BERGADANG sampai lewat tengah malam itu mengasyikkan. Apalagi bergadang lantaran menekuni hobi. "Itu kegiaan saya sehari-hari di masa muda," ujar Leonardus Mardiwarsito, 72 tahun, di rumah kontrakannya di Jalan Cisadane, Jakarta Pusat. Penyusun Kamus Jawa Kuna-Indonesia ini bersyukur masa sulitnya menghadapi kebosanan telah lewat. "Tapi saya suka pada pekerjaan rutin itu, kok. Asyik," kata kamuswan kelahiran Solo ini. Berangkat dari sebuah keluarga desa di Cepakasawit yang menyukai tembang Jawa dan ceria wayang, Mardiwarsito memang kesengsem pada sastra Jawa. Bahkan, kekagumannya pada sastra yang satu ini dianggapnya sebagai "mencari jalan kebenaran". Tapi, katanya, "karena keahlian itu, jangan sampai kita umuk atau sombong," ujarnya lagi. Upaya ayah lima anak dan beberapa cucu ini melestarikan sastra Jawa, tak hanya terbatas sampai penyusunan kamus saja. Karya sastra Jawa seperti Cerita Rengganis, Ramayana, Negara Kertagama, Tantri Kamandaka, setelah ia terjemahkan lalu diulurkannya kepada penerbit, dan disambut untuk dicetak. Tetapi di pasaran tidak begitu laku, memang. "Padahal, hasil sastra itu indah dan bermanfaat," ujar kakek yang masih sigap menyetir mobil dan main tenis ini, dalam bahasa Jawa halus. Toh kesulitan di tengah keasyikan itu ada. "Saya tidak punya komputer yang bisa kerja cepat. Jadi, terpaksa mengeik," katanya. Apa yang dirasakan oleh Mardiwarsito juga dialami Josephus Adisubrata, 57 tahun. "Tapi saya juga tidak bosan. Sebab, saya merasakan pekerjaan ini sudah menjadi semacam romantika tersendiri," katanya. Nah, dalam menyusun Kamus Latin Indonesia, yang merupakan terjemahan dari Kramers' Latijns Woordenbook, Adi kebagian tugas 50%. Selebihnya dikerjakan oleh Pastor K. Prent c.m. Pada waktu menyusun kamus langka ini, Adisubrata masih pengantin baru. Tapi beruntunglah, Agnes Sugiyatmi, sang istri, rela menemaninya bergadang, sekaligus menjadi sekretaris pribadinya. "Nulisnya pakai stalpen," tutur Adisubrata lagi sambil tertawa. Pada tahun 1965 itu, ia memang belum mengenal ball point. Apalagi mesin ketik. Hasil bergadang satu tahun itu ialah Kamus Latin-Indonesia yang melengkapi khazanah perkamusan Indonesia. Ejaannya memang hampir tak ada yang salah, karena setelah itu ditangani kembali secara mulus oleh W.J.S. Poerwadarminta. Kamus Latin-Indonesia memang merupakan terjemahan dari bahasa Belanda. "Saya melakukan secara sederhana saja." tutur Adisubrata, yang sewaktu menuntut ilmu di Sekolah Seminari Katolik selalu mendapat angka 8 atau 9 untuk bahasa Latin. Bapak tiga putri yang sudah berangkat dewasa ini merasa bahagia bisa ikut menyumbangkan sesuatu yang berharga buat memperkaya bahasa Indonesia. Cuma sayang. Kamus itu tak mungkin dicetak ulang beberapa kali. Habis, peminatnya rupanya sangat terbatas. Lain lagi kebanggaan Anton M. Moeliono, 58 tahun. Kepala Pusat Pembinaan lan Pengembangan Bahasa ini bangga dengan salah satu sebutannya sebagai "kamus berjalan". Tebersit rasa bahagia di hatinya, bila penjelasannya tentang kata-kata yang sukar bisa diterima orang. Dia ini memang sering muncul di TV, dalam hal menjelaskan soal bahasa Indonesia. Kini Anton sedang sibuk mengawasi penyusunan Kamus Besar Bahasa Indonesia. Sebuah tim menangani penyusunan kamus ini, ada sekitar 30 ahli bahasa yang ikut menyumbangkan ilmunya di situ. Bahkan dari hampir seluruh Nusantara, ada ahli bahasa yang memasok kosakata baru. Semua masukan itu lantas digodok bersama. Tampak jelas, para penyusun kamus itu sudah terbiasa bertutur bahasa dengan teratur. Logat daerah jarang sekali muncul dalam pembicaraan sehari-hari para kutu buku itu. Bila Adisubrata atau Mardiwarsito harus merasakan pegal-pegal lantaran terlalu lama menggenggam pena atau mengetik dengan mesin ketik tua, tim penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia kini sudah dibantu peralatan canggih: mesin ketik listrik dan komputer. SI. & T.B.S. (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini