Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Dengan liukan vokal yang kadang merintih kadang dengan intonasi menari, iringan akordeon dan mandolin yang membawa suasana syahdu, mini gong, gendang melayu, dan jimbana yang menjaga rentak, Semakbelukar hadir bak oase untuk kuping yang merindu musik Melayu.
Semakbelukar mengajari bahwa musik Melayu tidak melulu mendayu-dayu, apalagi berisi lagu cinta melulu. Tembang-tembang Belukaria Orkestar-- sebutan kolektif yang melahirkan Semakbelukar — sarat petuah, pujian terhadap alam, hingga potret sosial. Lirik-lirik Semakbelukar pun berakar pada pola syair sastra Melayu. Tengok saja sepenggal lirik Dendang Lalai, judul album live Semakbelukar.
Rahmat ditebar di seluruh alam,
Banyaklah rupa banyaklah ragam,
Dengan kebaikan tebarkan salam,
Ulurkan tangan jangan digenggam
David Hersya, sang vokalis sekaligus pemetik mandolin, merupakan orang yang paling bertanggung jawab untuk lirik Semakbelukar. Bagi David, hakikat syair itu sendiri adalah lagu. Ia adalah seni tutur yang memiliki intonasi pengucapan pada dirinya sendiri.
Selain David pada vokal dan mandolin, Belukaria Orkestar adalah Ricky Zulman pada akordeon, Mahesa Agung pada mini gong, Ariansyah Lang pada gendang melayu, Angger Nugroho pada jimbana.
Semakbelukar sebenarnya sudah bubar sejak 2013. Mereka terakhir tampil di Kineruku Bandung pada 8 Desember 2013. Hasil rekaman penampilan langsung mereka di Kineruku itulah yang akhirnya dirilis dalam cakram padat. Mengambil judul Dendang Lalai Live Bandung!, CD ini dirilis Elevation Records pada 27 Juli 2021.
Ada 14 komposisi dalam CD Dendang Lalai. Selain lagu-lagu dalam album Terlahir & Terasingkan: Antologi Semakbelukar 2009-2013, Semakbelukar membawakan satu lagu cover brass band asal Makedonia, Koani Orkestar, di Dendang Lalai. Judulnya Siki Siki Baba. Komposisi ini dibawakan relatif lebih riang dan jenaka ketimbang yang lain.
Empat abad setelah penyair agung asal Aceh, Hamzah Fansuri, mempopulerkan syair Melayu, Semakbelukar menggali dan mendendangkannya dengan iringan musik Melayu. Tanpa meninggalkan pakem sastra Melayu, Semakbelukar membawakannya dengan memberi konteks kekinian. Pesan-pesannya tetap tak lekang ditelan zaman.
Semakbelukar punya Kalimat Satu ketika Hamzah menulis syair bertajuk Hamzah Fansuri. Jika Hamzah bertutur soal pengalaman spiritual mencari Tuhan di Mekkah di empat baris awal syair Hamzah Fansuri, Kalimat Satu dari Semakbelukar bisa ditakwilkan sebagai perjalanan David sang penulis mencari keadilan di tengah represi rezim yang lalim. Keduanya sama-sama tentang perjuangan mencapai tujuan.
Empat baris Hamzah Fansuri maupun Kalimat Satu menggunakan rima a-a-a-a. Huruf 'h' menandai setiap akhir larik empat baris awal Hamzah Fansuri, sedangkan Kalimat Satu melafalkan 'u' di akhir bait empat baris awal.
Hamzah Fansuri maupun Kalimat Satu juga memakai simbol dalam sajaknya. Di baris ketiga, Hamzah Fansuri memakai kata ‘Kudus’ sebagai simbol Alquds, titik awal Nabi Muhammad SAW saat Isra Mikraj, untuk menggambarkan usaha penyair melakukan ‘Mikraj’.
Adapun simbol ‘kalimat satu’ dari Semakbelukar membuka ragam tafsir. Bisa ditakwilkan sebagai kalimat takbir ‘Allahu Akbar’ yang dipakai sebagian orang untuk membangkitkan semangat. Bisa pula ditafsirkan seperti interpretasi banyak orang sebagai majas dari slogan “Hanya Ada Satu Kata: LAWAN!” Syahdan, semasa hidupnya, Hamzah Fansuri merupakan orang yang melawan feodalisme raja-raja Melayu.
Hamzah juga kerap menyaripatikan kandungan ayat Alquran maupun Sunnah dalam baitnya. Semakbelukar melakukan itu dalam Hikmah. Bait ‘Sesungguhnya setelah ada kesusahan,...’ lengket dengan sepenggal firman dalam Surat Al Insyirah.
Hamzah punya Syair Perahu ketika Semakbelukar mendendangkan Berlayar di Daratan. Keduanya mengingatkan soal kematian.
Begini penggalan syair Berlayar di Daratan,
Cukuplah sebuah nasihat untuk yang bernyawa itu kematian
Cukuplah tipu dan muslihat nikmat waktu luang.
Bandingkan dengan sepenggal Syair Perahu,
Wahai muda kenali dirimu
Ialah perahu tamsil tubuhmu
Tiadalah berupa lama hidupmu
Ke akhirat jua kekal diammu
Selain menikmati musik dan lirik yang penuh bahan renungan, Anda bisa mendengarkan para personel Semakbelukar bercerita di jeda antar lagu. Mulai dari sejarah Belukaria Orkestar, pendapat mereka soal musik Melayu, hingga guyonan yang menghibur.
Soal awal mula nama Belukar, sebelum akhirnya jadi Semakbelukar, misalnya. Ternyata berasal dari singkatan ‘besar, lucu, kekar’ merujuk ke salah satu pendukung awal Belukaria Orkestra. Guyonan khas generasi boomer. Tapi kadang ada juga celetukan yang tak perlu.
Kelakar itu justru mengganggu perayaan pendengaran di Dendang Lalai. Contohnya celetukan 'jualan es' saat gong kecil ditabuh menjelang akhir lagu Kalimat Satu (Reprise). Niatnya mungkin ingin melucu, tapi justru jadi tak lucu. Mungkin juga karena musiknya dibawakan dengan kekhusyukan tingkat wali.
Selain itu, akan lebih baik jika CD ini memuat lirik lagu, meski tak lazim di album live. Mendengarkan lagu sambil membaca liriknya bisa jadi memberi pengalaman yang lebih paripurna.
Adapun soal seringnya kesilapan terjadi seperti salah chord atau lupa lirik di Kalimat Satu (Reprise) maupun Hikmah, mau tak mau kudu dimafhumi. Judul albumnya saja Dendang Lalai. Toh, Semakbelukar seperti ingin meludahi kesempurnaan. Karena, kesempurnaan itu hanyalah rencana. Atau bencana?
Baca: Instagram Rilis Fitur Reels dan Musik di Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini