Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Membuka cakrawala baru,menghadang..

Pengarang : y.b. mangunwijaya jakarta : midas surya grafindo, 1987 resensi oleh : sori siregar.

12 Maret 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ESEI-ESEI ORANG REPUBLIK Oleb: Y.B. Mangunwijaya Penerbit: Midas Sua Grafindo, Jakarta, 1987, 150 halaman Y.B. Mangunwijaya berusaha meluruskan persepsi yang "miring" dari masa lampau yang belum terlalu jauh. Itulah yang paling dapat dirasakan ketika membaca esei-eseinya yang terkumpul dalam buku ini. Namun. kontrapersepsi ini tetap miliknya pribadi. Hal itu ditegaskannya dalam kata pengantar. "Esei bukan gugusan dalil-dalil yang mengklaim kebenaran mutlak, melainkan suatu cara ikhtiar untuk memahami sesuatu yang dianggap penting dan yang mengaJak berdialog...." Karena itu pula, siapa saja yang telah membaca buku ini dan kemudian berpendapat Mangunwijaya terlalu subyektif dan bersikap partisan, pendapat itu sah saja. Tetapi, yang terbaik barangkali adalah "membaca" sudut pandang Mangunwijaya dengan keterbukaan dan tanpa prasangka. Sebagai seorang yang hidup dalam tiga zaman Hindia Belanda, Jepang dan Republik Indonesia - Mangunwijaya tampaknya inin menyumbangkan sesuatu yang tidak disentuh oleh sejarah formal. Ini jelas tidak mudah. Sukar bagi siapa saja untuk melepaskan diri dari subyektivitas dan dari penarikan kesimpulan yang bertolak dari rasa kagum dan simpati. Pada esei-esei Mangunwijaya dalam buku ini, kita iuga merasakan itu, betapapun kita menyadari Mangunwijaya sebenarnya berupaya bersikap netral. Simpatinya pada Sjahrir dan Hatta menyembul nyata. Ia membaca berbagai literatur tentang Sjahrir, mengikuti sepak terjangnya dan menelaah sendiri buah pikirannya yang cemerlang. Dari semua itulah ia menemukan dua esensi yang sama antara Manifes Politik RI yang pertama kali didengungkan ke seluruh dunia dan manifes Sjahrir pribadi dalam Perjoangan Kita. Kedua-duanya adalah masterpiece of statesmanship dari Generasi '28. Ketika menyinggung soal nasionalisme, Mangunwijaya juga mendasarkan kesimpulannya pada inti pemikiran perdana menteri pertama Indonesia itu. Bagi Sjahrir, kebangsaan (nasionalisme) kita hanyalah "jembatan" untuk mencapai "derajat kemanusiaan" yang sempurna, bukan untuk memuaskan diri sendiri, dan bukan untuk merusak pergaulan kemanusiaan (halaman 137). Mangunwijaya sendiri berpendapat, ketika itu tidak banyak orang yang memahami arti nasionalisme itu selaku jembatan bayi pemerdekaan pribadi manusia Indonesia dan selaku roman dari pembaktian kita kepada kemanusiaan universal. Kekaguman Mangunwijaya pada Hatta tidak dapat dilepaskan begitu saja dari "dekat"-nya watak, jiwa konsepsi, dan battle of mind Sjahrir-Hatta. Hatta memang lebih dikenal sebagai negarawan, bukan politikus. Karena itu, ia tidak mabuk kekuasaan. Sebagai negarawan pemikirannya jauh ke depan. Dapat dimaklumi mengapa kemudian Sjahrir dan Hatta yang lebih mengutamakan analisa tajam kalah populer dari Bung Karno yang flamboyan. Menyadari banyak kaum muda kini yang tidak mengenal Bung Karno, Mangunwijaya mencoba pula menempatkan presiden pertama RI ini dalam perspektif yang sebenarnya. Janganlah memandang Bung Karno semata-mata dari periode setelah 1959, tetapi kenalilah presiden pertama Indonesia itu dari tahun-tahun sebelumnya. Tokoh karismatik ini harus kita akui sebagai pemersatu bangsa dan penanam harga diri suatu nasion yang sebelumnya diinjak oleh penjajah. Kumpulan esei yang sebelumnya pernah dimuat di harian Kompas, Indonesia Raya, dan majalah TEMPO ini (1972--1987) pada dasarnya berbicara tentang masa lalu sebagai pijakan untuk menjangkau masa depan. Wajarlah kalau Mangunwijaya mengajak kita mengamati budaya pasca-Indonesia yang tumbuh dan mekar di sekitar kita. Dengan budaya pasca-Indonesia ini mau tidak mau kita harus berpikir multidimensional, bertindak dialektis dan dialois, lebih menghargai hak-hak asasi manusia, menerima sains dan teknologi secara kritis dan lebih memperhatikan kaum kecil. Ini menurut asumsi Mangunwijaya. Berdasarkan asumsi itu ia yakin atau mengharapkan akan lahir a new emerging force yang muda, cerdas, bertanggung jawab di sini dan di berbagai penjuru dunia, yang berjuang untuk memasuki dunia dan tanah air yang lebih baik. Membaca semua esei dalam buku ini, tidak terelakkan kesan bahwa pastor, arsitek, dan budayawan Mangunwiiaya merasa sangat terpanggil untuk meluruskan sesuatu yang "bengkok", sesuatu yang harus dilihat dengan hati bersih dan ditopang dengan nalar. Ia mencoba membuka cakrawala sempit kaum muda (dan mungkin sebagian kaum tua) tentang arti kesejarahan, politik, ekonomi, dan budaya secara sederhana. Dalam upayanya ini terkadang ia tampak terlalu "berani" dan menghadang arus. Menarik untuk dibaca, misalnya, uraiannya tentang ajaran Karl Marx dan komunisme pada esei "September 1948-19. . ." (hlm. 77) dan "Primbon Jumadilawal" (hlm. 111) yang bisa sajaterlepas dari konteks pengertian seandainya dibaca sambil lalu dan dibarengi kecurigaan. Tidak semua kaum muda dapat membaca "bahasa" yang digunakan Mangunwijaya dengan mudah. Ini bisa menjadi pangkal kekeliruan. Buku ini tampaknya tidak dimaksudkan untuk semua kalangan generasi muda, tetapi terutama untuk mereka yang terdidik dan ingin keluar dari horison yang sempit dan mengarungi cakrawala yang lebih luas. Sori Siregar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus