Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Masih sulit mencari pak harto

Film tentang sejarah nasional indonesia masih langka. Perlu biaya besar & penelitian yang rumit. Pt Citra Jaya film mencari pemain untuk film tentang penumpasan PKI di Jawa Tengah, tapi kesulitan.

12 Maret 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEMBUAT film sejarah memang rumit dan perlu biaya besar. Direktur Pusat Produksi Film Negara (PPFN) Drs. G. Dwipayana, misalnya, pernah mengatakan, untuk film Pemberontakan G 30 S/PKI, yang disutradarai Arifin C. Noer itu, penelitian untuk skenario saja membutuhkan waktu 3,5 tahun. Dan biayanya Rp 800 juta, film termahal di awal 1980-an. PT Kanta Indah Film menyediakan dana Rp 900 juta untuk film Cut Nyak Dien dan sudah hampir dua tahun film ini belum juga rampung. Tok di tengah lesunya produksi film belakangan ini, PT Citra Jaya Film (CJF) memasang iklan di koran-koran. Isinya mencari pemain yang mirip dengan tokoh-tokoh pada waktu terjadinya peristiwa G 30 S/PKI. Khususnya untuk peran Mayjen. Soeharto, Kolonel Saro Edhie, Brigjen. Suryosumpeno, Kolonel Jasir Hadibroto, Kolonel Katamso, Letkol. Sugiyono dan D.N. Aidit. Sampai pekan lalu, setelah seminggu iklan disiarkan, pelamar yang masuk belum seberapa. "Tokoh untuk Pak Harto, misalnya, tak ada yang mirip," kata Barep Muhtadi, Wakil Direktur CJF. Memang, tadinya ambisi Muhtadi, pelamar untuk peran Pak Harto itu bisa lebih kena dan lebih cocok dibandingkan dua bintang yang sudah pernah memerankannya. Yakni Kaharuddin Syah dalam film Janur Kuning dan Amaroso Katamsi dalam film Pemberontakan G 30 S/PKI. Walau begitu, niat untuk membikin film tentang penumpasan G 30 S/PKI di Jawa Tengah dalam periode 1 Oktober sampai 22 November 1965 tidak surut. Sambil menunggu calon pemain, CJF, yang mempertaruhkan modalnya sekitar Rp 1 milyar, sudah hunting ke beberapa tempat terutama di Solo dan Semarang. Sementara itu, Asrul Sani, yang akan menulis skenarionya, meneliti bahan lewat berbagai penerbitan. Barep Muhtadi belum tahu apa judul film itu nantinya, dan siapa sutradaranya. Angle cerita pun tergantung hasil penelitian. Katanya, itu pula yang dilakukan oleh sutradara seperti Arifin.C. Noer, Teguh Karya, Sjumandjaja, dan Eros Djarot, ketika mereka membuat film sejarah. Apa yang mau dicari dengan memproduksi film sejarah? "Tantangan. Masa, orang bisa bikin dan kita tidak," kata Barep. Bagi G. Dwipayana, film sejarah adalah media pendidikan. "Soal bisnis itu urusan kedua," katanya. Tapi ia mengakui, film Pemberontakan G 30 S/PKI sukses besar, baik dari segi bisnis maupun mutu. Film ini memperoleh Piala Citra sebagai film terbaik dan sekarang, menurut Dwipayana, masih beredar di Irian Jaya, walau TVRI sudah menayangkarmya dua kali. PPFN kini melanjutkan "serial" itu lewat film Jakarta 1966, yang direncanakan rampung pertengahan tahun ini. Sutradara Teguh Karya, ketika membuat November 1828, cuplikan dari sejarah Perang Diponegoro, menulis skenario setelah meneliti museum di tujuh kota. Bahkan Teguh mempelajari dokumen yang berkaitan dengan Diponegoro dari museum di Belanda. Dia juga melibatkan para ahli, antara lain Sejarahwan Onghokham. Film ini pun banyak melahirkan Piala Citra. Sutradara Sjumandjaja (almarhum), ketika membuat film Kartini, memerlukan waktu berbulan-bulan untuk melacak surat-surat Kartini, mewawancarai ahli warisnya, dan riset ke Jawa Tengah. Begitu pula Eros Djarot, sutradara pendatang baru, sudah hampir dua tahun menggarap film Cut Nyak Dien. Ia juga mewawancarai sejumlah ahli. Yang sulit dalam film ini, seperti halnya November 1828, bukan pada pemeran. Karena peristiwa itu sudah puluhan tahun berlalu, dan sosok tokohnya samar-samar. Kesulitan yang dialami Eros, "Bagaimana merekonstruksi kehidupan masyarakat Aceh 90 tahun silam," katanya. "Lagi pula, saya tak ingin menampilkan film epos perJuangan belaka," katanya. Eros berobsesi menampilkan sosok Cut Nyak Dien secara utuh: sebagai ibu, anak negeri, manusia, dan seorang muslimat. Karena tak mungkin menampilkan biografi Cut Nyak Dien seiak lahir. Eros cukup menampilkan satu dasawarsa dari kehidupan Cut Nyak Dien, yaitu sejak Umar bangkit pada 1896 sampai Cut Nyak Dien ditangkap pada 1906. "Cut Nyak Dien itu tokoh ideal, malah tokoh wanita dunia yang besar. Dia itu pembebas manusia, baik lelaki maupun wanita," kata Eros, saudara kandung aktor dan sutradara Slamet Rahardjo ini. Dalam film ini Eros pun menafsirkan perkawinan Cut Nyak Dien dengan Teuku Umar bersifat politis. Di sinilah film tentangsejarah diuji, sejauh mana sutradara bisa menafsirkan sesuatu, dan karenanya kemudian dipertanyakan sejauh mana obyektivitas sebuah film sejarah. Bagi Dwipayana, film sejarah haruslah seotentik sejarah itu sendiri. Film adalah cara mencatat sejarah yang terbaik. Tapi bagaimana memadukan seni yang menuntut kreativitas dan sejarah yang meminta otentisitas ? Agaknya, kompromi dianggap sah. Film kolosal Ben Hur, misalnya, menampilkan tentara Romawi yang berperang memakai celana. Padahal, menurut sejarah yang diceritakan saat itu, tentara itu cuma memakai tunik. Dengar pula Teguh Karya. "Film sejarah tidak sama dengan sejarah," katanya. Ada kepentingan "seni" yang ditonjolkan dengan mengorbankan kepentingan sejarah. Ia memberi contoh film November 1828. Pejuang yang melawan Belanda itu memakai sepatu, padahal Teguh tahu semestinya tida4"Saya memang sengaja memberontak. Saya tak bisa membiarkan tentara kita tanpa sepatu," kata Teguh. Masalahnya adalah soal sepatu itu bukan penting benar dibandingkan pesan yang mau disampaikan: perjuangan. Lantas, apakah Citra Jaya Film sudah memperhitungkan semua risiko ini? Atau karena tergiur sukses film tentang G 30 S/PKI yang sudah ada, Pemberontakan G 30 S/PKI karya Arifin, dan Penumpasan Sisa-Sisa PKI di Blitar Selatan karya Kadarjono. Tergiur ataupun tantangan, keduanya sah, memang. Ahamdie Thaha dan Budiono Darsono (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus