ekspresi.
Pentas di Seattle akan membawa komplet semua pemain?
Mungkin lima orang, bisa ditambah pemain dari sana karena kami akan menggelar workshop. Mungkin nanti ada sedikit perubahan cerita karena terus berkembang.
Dian Yuliastuti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo