Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsitektur

Memetakan Ruang-ruang Kecil

6 April 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marco Kusumawijaya

  • Perintis Peta Hijau di Indonesia, Ketua Pengurus Harian Dewan Kesenian Jakarta

    KETIKA dimulai, Peta Hijau (Green Map) bermaksud menyadarkan orang akan kesalingterkaitan antara alam dan gaya hidup. Peta—berisi simbol-simbol yang digunakan mewakili gambaran tentang kondisi suatu kawasan—itu menyediakan informasi yang membantu sejumlah kecil pelopor yang baru memulai cara hidup alternatif, jauh dari arus utama. Ketika itu, pada awal 1990-an, mayoritas (arus utama) orang belum yakin akan pemanasan global, yang apalagi disebabkan manusia.

    Pada 2001, saya menemui pendiri Peta Hijau di kantor sederhana mereka di Manhattan Selatan, Kota New York. Tujuan saya ke sana adalah mencari alat dan metode yang menampilkan hubungan antara pandangan ”mata burung” dan proses yang mengaktifkan orang bertindak. Sehingga orang, misalnya, bisa mendapatkan informasi tentang adanya sebuah restoran vegetarian, dengan menu Tempeh Sandwich, di seberang sebuah masjid di New York.

    Di kota, banyak hubungan yang makin kabur di benak banyak orang. Padahal hubungan itu sangat kritis. Sebagian orang Jakarta, misalnya, tidak tahu Kali Malang adalah sumber air minum mereka. Tidak sehari-hari (tidak juga bulanan, dan bahkan tahunan) orang Jakarta melihat Sungai Ciliwung atau pantai kota ini yang terbentang sepanjang 30 kilometer di utara kota.

    Kini kesadaran tersebut sudah muncul kembali. Maka masa kampanye yang patronizing, mengisi kepala orang dengan kesadaran lingkungan, sudah selesai. Stop segala duta lingkungan atau artis naik panggung menyanyikan lagu lingkungan dan tampilan-tampilan simbolis lainnya. Kini orang ingin tahu hubungan-hubungan itu dalam arti yang rinci bahkan teknis, dan peluang apa yang tersedia untuk bertindak membenahinya.

    Di seluruh dunia kini serempak terjadi gerakan yang luar biasa masif, mungkin terbesar dalam sejarah modern manusia, untuk kembali mengumpulkan pengetahuan dan keterampilan (knowledge dan know-how) untuk berubah. Perubahan tersebut bukan saja untuk meminimalkan dampak negatif kehidupan mereka terhadap alam, tetapi juga memperbaikinya agar mampu melakukan regenerasi sendiri. Sebab, sudah tinggal sedikit yang dapat dirusak. Yang harus diperbaiki banyak, sebelum terlambat, dan semua kerusakan menjadi irreversible.

    Peta Hijau dapat mengumpulkan pengetahuan dan know-how itu. Banyak hal kecil: warung jamu yang juga menanam tanaman obat dalam ruang sempit di tengah sumpek Jakarta, sampah di belakang hotel berbintang, dan ruang terbuka terbengkalai yang dapat dipakai untuk melakukan komposting di tengah kampung kumuh yang padat. Hal-hal kecil, ruang-ruang kecil, tempat 80 persen warga hidup, adalah relung yang mengandung harapan sekaligus menawarkan kesempatan bertindak, bagi setiap orang, baik secara sendiri-sendiri maupun berkelompok.

    Peta Hijau adalah peta kata-kerja. Ia peta aktif. Di sekeliling Borobudur kini kepala desa memimpin pembuatan sebuah Peta Hijau untuk memberi tahu para pembuat kebijakan. Ruang-ruang kecil mereka, yang hanya menjadi kehidupan alternatif bagi dunia, adalah arus utama bagi mereka yang tinggal di sana.

    Dengan bantuan Peta Hijau, perencana pembangunan bisa memahami masalah dan kebutuhan di suatu kawasan yang selama ini hanya dilihat dengan ”mata burung”. Di ruang-ruang itu juga terdapat keinginan dan kesempatan warga ikut merencanakan, menggambar masa depan mereka, dan bertindak. Peta itu adalah pernyataan aspirasi mereka, yang bukan menuntut saja, tetapi juga memberi tahu kita tentang kemampuan mereka.

    Mudah-mudahan, Peta Hijau bisa membantu perubahan dalam sistem perencanaan pembangunan kita. Untuk menjembatani para perencana dan pembuat kebijakan yang cenderung abstrak dan menggeneralisasi, dengan manusia-warga yang spesifik. Mudah-mudahan ia dapat membantu kita semua merajut kembali hubungan antara alam dan lingkungan buatan, melalui tindakan dan kebijakan kolektif, serta perubahan tiap-tiap orang. Sebab, kita tidak punya pilihan lain kecuali berubah secara bersama-sama dengan drastis segera. Kita cuma punya waktu 25 tahun, sesudah merusak alam 250 tahun.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus