Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Mencari yang Transendental di 'Pekan Raya'

Sebuah pameran besar dengan tema budaya kota. Adakah karya-karya yang menyapa ke dalam batin di antara centang-perenang karya yang secara bentuk tak lagi banyak yang mengagetkan ini?

19 September 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ZAMAN ketika karya seni rupa merupakan tiruan dari kenyataan memang sudah jauh, namun semangat seni rupa untuk ”meniru” kenyataan tidak mati, sampai hari ini. Bahkan pada CP Biennale 2005 di Museum Bank Indonesia, Jakarta, sepanjang September ini, ”meniru” di sini telah berkembang, menjadi lebih kompleks, melibatkan menyalin, menyusun, mengurangi, menambah, memindahkan, menafsirkan, dan mungkin ada lagi.

Di hari pembukaan, 5 September, ketika pengunjung penuh sesak, pameran dua lantai ini saya rasakan sebagai ”tiruan” dari Pekan Raya Jakarta. Anda disuguhi berbagai sajian, dari kaus oblong sampai benda-benda suvenir, dari semacam komidi putar sampai sejenis rumah hantu yang ”hantunya” sepasang pria dan wanita tanpa busana, dari kios pisang kaki lima sampai peta dan maket Ibu Kota Jakarta, atau patung teratai hitam besar yang bisa kembang-kuncup dengan sendirinya. Gerai-gerai dihiasi berbagai hiasan dinding, sesuai dengan suasana: ada tempelan foto-foto erotis dan seksi dari koran dan majalah di Rumah Bordil, ada foto-foto keluarga di Ruang Tamu, ada lukisan-lukisan dipajang dan hiasan dari gelas didasarkan di lantai di sebuah hall. Ada juga tontonan film di televisi di beberapa ruang.

Lay out gedung Museum Bank Indonesia yang direspons oleh para perupa memungkinkan pameran ini terkesan mirip Pekan Raya Jakarta. Lihat saja, loket-loket nasabah terkesan bagaikan wartel-wartel, ruang-ruang menjadi toko, dan di ruang terbuka kelompok Taring Padi membuka warung pecel lele yang dinamai Warung Ruang Urban. Bahkan ceruk-ceruk gedung dimanfaatkan untuk memajang sesuatu, dan di bidang tonjolan di atas tangga yang menghubungkan lantai 1 dan 2 ditaruh ”suvenir” berupa boneka-boneka Manusia Serupa dari keramik.

Baru di hari-hari kemudian, ketika pengunjung pameran hanya belasan, luas ruang pameran memungkinkan kita mengamati tiap gerai dan jualannya di ”Pekan Raya Jakarta” ini. Kita pun punya kesempatan untuk asyik memilih-milih dan merenung-renung pameran besar bertema Kebudayaan Kota yang dirancang Jim Supangkat, kurator piawai di Indonesia kini.

Secara keseluruhan pameran ini cukup provokatif. ”Tuntutan” Dan Soewarjono (almarhum), seorang kritikus terkemuka di masa 1950-an sampai 1980-an, bahwa karya seni rupa yang berhasil setidaknya menyajikan ”bentuk baru” ada di sini. Dan untuk menjadikan sebuah karya terasa ”baru” banyak kiatnya. Karya foto yang sebenarnya biasa-biasa saja, karena disajikan dengan cara ditempel pada kubus-kubus yang membentuk ”piramid”, jadi mengundang perhatian (karya Sigit Pramono). Karya-karya itu seolah menjelma menjadi karya tiga dimensi, menjadi lebih nyata.

Lalu, lukisan yang menggambarkan suasana jalan, karena terdiri dari beberapa kanvas yang digandeng dan digantung di sebuah ruang ”sempit”, terasa aneh: kita dipaksa memperhatikan detail, karena untuk mengambil jarak yang cukup agar bisa melihat keseluruhan lukisan panjang itu mustahil. Akibatnya, kita terpaksa menyambung-nyambung bagian-bagian lukisan itu di kepala kita. Ah, tiba-tiba terkesan karya Parvathi Nayar yang diinstal seperti itu memang mencerminkan salah satu ”budaya kota”: ruang hidup yang semakin terpepet bagi warga kota kebanyakan (karya Parvathi Nayar). Tapi bagaimana bila tersedia cukup jarak hingga kita bisa memperlakukan lukisan itu secara konvensional? Saya bayangkan, karena jarak yang jauh dan lukisan itu menggambarkan orang-orang yang bergerak bak disapu angin dengan warna-warna pastel muda, yang tertangkap lebih sapuan-sapuan bergelombang daripada bentuk-bentuk.

Atau, lihatlah provokasi tiga karya terakota yang menggambarkan lantai, pagar, dan jembatan seperti sebenarnya namun dalam bentuk miniatur (batu bata itu memang kecil-kecil seukuran permen karet). Selain ukurannya yang mini, cara menyajikan karya keramik ini provokatif juga: menempel di tiga ceruk di tembok sebuah lorong yang memisahkan gedung dan ruang terbuka bangunan Museum Bank Indonesia ini. Dan komidi putar itu ternyata tunggangan di situ adalah kambing-kambing warna-warni (bukan kambing hitam) yang mengangguk-angguk (karya kelompok Metromini).

Tema Urban Culture memang tersaji dalam konteks budaya kota sebuah negara berkembang (sebagian besar peserta adalah perupa Indonesia) bila kita mau menghubung-hubungkan antara karya dan tema. Namun, ketika saya mendatangi satu per satu karya, bukan tema itu yang muncul, melainkan sebuah ”dialog” sebagaimana ketika saya melihat pameran ”konvensional”, yakni karya secara keseluruhan, bentuk dan komposisinya, ruang dan warna dan cara warna itu tersaji, dan lain-lain yang berkaitan dengan unsur-unsur karya seni rupa yang pertama-tama ”menyapa”. Tentu, bentuk, misalnya, bukan hanya figur-figur seperti dalam lukisan Yuswantoro Adi. Bentuk bisa saja seperti ”patung” kayu hangus dalam Siklus Abu karya Tisna Sanjaya. Bisa juga bentuk adalah origami raksasa dari Atelier Bow-Wow berjudul Kubah Origami Raksasa. Ruang tak hanya yang maya dalam bidang dua dimensi atau yang terbentuk dari komposisi patung tiga dimensi. Ruang bisa juga yang terbentuk dari proyektor di atas yang mengirimkan gambar-gambar ke sebuah buku kecil terbuka di lantai seperti pada karya Yudhi Soeryoatmodjo.

Dari ”dialog” dengan karya-karya itulah kita tak sekadar mengagumi yang terlihat. Juga, kita merasakan yang tak terlihat yang terpancar dari yang terlihat itu. Maka, karya Titarubi berupa sembilan tubuh sembilan warna digantung telentang di sebuah ruang mungkin sebuah dialog tentang kematian, tentang tubuh sempurna tapi tak berdaya, tentang manusia. Karya foto Oscar Matullah yang ditempel di loket ”wartel-wartel” tadi seperti mengingatkan bahwa kita tak sendiri di ruang sempit remang-remang itu. Dan lihatlah Scaffolding City lukisan Alfredo D. Esquillo Jr. dari Filipina: seorang lelaki duduk di perancah memegang joran. Konstruksi perancah itu, seorang lelaki dengan joran, dan latar bidang kanvas yang datar membentuk musik hening mencekam.

Ada karya-karya Sri Hartono, keramikus yang terampil membentuk bus, truk, atau kereta api yang sarat penumpang. Bentuk-bentuk di sini yang meleat-leot karikatural mestinya mengandung humor. Namun, jumlah penumpang yang tak wajar menjadikan senyum urung tersungging—ini sebuah hidup yang sesak.

Lukisan, patung, obyek, karya video Entang Wiharso dengan figur-figurnya yang khas (tubuh telanjang yang kaku, gundul, mata seperti membelalak) kontras dengan potret seorang wanita muda yang berenang (dicetak dari video). Ini kisah manusia yang absurd, tergeletak di bawah pabrik yang membunuh, kepala yang tergantung dengan dahi ditembus lidi, dan wanita yang berenang dan berenang entah ke mana. Seperti nasib tragis Sisyphus, tak henti-henti mendorong batu ke puncak, batu pun menggelinding ke bawah lagi, didorong lagi dan seterusnya. Dan yang sudah disebutkan, monumen atau patung kayu hangus Tisna Sanjaya, yang ditegakkan di ruang bau arang, deretan besek berisi kayu-kayu sepotong, sebuah rak tempat botol-botol berisi arang atau abu. Siklus Abu, dan manusia tak lebih dari abu, tersimpan di botol-botol, terlupakan.

Kemudian kolaborasi sejumlah orang, di antaranya arsitek dan perupa, menyajikan Membayangkan Jakarta. Ada maket, ada peta, ada karya keramik kecil-kecil ditaruh dalam kantong-kantong kecil yang menempel pada selembar plastik lebar. Yang paling menyentuh adalah keramik-keramik itu, yang berupa pesawat televisi, torso, dan bentuk makanan-makanan kecil. Judulnya, Hati-hati Kalau Makan. Ini bukan makan biasa, melainkan makanan otak dari televisi, seks, polusi, dan sebagainya.

Ada dua karya yang menurut saya tak diuntungkan dari sisi tempat. Pertama karya Yudhi yang sudah disebutkan: sebuah buku tergeletak di lantai, ditimpa gambar-gambar yang selalu berubah dari sebuah proyektor di atasnya, sehingga seperti buku itu dibuka-buka oleh tangan yang tak terlihat. Lokasi karya ini tak teperhatikan, baik di waktu pameran sepi, apalagi ketika ramai, karena bentuk buku yang kecil itu, dan tempat yang remang-remang, kecuali penonton yang menuruni tangga di situ, yang langsung akan melihat buku itu. Rasanya, ini karya yang bicara tentang dimensi waktu yang tak pernah berhenti dan tak pernah mundur. Karya kedua, warung tenda pecel lele dari Taring Padi. Lokasi warung seperti di tempat yang sebenarnya, tempat terbuka, kurang memberikan ”ketegangan estetik”. Wilayah terbuka itu tak terasa sebagai bagian dari pameran. Padahal, untuk karya-karya semacam ini memerlukan ”pembaptisan” agar terasa sebagai karya seni. Bukankah ruang pameran memiliki kekuatan magis yang bisa ”membaptis” apa pun menjadi karya seni? Andai warung ditaruh di sebuah ruangan, entah di lantai 1 atau 2, saya menduga karya Taring Padi ini tak kalah dengan warung pisang Mella Jaarsma.

Alhasil, karya-karya dalam pameran ini tak banyak yang memberi surprise. Kita tak lagi mudah terkejut setelah pameran Seni Rupa Baru dan Pameran Pasar Raya & Dunia Fantasi (1970-an), pameran karya instalasi Dewan Kesenian Jakarta (1993), CP Biennale 2003, dan pameran-pameran kontemporer di beberapa galeri. Benar bahwa karya rupa pertama-tama haruslah menyajikan bentuk yang baru yang mengagetkan bukan secara ”fisik”, melainkan ”psikis”. Lebih jauh dari itu, kita masih memerlukan karya yang menyentuh secara transendental, yang membuat hidup terasa bermakna. Saya kutip luar kepala kata-kata seorang pelukis India: ”Saya melukis bukan hanya dengan otak, melainkan dengan keringat dan darah.”

Benar, tak semua karya seni mesti ”mendalam” seperti itu. Berbagai nilai bisa saja kita temukan dari karya seni: nilai keindahan, kegembiraan, kegunaan, dan sebagainya. Bukankah bermanfaat menemukan keindahan di mana-mana? Namun, nilai transendental yang agaknya bisa mendialogkan nasib manusia yang terlempar sendiri di Bumi, seperti karya Paul Gauguin yang bertanya: dari mana kita datang, siapa kita, ke mana kita pergi.

Bambang Bujono, Penulis seni rupa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus