Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Taman itu hanya berukuran 2 x 5 meter, di bantaran Kali Krukut. Tertata baik, dengan tetumbuhan hijau dan bunga warna-warni yang terawat. Sebuah tempat duduk dari semen menghadap sungai yang berwarna cokelat keabu-abuan. Di dekat tempat duduk itu, satu dispenser disediakan bagi pejalan yang kehausan.
Sebuah taman di daerah Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, yang sesak dengan gedung-gedung perkantoran, pasar, dan permukiman yang berimpit, memang istimewa. ”Saya sangat takjub,” kata Armely Meiviana, 30 tahun, aktivis lembaga swadaya masyarakat. Januari lalu, tatkala melakukan survei Green Map, ia menemukan oasis yang terjepit di antara Menara Batavia dan Kali Krukut itu.
Rasa takjub Armely bertambah-tambah manakala dia mengetahui sosok di belakang pendirian dan perawatan taman itu. Ia Santo, pekerja serabutan yang berhasil menaklukkan hati masyarakat di sekitar taman. Pada mulanya, masyarakat merasa direpotkan sang taman. Untuk merawat tanaman saja, misalnya, dibutuhkan air cukup banyak dari sumur umum. Masyarakat berbalik mendukung setelah merasakan manfaat taman itu. Ada yang sekadar rihat di senja hari, ada juga yang menyusui anaknya.
”Ternyata di lapisan bawah Jakarta ada inisiatif dan kesadaran,” kata Armely. Dan taman itu bukan satu-satunya temuan Armely selama menjadi relawan penyusun Peta Hijau Jakarta. Di ujung gang, masih di lokasi yang sama, ia menjumpai sebuah tempat penampungan sampah khusus perkantoran. Pengumpulnya, Uday, memanfaatkan sampah dari perkantoran yang bertabur di kawasan itu. ”Orang-orang kreatif sekaligus peduli dengan lingkungan,” katanya.
Temuan Armely belum berakhir. Tak jauh dari situ, matanya tertumbuk pada tumpukan pot tanaman di depan sebuah rumah kecil. Tanaman itu milik seorang ibu tua yang mengusahakan obat tradisional. Ibu ini menanam tanaman obat di atap rumahnya, mengolahnya, kemudian menjualnya ke pasar. Dia juga memberikan pelatihan kepada yang berminat mempelajari obat tradisional.
Pengalaman yang mencerahkan semacam itu juga dirasakan relawan-relawan pembuat Peta Hijau lainnya. Dahlia Rera, 20 tahun, misalnya, tercengang begitu menjejak area Museum Taman Prasasti di Jalan Tanah Abang, Jakarta Pusat. ”Keren banget, eksotis, seperti masuk dunia lain,” kata mahasiswi tingkat satu sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta itu.
Rera, yang nyambi sebagai editor di sebuah majalah pendidikan, menemukan tempat publik yang berbeda dari yang biasa disambanginya saat hang out dengan teman-temannya. ”Biasanya ke mal, theme park, atau tempat kongko yang menyediakan fasilitas baru,” ucapnya.
Dengan kebiasaannya itu, Museum Taman Prasasti memang menjadi dunia lain bagi Rera. Museum itu merupakan bekas tempat pemakaman umum yang resmi digunakan sejak 28 September 1795. Bangunan induknya berupa balairung bergaya Doria dengan 18 pilar kokoh. Saat ini masih ada 1.242 nisan makam Belanda di 1,3 hektare lahan yang tersisa.
Tak semua lokasi yang disurvei merupakan dunia baru baginya. Ada tempat yang masih tegak di area seperti Pasar Festival, Monumen Nasional, Bundaran Hotel Indonesia, dan Taman Suropati. Tapi informasi pelengkap seperti sejarah dan aset lokasi itu kadang membuatnya terkejut. ”Jadi malu, saya baru tahu kalau namanya Taman Suropati, padahal biasa nongkrong di situ,” katanya.
Lain lagi pengalaman Bayu Wardhana, 37 tahun, pengelola situs. Ia baru mengetahui ada Taman Empang di balik Jalan Raya Grogol, Jakarta Barat. Ia juga baru ngeh bahwa di Senayan ada taman tempat penangkaran berbagai jenis burung, Taman Krida Loka namanya. ”Padahal tidak jauh dari tempat kami tinggal,” katanya.
Bayu juga menemukan perkampungan yang ”hidup” di daerah Manggarai, Jakarta Selatan. Awalnya adalah temuan sebuah perpustakaan di ujung gang. Perpustakaan ini menjadi pintu masuk potensi Kampung Pesanggrahan, yang marak dengan kegiatan berkesenian. ”Mereka punya band kampung dan studio untuk latihan musik anak-anak kampung,” kata Bayu. Di peta, kampung ini ditandai dengan ikon Kampung Hijau.
Para relawan Peta Hijau Jakarta itu mendapatkan hal baru setelah berjalan kaki menjelajahi kota. Kejutan demi kejutan menyambut mereka dalam penelusuran pemetaan daerah di radius 500 meter di sisi kanan-kiri jalur transportasi publik. Lokasi-lokasi yang dipetakan merupakan ikon dari sumber daya yang memenuhi kategori kehidupan berkelanjutan, alam, serta masyarakat dan budaya.
Berbeda dengan Peta Hijau sebelumnya yang berbasis kawasan, Peta Hijau Jakarta yang dikerjakan sejak Juli 2008 hingga Januari 2009 ini memang berbasis transportasi publik. Jalur yang ditelusuri adalah delapan koridor busway di Jakarta dan empat jalur kereta api rel listrik yang menghubungkan Jakarta dengan daerah sekitarnya.
”Tujuan peta ini membantu warga kota lebih menyadari keberadaan serta berinteraksi dengan sumber daya lingkungan dan kebudayaan,” kata Nirwono Joga, Koordinator Peta Hijau Jakarta. ”Ayo menata kembali, tidak merusaknya, atau minimal mencoba pengalaman menjelajahi kota.”
Nirwono sendiri punya pengalaman menemukan tempat ”angker” saat melakukan survei di sepanjang jalur kereta rute Depok-Kota. Syahdan, saat berjalan sampai di daerah Kalibata, Jakarta Selatan, Nirwono dan tiga rekan satu timnya menemukan lokasi yang dinilai layak menjadi ikon sumber daya lingkungan. Lokasinya luas, sepi, hanya berisi bangunan induk yang dikelilingi pepohonan dan rerumputan menghijau.
Saat mengambil gambar dan merekamnya dengan kamera, mereka digiring ke pos penjagaan. Ternyata, lokasi itu merupakan markas Badan Intelijen Negara. ”Kami satu tim diinterogasi, data-data disita, baru dilepas,” kata Nirwono. Alhasil, markas Badan Intelijen itu pun tak masuk menjadi ikon dalam Peta Hijau.
Cerita soal lokasi angker, nun di desa sekitar Candi Borobudur, Jawa Tengah, Kristanti Wisnu Aji, 23 tahun, menjumpai lokasi angker saat melakukan survei pembuatan Peta Hijau kawasan itu. Lokasi yang ditemuinya itu biasanya di hutan sekitar mata air desa. Dari informasi yang dihimpun, legenda keangkeran sengaja diembuskan masyarakat sekitar agar hutan tidak diusik tangan-tangan tak bertanggung jawab. ”Kearifan lokal demi konservasi,” katanya.
Kristanti pun makin bersemangat mencatat mata-mata air, atau disebut tuk dalam bahasa setempat, untuk dicantumkan sebagai titik-titik hijau dalam peta. Mata air alami itu dijumpai di hampir semua dusun—total 20 dusun—di Desa Borobudur. ”Bakal punah kalau dilupakan,” kata mahasiswi tingkat akhir sebuah perguruan tinggi negeri di Yogyakarta itu.
Kesadaran bahwa lingkungan terancam memang kadang baru tumbuh setelah ada interaksi dengan lingkungan sekitar secara dekat. Relawan Peta Hijau Yogyakarta, Thomas Widiyanto, 34 tahun, lebih sering merasakan terik menyengat daripada keteduhan saat memetakan Yogyakarta dengan bersepeda. ”Ternyata pepohonan memang sudah sedikit,” katanya.
Masih dari Yogyakarta, kerusakan bangunan-bangunan tua terekam oleh Hani Raihana saat survei me-refresh Peta Hijau Kota Gede. Dari titik-titik hijau di kawasan heritage itu, sebagian besar rusak oleh gempa. ”Pendapa-pendapa rusak, batu-batu bata kuno hilang,” ujarnya.
Namun tetap ada hal baru dari perjalanan menyusuri lorong-lorong kota kecil itu. Hani menemukan rahasia keakraban masyarakat kawasan itu. Rumah-rumah kuno yang berimpit meniadakan sekat-sekat sosial. ”Kadang sulit menarik garis ruang privat dan publik,” kata pekerja di salah satu lembaga kajian budaya itu. Memang, akan selalu ada temuan hal baru jika menyapa lingkungan dengan cara yang lebih akrab.
Harun Mahbub, Iqbal Muhtarom (Jakarta), L.N. Idayani (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo