MANAI Sophiaan menulis buku Apa yang Masih Teringat sebagai salah satu catatan sejarah. Bahkan, katanya, buku terbitan Yayasan Mencerdaskan Kehidupan Bangsa ini juga dimaksudkan untuk "meluruskan sejarah". Namun, ada beberapa hal yang berbeda dengan beberapa penulisan lain, misalnya karya A.H. Nasution. Berikut sebagian kutipan dari bukunya: Bung Karno Menyerah. Ketika Belanda menggali liang kubur sendiri untuk sisa-sisa kekuasaannya di Indonesia dengan menyerbu ibukota perjuangan Yogyakarta pada tanggal 19 Desember 1948 dan berhasil menahan Presiden Sukarno, Wakil Presiden Moh. Hatta dan pemimpin-pemimpin RI lainnya, timbul gerakan hendak mendiskreditkan Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta dari golongan A.H. Nasution, karena keduanya memilih jalan diplomasi dan tidak masuk hutan memimpin perjuangan gerilya (halaman 214). Meskipun Nasution mengakui tetap kuatnya wibawa Sukarno-Hatta, ia menekankan bahwa sejak 19 Desember 1948, kepemimpinan perjuangan telah beralih ke tangan militer. Dalihnya, karena setelah Kabinet memutuskan tidak meninggalkan ibukota untuk memimpin perlawanan gerilya, berarti pimpinan negara yang sipil tak lagi melibatkan diri dalam kepemimpinan perjuangan rakyat di puncak krisis yang menentukan nasib bangsa. Sejak itu militer telah mengambil-alih pimpinan perjuangan rakyat semesta, dari puncak nasional sampai ke desa-desa. Maklumat Pemerintah yang dikeluarkan dari Yogyakarta pada tanggal 19 Desember 1948 segera sesudah sidang Kabinet, yang diperkuat dengan amanat Presiden dan Wakil Presiden yang menyerukan perlawanan rakyat semesta terhadap Belanda, dianggap tak memimpin. Padahal, dalam kenyataannya, maklumat dan dua amanat yang sempat disiarkan oleh RRI dan pers dunia itulah yang menjadi dasar bagi Perdana Menteri Jawaharlal Nehru dari India mengundang Konperensi Solidaritas Asia di New Delhi dari 20 sampai dengan 23 Januari 1949, yang dihadiri oleh 17 negara peserta dan 4 negara peninjau. Konperensi dengan keras mengutuk agresi Belanda dan menuntut dipulihkannya kembali kekuasaan RI di Yogyakarta seperti sebelum terjadinya invasi. Suara Konperensi New Delhi segera memantul ke Dewan Keamanan PBB dan pada tanggal 28 Januari 1949, satu bulan sebelum Serangan Umum 1 Maret 1949, sesuai dengan keputusan New Delhi, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi. Isinya mendesak Belanda supaya menghentikan agresinya dan memulihkan kembali Pemerintah RI di Yogya dalam kedudukan dan kekuasaannya seperti sediakala (halaman 216). Peristiwa 17 Oktober 1952 Mungkin dengan ungkapan ini bisa membantu kita untuk memahami, mengapa Gerakan 17 Oktober 1952 dikaitkan orang dengan rencana PSI merebut pengaruh di kalangan tentara, terutama untuk menghadapi pemilihan umum yang waktu itu sudah menjadi program partai-partai politik dan kabinet (halaman 315). Parlemen kemudian minta kepada Menteri Pertahanan supaya memberikan keterangan kepada parlemen mengenai kemelut di Kementerian Pertahanan dan Angkatan Darat, seperti yang disampaikan oleh Kol. Bambang Supeno kepada Seksi Pertahanan Parlemen. Salah satu persoalan yang disampaikan oleh Kol. Bambang Supeno kepada Seksi Pertahanan ialah pengamatannya bahwa PSI melakukan kegiatan di Kementerian Pertahanan, lewat Sekretaris Jenderal Kementerian tersebut, Mr. Ali Budiardjo dan Kol. Wiyono, yang dikatakannya juga berafiliasi dengan PSI. Mereka berusaha mempengaruhi perwira-perwira AD supaya bersimpati kepada PSI. Usaha ini ditentang oleh perwira-perwira lain yang bukan simpatisan PSI atau partai-partai lain, karena menurut ketentuan, tentara tak dibenarkan melibatkan diri dalam kegiatan salah satu partai politik (halaman 318). Reaksi pimpinan AD jelas, menganggap bahwa "intervensi" parlemen ke dalam tubuh TNI sudah terlalu jauh. Dikatakan, selama gerilya, terutama di Jawa, TNI mengendalikan perang dan pemerintahan gerilya, sekarang setelah berlakunya UUD 1950, secara resmi TNI menempati posisi sebagai alat sipil. AD sudah siap dengan rencana-rencana, begitu mosi Manai Sophiaan dan kawan-kawan diterima. Antara lain melakukan tindakan polisionil terhadap 30 anggota parlemen yang sudah dicatat, dengan alasan kriminil. Dalam daftar nama-nama yang akan ditangkap, termasuk juga nama saya. Karena mosi sayalah yang dianggap menjadi biang keladi (halaman 333). Tanggal 17 Oktober 1952 jam 8.00 beberapa ribu orang yang didatangkan dari Tanjung Priok dan Senen digerakkan oleh Kol. Dr. Mustopo dan orang-orang PSI, menuntut supaya parlemen dibubarkan. Setelah mengobrak-abrik parlemen, sekitar jam 9.00 mereka berbaris menuju istana untuk menyampaikan tuntutan itu kepada Presiden. Pemuda-pemuda yang kepalanya diikat kain merah bertindak sebagai pengatur demonstrasi. Mobil-mobil yang lewat ditempeli poster "Bubarkan Parlemen" (halaman 335). Keterlibatan Bung Karno dalam G30S-PKI Tuduhan bahwa Presiden Sukarno menjadi dalang atau setidak-tidaknya ikut terlibat G30S-PKI menjadi tidak logis. Karena itu memang tak bisa dibuktikan kebenarannya oleh aparat penyidik hukum. Bahkan keterangan anggota CC PKI, Peris Perdede, di muka sidang pengadilan yang mengadilinya di Medan, yang dikutip oleh A.H. Nasution dalam bukunya Memenuhi Panggilan Tugas jilid 7 halaman 19, sangat jelas menunjukkan ketidaklogisan Bung Karno terlibat. Peris Perdede menjelaskan bahwa Ketua CC PKI, D.N. Aidit, menjelang G30S-PKI mengatakan dalam pertemuan yang tidak diingatnya apakah forum CC atau Politbiro, jangan sampai Bung Karno memimpin (gerakan tersebut) tapi mestilah PKI sendiri. Karena, bagaimanapun juga Bung Karno adalah orang borjuis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini