Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Mencatat sejarah sang idola

Pada ulang tahun pernikahannya ke-50, mawai sophiaan memperkenalkan bukunya "apa yang masih teringat". merupakan catatan sejarah perjuangan bangsa indonesia selama tiga zaman. bung karno sebagai tokoh sentral.

2 Februari 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUASANA patriotik bergetar ketika sekitar 200 hadirin mengumandangkan Indonesia Raya bulan lalu di Jakarta. Malam itu, bekas Duta Besar RI di Moskow, Manai Sophiaan, 76 tahun, memperkenalkan bukunya, Apa yang Masih Teringat. Beragamnya hadirin malam itu -- tepat ulang tahun pernikahannya yang ke-50 -- agaknya bisa mencerminkan ketokohan Manai Sophiaan sendiri. Selain beberapa pejabat seperti Menko Kesra Soepardjo Rustam, Menteri Agama Munawir Sjadzali, ada pula Ketua MUI K.H. Hasan Basri, bekas Menteri P dan K Mashuri, bekas Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, beberapa duta besar negara sahabat, dua anak Bung Karno, Rachmawati dan Guruh. Beberapa bintang film juga tampak menjadi tamunya. Maklum, Manai adalah ayah kandung aktor Sophan Sophiaan. Buku Apa yang Masih Teringat setebal 471 halaman itu merupakan catatan sejarah perjuangan bangsa Indonesia selama tiga zaman: pergerakan kemerdekaan di masa kolonial Belanda, zaman Jepang, dan setelah proklamasi. Bung Karno didudukkan sebagai tokoh sentral. Sementara itu, riwayat perjuangan rakyat Sulawesi dan peranan Manai merupakan pelengkap perjalanan panjang Sang Proklamator. Manai Sophiaan lahir di Takalar, Sulawesi Selatan. Anak seorang kepala polisi yang kemudian menjadi guru sekolah Taman Siswa ini pertama kali mengenal dunia pergerakan politik dalam Parindra (Partai Indonesia Raya). Belakangan, di zaman pendudukan Dai Nippon, ia terjun ke profesi wartawan. Enam bulan setelah Jepang mendarat Maret 1942, ia diminta menjadi wartawan harian Pewarta Selebes oleh pemerintah pendudukan. Dalam dunia wartawan itu ia kemudian bertemu Bung Karno. Dengan alasan ingin mempelajari dunia persuratkabaran, Manai pergi ke Jakarta. Ia menemui Bung Karno di Jalan Pegangsaan Timur 56. "Pergunakanlah sarana itu untuk menggugah hati rakyat dan tanamkan di dalamnya semangat kemerdekaan," Manai mengutip saran Bung Karno. Pertemuan kedua terjadi secara kebetulan. Bulan Oktober 1943, bersama lima wartawan, termasuk perintis pers Djamaluddin Adinegoro, Manai diundang ke Tokyo menghadiri konperensi wartawan wilayah Asia Timur Raya. Di Hotel Imperial, mereka bersua Bung Karno, Bung Hatta, dan Ki Bagus Hadikusumo. Ketika itu ketiganya memang diundang Kaisar Tenno Heika untuk menerima bintang kehormatan dan mendengarkan janji Jepang, yang akan memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia. Sejak itu, kekaguman Manai terhadap Soekarno semakin tebal. Manai, misalnya, meniru idolanya dengan mengenakan peci hitam mirip Bung Karno. Gara-gara peci itu pula ia pernah disangka sebagai Bung Karno. Itu terjadi pada 1961. Ketika itu ia menunggu Bung Karno, yang tengah menyampaikan pidato To Build the World Anew di Sidang Umum PBB. Tiba-tiba ada seorang lelaki kulit putih menyapanya dengan penuh hormat, "How do you do, Your Excellency?" Selama menulis bukunya, Manai rupanya sadar betul betapa sulitnya untuk tak subyekfif -- satu hal yang biasa dalam penulisan sejarah. Karena, katanya, "Banyak peristiwa negara yang ditulis hanya dilihat dari satu pihak." Ia mengambil misal Peristiwa 17 Oktober 1952, ketika parlemen diserbu demonstran yang digerakkan oleh Angkatan Darat. Belakangan, menurut Manai, para penulis sejarah ternyata hanya mewawancarai Jenderal A.H. Nasution atau Jenderal T.B. Simatupang. Sementara itu, para anggota DPR, termasuk Manai sendiri, diabaikan. "Padahal, yang memegang rol yang paling penting waktu itu saya," katanya. Maka, untuk menghindari kesan subyektif itu, ia melengkapi data di bukunya dengan berbagai sumber referensi yang diperolehnya dalam penelitian selama setahun. "Dengan demikian, tidak semata-mata berisi keterangan dari pihak saya saja. Saya berusaha melengkapinya dengan pembuktian-pembuktian," ujarnya. Manai, misalnya, mengutip beberapa risalah BP KNIP (Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat), Parlemen Republik Indonesia Serikat, DPR hasil Pemilu 1955, Dewan Konstituante, DPRGR dan MPRS. Di semua lembaga tinggi dan tertinggi negara itu ia pernah menjadi anggotanya. Ia masih menambahnya lagi dengan beberapa dokumen yang dikumpulkannya selama menjadi Sekretaris Jenderal PNI (Partai Nasional Indonesia), 1946-1964. Terutama, ketika PNI berkali-kali menjadi formatur pembentukan kabinet dalam alam demokrasi parlementer. Selain itu, ia juga mengutip beberapa dokumen dan buku terbitan Belanda. Misalnya Officiele Bescheiden Bettreffende de Nederlands -- Indonesische Betrekkingen, 1945-1950, jilid 1 s/d 15. Buku itu memuat surat-menyurat antara Kerajaan Belanda dan Republik Indonesia menjelang Konperensi Meja Bundar 1949. Dari beberapa dokumen penting itulah, Manai Sophiaan melemparkan pendapatnya yang cukup kontroversial. Katanya, "Tanpa mengecilkan arti Serangan Umum 1 Maret 1949, di situ terlihat bahwa diplomasi Bung Karno di dunia internasional lebih menentukan tercapainya penyerahan kedaulatan." Selama ini orang menganggap, hanya Serangan Umum 1 Maret itulah kunci yang mampu mengubah pandangan dunia internasional. Banyak yang bertanya buku itu mengapa baru ditulisnya sekarang. "Dulu saya memilih diam, supaya tidak timbul pertentangan," katanya. Seandainya dalam buku yang dimaksudkan meluruskan sejarah itu ada hal-hal yang dianggap kontroversial, hal itu sudah dipikirnya masak-masak. "Ya, karena sekarang saya sudah berumur 76 tahun," katanya. Priyono B. Sumbogo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus