Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Menengok Pameran Arsip Geliat Seni Era Pendudukan Jepang

Dari pameran bertajuk 3 1/2 Tahun Bekerja tersebut tergambar dunia seni di masa penjajahan Jepang.

10 Mei 2018 | 17.56 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta -Masa penjajahan Jepang pada 1942-1945 sering disebut sebagai masa paling kejam dan gelap sejarah Indonesia. Namun dalam jangka waktu tersebut, dunia seni dan seniman Indonesia menggeliat. Kondisi ini tergambar dalam pameran bertajuk 31/2 Tahun Bekerja yang digelar di Lobby Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 7-10 Mei 2018.

Baca: Banjir Tampil di Ruang Pameran di Bandung

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Jepang memainkan peran penting dalam dunia seni. Indonesia adalah negara terakhir yang dijajah Jepang dan penerimaannya besar di sini,” ujar Kurator pameran, Antariksa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dari pameran yang dihelat Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta bekerja sama dengan Bekraf tersebut tergambar bahwa dunia seni di zaman itu menggeliat di berbagai bidang karena program propaganda yang dilancarkan oleh Jepang saat itu. Bahkan tercatat, ratusan nama seniman ikut berkesenian dengan bantuan Jepang.

Pengunjung bisa melihat beragam jejak seni dalam beragam bentuk, meski pun dalam wujud barang reproduksi, cetak ulang dan pembacaan ulang terhadap karya seni oleh para seniman muda. Yang menarik di ruang black box bertirai hitam, pengunjung bisa melihat tulisan putih menyala di bawah lampu ultra violet.

Tulisan itu adalah deretan profil 68 seniman yang dibantu program Jepang. Kurator pameran, Antariksa, mengatakan seni pada masa penjajahan Belanda adalah barang mahal. Hanya orang terpilih, bangsawan yang bisa melakukannya. Karyanya pun untuk kalangan tertentu. Tercatat hanya ada sekitar 10 seniman seni rupa pada masa itu.Reproduksi karya pamflet propaganda dan sketsa dan foto kegiatan di surat kabar di era pendudukan Jepang yang dipamerkan di Lobby Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. (TEMPO/Dian Yuliastuti)

Tetapi pada penjajahan Jepang, muncul lebih banyak pertunjukan, seni rupa. Tercatat dalam dokumen yang diperoleh Antariksa terdapat lebih dari 900 nama seniman. ”Di masa ini Jepang memberikan infrastruktur secara gratis seperti kanvas, cat, bahkan model. Tidak hanya di Jawa tapi di pulau-pulau lain,” ujar Antariksa.

Tersebutlah nama-nama yang aktif berkesenian seperti yang sudah banyak dikenal seperti Affandi, S. Sudjojono, Hendra Gunawan, Armyn Pane, Sanusi Pane, Chairil Anwar, H.B. Jassin, Ki Hajar Dewantara, dan puluhan nama seniman dari berbagai daerah.

Dalam penelitian dan penelusuran arsip sejarah seni masa pendudukan Jepang di Belanda dan Jepang, Antariksa mendapatkan beragam jejak seni. Selain dokumentasi biografi seniman, ada pula belasan film yang diproduksi Jepang di Indonesia (saat itu belum disebut Indonesia—karena negara Indonesia belum lahir), ada beragam sketsa tentang alat transportasi dan kehidupan sehari-hari, belasan poster propaganda yang mengajak rakyat untuk bekerja dan bersatu mendukung Jepang.

Pada saat itu, kata Antariksa, Jepang juga mengirimkan 300 seniman yang sudah mapan ke Indonesia bekerja dan berkolaborasi dengan seniman Indonesia merancang program seni. Hingga kemudian dibentuklah Keimin Bunka shidoso, sebuah lembaga kebudayaan bentukan Jepang yang bekerja untuk mengasah ketrampilan dan memperluas wawasan kesenian para seniman.

Ketua Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta, Afrizal Malna mengatakan, pameran arsip ini merupakan pameran kedua yang digelar. Pameran berdasar arsip dan dokumen sejarah yang cukup penting. Dia mengatakan tanpa era ini, seni dan seniman Indonesia tak jadi seperti ini.

Dia juga mengatakan era ini merupakan era yang paling ambigu karena penuh dengan pro kontra. Jepang berhasil masuk ke Indonesia dan menemukan kesamaan dengan rakyat Indonesia untuk membebaskan dari Barat. “Era ini memunculkan banyak hal yang ajaib dan penuh misteri,” ujar Afrizal.

Beberapa seniman muda juga menampilkan karya dari pembacaan karya seniman terdahulu di pameran ini. Ada pertunjukan seni oleh Haryo Hutomo yang mencacah kopian surat kabar dan memfermentasikannya, ada pula pertunjukan teater oleh Artery Performa, paduan suara dengan lagu-lagu propaganda era Jepang. Digelar pula beberapa simposium terkait arsip dan dokumen sejarah saat itu.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus