Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Menentang kolonialisme dari rantau

Nukilan buku "tan malaka" karya harry a. poeze. penerbit pustaka utama grafiti. berhasil menyingkap misteri tokoh tan malaka yang hampir separoh masa perjuangannya dilewatkan di luar negeri.

23 Januari 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAUH sebelum Indonesi merdeka, Tan Malaka telah menulis gagasan besar dalam pamfletnya yang terkenal, Naar De Republik Indonesia (Menuju Republik Indonesia). Dan ia tidak sekadar mencetuskan gagasan, tapi juga secara ikhlas dan tabah mengabdikan seluruh hidupnya demi terwujudnya cita-cita tersebut. Hampir separuh masa perjuangan Tan Malaka dilewatkan di luar negeri. Maka, namanya tak asing bagi tokoh-tokoh pergerakan maupun intel, di Singapura, Hong Kong, Cina, Filipina, dan Negeri Belanda. Bahkan ia mendirikan Partai Republik Indonesia (Pari) di Bangkok. Maka, tatkala Tan Malaka muncul di Jakarta pada hari-hari sekitar proklamasi, banyak orang yang ditemuinya tidak menyangka bahwa mereka berhadapan dengan tokoh misterius itu. Bekas pejabat Jepang, Nishijima Shigetada, menuliskan pengalamannya dalam buku The Japanese Experience in Indonesia: Selected Memoirs of 1942-1945 sebagai berikut: "Saya sangat terkesan oleh argumen-argumennya, karena didasarkan pada suatu analisa mengenai situasi internasional. Saya berpikir, 'Bagaimana bisa seorang yang tampak menyerupai petani bisa melakukan analisa begitu tajam?' Dia bukan orang biasa. Sesudah kami berbincang lebih dari dua jam, Subardjo berkata, 'Tuan Nishijima! Inilah Tan Malaka yang benar.' Tidak perlu dijelaskan bahwa semula saya sangat terperanjat ...." Sejak pertemuan itu, Shigetada, pembina "kolone V" Jepang di Indonesia, sering mengunjungi Tan Malaka. Ia bahkan berencana memprakarsai Tan Malaka melakukan perang gerilya di sekitar Banten, dengan memberinya sebuah kendaraan senjata, fasilitas radio, dan sejumlah bahan makanan. Itulah sekadar ilustrasi untuk menunjukkan kemisteriusan Tan Malaka. Buku Tan Malaka karya Harry A. Poeze, yang kami nukilkan ini, boleh dikatakan berhasil mencairkan misteri yang menyelubungi sang tokoh. Edisi bahasa Indonesia karya Poeze ini, yang akan segera beredar, diterbitkan oleh Pustaka Utama Grafiti. Mendirikan Partai di Kuil Budha D~ENGAN mulainya tindakan-tindakan kekerasan di Jawa, keadaan bagi Tan Malaka dan kawan-kawan di Singapura , ~ menjadi tidak lebih mudah. Pertengahan Desember, Tamim mendesak supaya mereka meninggalkan Singapura, tapi Tan Malaka ingin menunggu sampai akhir bulan agar dapat membayar ongkos perjalanan dengan upahnya sebulan yang pertama. Pada 10 Desember 1926, Tan Malaka Tamim, dan Subakat bertemu di pantai Diputuskan Tan Malaka dan Subakat secepatnya berangkat menuju Bangkok. Sepuluh hari kemudian, Subakat berangkat ke Penang, dan selang empat hari Tan Malaka menyusul. Setelah seminggu Tamim mengirimkan uang untuk perjalanan selanjutnya. Tan Malaka dan Subakat bertemu kembali di perbatasan Muangthai dan Malaka, lalu bersama-sama melanjutkan perjalanan ke Bangkok. Sementara, Tamim tetap tinggal di Singapura. Pertengahan Januari, Tan Malaka mengirim Subakat ke Kanton. Tiga bulan kemudian, Subakat berjumpa Alimin dan Muso di Kanton. Ia didesak mereka untuk pergi ke Moskow. Subakat menolak. Ia ingin kembali ke Bangkok. Dengan persetujuan orang-orang Komintern di Shanghai, Subakat mengambil keputusan bergabung dengan Tan Malaka, yang akan mengembangkan kegiatan-kegiatannya dari Manila. Setelah itu, Mei 1927, Subakat mengirimkan kawat kepada Tan Malaka. Ia menyatakan akan cepat kembali ke Bangkok, dan minta Tan Malaka memanggil Tamim ke Bangkok. Tamim, setelah menerima kawat Tan Malaka, pertengahan Mei tiba di Bangkok. Seminggu kemudian Subakat bergabung dengan mereka. Mereka menginap di hotel. Tapi keadaan keuangan yang semakin menipis tidak mengizinkan mereka lama-lama tinggal di hotel. Untung saja, Tamim dapat mengadakan hubungan dengan guru agama Syekh Achmad Wahab, yang bersikap anti-Belanda dan sudah tinggal di sana dalam pembuangan sejak 1908. Syekh Wahab mengenal Tamim dari tulisan-tulisannya di harian-harlan Minangkabau. Mereka dengan cepat menjadi akrab. Kemudian Tan Malaka dan kedua kawannya tinggal di rumah salah seorang murid dari Siam di Tha Chang Wangna, sebelah utara Bangkok. Di Bangkok, ketiga pelarian politik Hindia Belanda itu mengambil keputusan mendirikan suatu partai baru. Pada 2 Juni 1927, di taman Istana Prachatipak, disaksikan puluhan patung Budha, mereka secara resmi mendirikan Partai Republik Indonesia (Pari). Adalah penting sekali, kata mereka, suatu partai baru demi kepentingan Indonesia. Karena itu, mereka mendirikan Pari. "Hindia mempunyai masalah sendiri yang mendesak, yang minta suatu penyelesaian. Pari adalah suatu alat yang mencoba menurut pandangannya sendiri menyelesaikan masalah-masalah itu," kata Tan Malaka. Tan Malaka dan kawan-kawan menjelaskan bahwa mereka tetap termasuk golongan orang-orang internasionalis, tetapi mempunyai pendapat lain dari Komintern (gabungan partai-partai komunis) tentang cara-cara yang harus dipakai untuk mencapai tujuan terakhir. Bukan dari atas ke bawah, tetapi sebaliknya. Pari, menurut anggaran dasarnya, "suatu partai yang berdiri sendiri dan tidak terikat pada partai lain, dan bebas dari pimpinan atau pengaruh partai atau kekuasaan lain." Tujuan Pari: memperjuangkan kemerdekaan Indonesia secepat-cepatnya. Untuk itu, Pari akan mengikuti suatu politik revolusioner berdasarkan manifesto dan program. Untuk itu, anggota-anggotanya harus memenuhi syarat-syarat yang kuat. Mereka baru diterima setelah melewati masa ujian yang ditetapkan partai. Apabila seorang anggota tidak memenuhi kewajiban-kewajibannya, membocorkan rahasia Pari, melakukan pengkhianatan atau tidak melindun~gi Pari, maka ia akan dikeluarkan dari partai. Ketika Tan Malaka dan kedua kawannya masih di Bangkok, sampailah berita pada mereka bahwa orang-orang nasionalis telah mendirikan Perserikatan (kemudian Partai) Nasional Indonesia (PNI) pada 4 Juli 1927. PNI dipimpin Soekarno, dan mencita-citakan kemerdekaan Indonesia. Untuk itu, partai ingin memperkuat kesadaran nasional atas dasar prinsip nonkooperasi dengan pemerintah. Tan Malaka sangat gembira mendengar gagasan tersebut. Mengenai hal itu, Tan Malaka menulis sebuah brosur berjudul Pari dan Ka~um Intelekt~ual Indonesia. Dalam brosur itu ia mengusulkan untuk berjuang bersama mencapai kemerdekaan di bidang politik, sosial, dan ekonomi. Kaum cendekiawan, katanya, harus memegang pimpinan organisasi massa buruh, petani, pemuda, dan menempanya menjadi organisasi yang berdisiplin dan bersatu. Awal Agustus, Tamim kembali ke Singapura. Ia menitipkan sejumlah dokumen kepada kakak perempuan Maswan Madjid, yang kawin dengan seorang pemimpin PNI di Jakarta, dan selan~jutnya membagi-bagikannya di sana. Tak heran bila dalam propaganda-propaganda PNI tampak pengaruh tulisan-tulisan Tan Malaka. Pada waktu yang hampir bersamaan Tan Malaka berangkat ke Amoy. Ia akan menetap di Manila, yang ditinjau dari segala segi memberi peluang kepadanya melakukan pekerjaan sebanyak-banyaknya untuk Pari. Sementara itu, Subakat tetap tinggal di Bangkok. Syekh Achmad Wahab memakai tenaganya untuk mengajar di sekolahnya, yang dalam soal-soal pendidikan di luar agama masih jauh ketinggalan. Subakat memberikan pelajaran bahasa Inggris, ilmu pasti, dan menggambar. Diburu-buru Intel di Manila ELANG tiga bulan datang pukulan pertama buat Pari. Tan Malaka keliru jika menyangka Filipina menyediakan ling~kungan yang tenang untuk bekerja bagi kepentingan Pari. Sebelumnya, pada 1925 dan 1926, ia bisa tinggal di negara itu selama beberapa bulan tanpa diketahui orang, tapi sejak awal 1927 polisi Filipina rajin mencari jejaknya. Pada 31 Januari 1927, Konsul Jenderal Amerika di Singapura memberitahukan kepada yang berwenang di Manila bahwa ada kemungkinan Tan Malaka sudah masuk di Filipina. Berdasarkan pemberitahuan itu, polisi lalu mengadakan penyelidikan. Tan Malaka menjejakkan kaki di Filipina setelah melalui perjalanan yang sulit. Ia masuk memakai paspor palsu dengan nama Hassan Gozali. Tiba di Manila, ia langsung minta bantuan kawannya, jutawan Mariano Santos. Berkat kawannya itu Tan Malaka mendapat makan dan pemondokan secara cuma-cuma di lingkungan Universitas Manila. Semua itu mungkin karena salah seorang pimpinan Universitas Manila, Apolinario de los Santos, adalah abang Mariano. Selang beberapa waktu Francisco Verona, pemimpin surat kabar El Debate, mengunjungiTan Malaka di kampus Universitas Manila. Ia berjanji memberikan dukunga'n kepada Tan Malaka. Setelah itu, pada suatu malam Tan Malaka menerima undangan dari seorang redaktur surat kabar agar datang ke kantor redaksi. Orang inilah, menurutnya, yang memberi info mengenai kehadirannya d~i kantor surat kabar itu kepada polisi. Tak lama setelah bercakap-cakap dengan tuan rumah, Tan Malaka pergi keluar. Seorang berpakaian sipil bertanya, "Apakah Anda yang bernama Fuentes?" Ketika Tan Malaka mengiakannya, muncul sejumlah agen polisi bersenjata di sekelilingnya, dan menangkapnya. Sebelum sadar tentang apa yang terjadi, ia sudah digelandang ke mobil polisi, dan langsung dibawa pergi. Waktu, ketika itu, kira-kira pukul 22.00. Di kantor polisi, Tan Malaka sudah ditunggu oleh Kepala Intel, Kolonel Ramos, dan Komisaris Nevins. Kedua perwira polisi itu segera melakukan interogasi secara ketat. Tan Malaka masih sempat mengatur strategi guna menjawab pertanyaan-pertanyaan polisi. Ia tidak tahu pasti apa yang sudah diketahui pemeriksa mengenal gerak-geriknya pada masa 1925-1927. Sudah tahukah mereka bahwa ia lama tinggal di Singapura, ataukah mereka berpendirian bahwa sudah dua tahun ia tinggal di Filipina? Tan Malaka memutuskan akan memberi jawaban sesedikit mungkin. Dengan cara demikian ia dapat mengetahui keterangan apa yang sudah ada pada polisi. Ternyata, polisi mengira bahwa ia sudah dua tahun tinggal di Filipina. Karena itu, Tan Malaka berpura-pura seperti orang miskin, tanpa kawan, mengembara di mana-mana, dan tidur di kantor El Debate. Interogasi itu, menurut Tan Malaka, berlangsung dalam suasana yang baik. Jawaban-jawaban Tan Malaka yang meniadakan dugaan-dugaan tertentu dari pihak polisi secara sportif ditulis. Sebuah tulisan Tan Malaka dalam El Debate diletakkan di meja. Tan Malaka tidak dapat menyangkal bahwa itu tulisannya. Tapi ia balik bertanya: apakah dalam tulisan itu tersembunyi suatu delik? Kedua pemimpin polisi itu tidak bisa menjawab. Pertanyaan terakhir untuk Tan Malaka: Kapan dan dengan cara apa ia memasuki wilayah Filipina? Tan Malaka menerangkan bahwa ia masuk sebagai Fuentes, dan tiba di ManilaJuli 1925. Ia tidak mau menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang paspornya. Interogasi diakhiri kira-kira pukul 01.30-02.00. Satu hari setelah Tan Malaka ditahan, surat kabar The Philippine Herald memuat berita di halaman depan: "Seorang Jawa yang diduga sebagai seorang agen Bolsyewik, yang selama beberapa waktu diamat-amati polisi sehubungan dengan tersebarnya propaganda Bolsyewik di Filipina, tertangkap malam lalu oleh polisi dan dinas rahasia". Laporan itu selanjutnya memberitahukan bahwa selama diadakan interogasi "rahasia yang seketat-ketatnya dijaga oleh petugas-petugas pemeriksa. Pemeriksaan dilakukan dengan pintu tertutup yang dijaga ketat." Surat kabar La Vang~ardia mengemukakan dua alasan yang mungkin ada hubungan dengan penangkapan: permohonan dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda atau terlibatnya Tan Malaka dalam kerusuhan-kerusuhan di daerah Islam Filipina. Hari Senin koran-koran memberitakan bahwa polisi sudah enam bulan mengincar Tan Malaka. Hampir setiap malam petugas-petugas kepolisian mengamati orang yang lalu lalang di dua jembatan penting di Manila, apakah di antara mereka ada yang mirip Tan Malaka. Berita ini sesuai dengan surat-surat dari Konsul Jenderal Amerika, yang menunjuk kemungkinan adanya Tan Malaka di Filipina. Kemudian dalam minggu itu sumber-sumber resmi membenarkan berita tersebut. Dikabarkan, Konsul Jenderal itu menerima info tersebut sehubungan dengan tertangkapnya beberapa pemimpin pergerakan di Jawa, Januari 1927. Gubernur Jenderal Filipina segera memberi tahu polisi dan dinas keamanan. Tapi Tan Malaka tidak ditemukan. Tidak ada petunjuk bahwa Belanda berdiri di belakang penangkapan~Tan Malaka. Tapi, menurut Tan Malaka, ada perjanjian bahwa setelah penahannannya ia secara diam-diam akan dibawa ke suatu kapal Belanda yang sudah tersedia. Perjanjian itu tidak jadi dilaksanakan. Karena, kata Tan Malaka, pendapat umum bisa mencampuri masalahnya. Polisi rahasia berpendapat, penangkapan Tan Malaka merupakan suatu peristiwa besar: karena menyangkut seorang komunis yang terkenal secara internasional, yang niscaya juga di Filipina telah melakukan kegiatan yang menimbulkan kerugian besar. Tapi interogasi pertama, Jumat malam, dan juga interogasi-interogasi pada dua hari berikutnya tidak memperoleh bukti-bukti itu. Hanya masuk secara ilegal itulah yang tinggal sebagai perbuatan yang bisa membawa hukuman bagi Tan Malaka. Karena terlalu bergairah menguber Tan Malaka, pemimpin-pemimpin polisi lalai minta surat perintah sebelum penangkapan itu dilakukan. Mungkin mereka berpendapat hal itu tidak perlu, karena mengenai "orang Bolsyewik Jawa". Tapi kawan-kawan Tan Malaka di negara-negara Anglo Saxon tentu akan menarik banyak keuntungan dari kelalaian itu. Satu hari setelah penangkapan, Ramos mengatakan bahwa istri Tan Malaka menunggu di luar. Ramos tidak menyebutkan nama wanita itu, dan Tan Malaka menerangkan bahwa ia belum berkeluarga. Tapi dengan demikian Tan Malaka tahu bahwa nasibnya dan tempat ia berada sudah diketahui kawan-kawannya. Tidak lama kemudian Ramos bertanya apakah Tan Malaka mau menerima seorang pengacara. Tan Malaka mengatakan tldak kenal orang itu, dan minta kepada Ramos supaya mengirimkan pengacara dari Verona untuk membelanya. Verona tidak segera dapat dihubungi. Sabtu siang, Apolinario de los Santos, yang ditemani Pengacara Mariano Nable, sudah minta polisi membebaskan Tan Malaka. Ia menyatakan kepada pers bahwa ia kenal Tan Malaka sebagai, "seorang yang ramah, pengabdi pada negaranya. Satu-satunya kejahatan yang telah dilakukannya, kalau memang ada, ialah karena ia seorang patriot, dan ia seorang nasionalis kelas satu, tetapi belum pernah ia menjadi seorang Bolsyewik." Waktu itu, bila seseorang dicurigai Bolsyewik, ia bisa diusir dari Filipina. Tapi, menurut Ramos, dari interogasi yang mereka lakukan diketahui bahwa Tan Malaka punya hubungan erat dengan gerakan-gerakan radikal di Jawa. Tan Malaka, yang selama di Filipina sering melakukan perjalanan ke provinsi-provinsi dan mengunjungi pemimpin-pemimpin serikat buruh dan kaum buruh, mengakul dirinya seorang radikal, tetapi membantah punya hubungan dengan gerakan Bolsyewik. Kawan-kawannya mengakui bahwa~an Ma~laka masuk F~ilipina secara ilegal, karena sebagai pelarian politik tidak mungkin memiliki paspor. Tan Malaka terpaksa melarikan diri karena menjadi pemimpin Sarekat Rakyat. Masuk secara ilegal itu akhirnya merupakan satu-satunya perbuatan Tan Malaka yang dapat dihukum, dan atas dasar itu Ramos dan Nevins mengusutnya. Pengacara Nable, menurut La Vanguardia, melancarkan kritik pedas pada Ramos. Menurut dia, Ramos secara sadar telah merintangi usaha Tan Malaka mendapatkan seorang pengacara. Selain itu, penangkapan dan penahanan dilakukan tanpa surat perintah. Semua itu, menurut Nable, adalah akibat permohonan Batavia untuk mengekstradisikan Tan Malaka. Berikut ini petikan interogasi Tan Malaka: Apa pendapat Tuan tentang ajaran-ajaran Bolsyewik? Bolsyewik itu suatu doktrin yang dapat digunakan kelas buruh mencapai kebebasan sosial dan politik dengan jalan mempersatukan diri, sehingga dapat mengadakan perubahan-perubahan dengan ~jalan apa pun dalam sistem yang sekarang sedang berjalan. Apakah Tuan berpegang pada doktrin ini? Secara teoretis, ya. Tapi tujuan itu harus tunduk pada pembatasan-pembatasan yang terdapat di setiap negeri. Apa mata pencarian Tuan sebenarnya? Saya bergantung pada ketiga belas peso yang ada pada saya, dan pada bantuan dari beberapa teman. Tuankah orang yang terdaftar di manifes penumpang kapal Empress of R~us~ia, 20 Juli 1925, sebagai Elias Fuentes? Ya. Pemeriksa berkesimpulan: Tan Malaka tinggal secara ilegal di Filipina, selain itu ada kemungkinan lantaran pendapatannya kurang ia akan menjadi beban pemerintah. Karena itu, ia harus dikeluarkan dari Filipina. Tan Malaka mendapat waktu 48 jam untuk naik banding. Tapi Kepala Dinas Pabean Vicente Aldanese sudah menyatakan pengusiran Tan Malaka harus dilaksanakan dalam waktu singkat. Pertimbangan-pertimbangan politik dalam hal ini, katanya, tidak memainkan peran. Pernyataan Aldanese merupakan senjata bagi Ramos untuk menghadapi persidangan. Maka, ia menentang keras petisi untuk pembebasan sementara Tan Malaka. "Pelarian itu seorang yang amat berbahaya," kata Ramos. Di pengadilan, Hakim Diaz semula menetapkan uang jaminan sebesar 10.000 peso bagi pembebasan Tan Malaka. Pembela Abad Santos memberitahukan bahwa tidak mungkin Tan Malaka menyediakan uang sebanyak itu. Ia minta pengadilan mengurangi jumlah tersebut sampai 5.000 peso. Setelah mendenga~rkan alasan-alasan kedua belah pihak, Diaz menetapkan uang Jaminan sebesar 6.000 peso. Uang jaminan itu, menurut sebuah sumber, dibayar oleh bekas Senator Ramon Fernandez dan seorang Filipina yang tak disebutkan namanya. Selain itu, Tan Malaka diwajibkan pula melapor kepada polisi dua kali sehari -- pada pukul 09.00 dan 16.00. Setelah Hakim Diaz memerintahkan pembebasan sementara, Ramos sekali lagi mengajukan permohonan untuk menangkap Tan Malaka. Tapi ditolak Diaz. Keputusan pengadilan itu ditetapkan pada 17 Agustus. Tan Malaka dibebaskan kira-kira pukul 20.00, dan langsung mengadakan jumpa pers. Ia membeberkan siapa dia sesungguhnya. Ia, katanya, karena tuduhan-tuduhan palsu dari pihak majikan dipaksa meninggalkan pekerjaan di suatu perkebunan di Sumatera. Setelah itu, ia berangkat ke Jawa dan menjadi ketua Sarekat Rakyat, yang merupakan sayap kiri Sarekat Islam. Setelah suatu pemogokan, ia dibuang ke Negeri Belanda tanpa melalui proses peradilan. Di Negeri Belanda, ia dipilih sebagai anggota Parlemen, tapi terlalu muda untuk menjabat kedudukan itu . Selama pembuangan ia mengaku terus-menerus dikuntit mata-mata Belanda, tapi tetap berharap, bahkan sudah mengajukan permohonan, bisa kembali ke Hindia Belanda. Melihat dalam kata permohonan itu tersirat suatu jebakan, cepat-cepat ia menambahkan, "karena alasan kesehatan, Juli 1925 saya berangkat ke Filipina." Tanggal 16 Agustus, sehari sebelum vonis, merupakan hari yang relatif tenang bagi Tan Malaka. Memang ada beberapa surat kabar yang menentukan bahwa terlepas dari pengadilan, Gubernur Jenderal mempunyai wewenang mengeluarkan seorang asing yang tidak diingini. Tapi ia punya hak membela diri terhadap tuduhan-tuduhan yang dilemparkan jaksa, dan untuk pembelaannya paling sedikit harus diberi waktu tiga hari. Ketentuan itu terdapat dalam Pasal 68 Administrative Code. Gubernur Jenderal Gilmore, menurut Ramos, memberi waktu tiga hari pada Tan Malaka. Tapi Gilmore menghindari wartawan-wartawan yang ingin bertanya apakah ia ingin mengeluarkan Tan Malaka. "Pengeluaran Tan Malaka dari kepulauan ini sudah diputuskan oleh kantor pabean. Saya juga telah mengeluarkan surat perintah resmi untuk melakukan penangkapan," kata Kepala Pabean Aldancse. Sesuai dengan hukum, Tan Malaka akan dibawa kembali ke Hong Kong, pelabuhan asal menuju Manila. Setelah itu, ia bebas pergi ke mana saja. "Kami tidak ada kekuasaan untuk memaksakannya dibawa ke Jawa. Kami hanya berurusan dengan pengeluarannya dari kepulauan ini, karena ia tidak memiliki paspor yang memberi hak kepadanya untuk tinggal di Filipina. Hanya itulah tugas kami," tambah Aldanese. Para petugas pabean siap memberangkatkan Tan Malaka, 22 Agustus, dengan kapal Susana, yang langsung menuju Amoy. Pengacara Jose Abad Santos menyatakan akan naik banding ke Pengadilan Tinggi atas vonis Hakim Diaz. Kemungkinan untuk sekali lagi membawa perkara Tan Malaka ke pengadilan biasa dilepaskan, karena prosedur yang harus dilalui panjang sekali. Setelah Hakim Diaz menjatuhkan vonis, Tan Malaka langsung diserahkan kepada polisi. Kemudian polisi menyerahkannya lagi ke petugas pabean untuk ditahan kembali. Setelah kawan-kawannya menemui Aldanese, Tan Malaka dibebaskan dengan uang jaminan 1.000 peso. Terhadap penangkapan baru oleh pabean dan keputusan untuk mengeluarkan Tan Malaka dari Filipina, Abad Santos juga naik banding. Jadi, ada dua perkara banding Tan Malaka. Semula orang mengira Aldanese akan menangguhkan keputusan pengusiran sampai hasil banding di Pengadilan Tinggi diketahui. Ternyata, Aldanese tetap pada rencana yang disiapkannya: memberangkatkan Tan Malaka ke Amoy pada 22 Agustus. Mengenai penangkapan dan pengusirannya dari Filipina, reaksi Tan Malaka sebagai berikut: "Saya menyangkal bahwa saya seorang yang suka mencari huru-hara. Saya sudah tinggal di sini selama lebih dan dua tahun, dan saya menentang setiap orang setiap orang yang berwenang memperlihatkan bukti bahwa saya membawa pengaruh~ yang tidak baik kepada masyarakat di sini dan bahwa kehadiran saya di kepulauan ini merupakan bahaya bagi perdamaian dan ketertiban di negeri ini. Saya tidak pernah mengambil kesempatan selama ada di sini untuk memajukan cita-cita saya sebagai seorang nasionalis." Sekalipun demikian, Tan Malaka menyatakan akan menerima keputusan pemerintah. Sementara itu, kawan-kawan Tan Malaka berusaha mengumpulkan dana baginya. Menurut Verona, sebagian besar sumbangan berasal dari kaum buruh, juga dari provinsi. Tetapi,uang yang terkumpul itu masih belum cukup untuk memberi dasar kehidupan yang layak kepada Tan Malaka. Karena keberangkatan kapal Susana masih belum ditetapkan, Tan Malaka mengunjungi Senator Hadji Butu. Butu ditemani dua anggota Parlemen dari daerah Islam di selatan. Ketiganya mengecam keputusan mengeluarkan Tan Malaka, dan berjanji mengumpulkan uang dalam jumlah besar bagi pelarian politik itu dari distrik pemilihan mereka. Di samping itu, kawan-kawan Tan Malaka mengirimkan surat permohonan kcpada Aldanese agar mengizinkan Tan Malaka tinggal dua minggu Iagi di Filipina. Dengan demikian, ia punya cukup waktu persiapkan keberangkatannya. Tapi harapan mereka tidak besar. Karena Gilmore menyatakan berdiri sepenuhnya di belakang keputusan Aldanese: Tan Malaka telah melanggar hukum dan harus segera meninggalkan Filipina. Pertimbangan-pertimbangan politik dikesampingkan. Ternyata, Aldanese memenuhi permintaan kawan-kawan Tan Malaka itu. Ia memberi izin Tan Malaka tinggal di Filipina dua minggu lagi. Sementara itu, dana yang terkumpul buat Tan Malaka sudah 3.000 peso - cukup untuk biaya hidup setahun. Tapi pada 22 Agustus Gilmore tiba-tiba memutuskan bahwa Tan Malaka harus berangkat secepatnya. Ia menjelaskan alasan keputusan mendadak yang berlawanan dengan keputusan Aldanese itu. Gilmore memanggil Abad Santos dan memberitahukan, "Hendaknya, untuk kebaikan semua pihak, Tan Malaka segera meninggalkan Kepulauan." El Deba~te menulis: "Mengapa Gubernur Jenderal secara tiba-tiba memutuskan mengeluarkan Tan Malaka? Apa keberatannya untuk mengizinkan Tan Malaka, di bawah penjagaan keras, agar tinggal dua minggu lagi? Karena satu-satunya alasan pengeluarannya bahwa Tan Malaka masuk secara ilegal. Tidak betul mengeluarkan Tan Malaka dengan alasan itu" Kawan-kawan Tan Malaka menerima keputusan Gilmore untuk menghindari konflik-konflik lebih lanjut. Mereka hanya menyesalkan bahwa usaha pengumpulan uang bagi Tan Malaka tidak bisa dilanjutkan. Padahal, usaha itu baru memberi hasil sedikit. Setelah berunding dengan Aldancse. kawan-kawannya berhasil mengusahakan Tan Malaka sebagai penumpang kelas satu di kapal Susana. Apa gerangan alasan tersembunyi di balik keputusan Gilmore yang tiba-tiba itu? Manila Daily B~ulletin menulis: "Tan Malaka, seorang pelarian Jawa yang ditangkap polisi pada 12 Agustus karena secara ilegal berada di Filipina, termasuk seorang agen Bolsyewik. Dokumen-dokumen tertulis dalam bahasa Inggris an Belanda yang dimiliki polisi mengungkapkan bahwa ia mempunyai hubungan dengan agen-agen Bolsyewik di luar negeri." Dokumen-dokumen itu, kata petugas kepolisian, ditemukan pada waktu penangkapannya. Terjemahan dari beberapa surat dalam bahasa Belanda memperlihatkan bahwa ia datang ke Filipina dengan bantuan pihak Bolsyewik. Perjalanan-perjalanannya di provinsi selama dua tahun di kepulauan ini, dengan nama palsu, diadakan untuk maksud-maksud Bolsyewik. "Adanya Tan Malaka di kepulauan ipi merupakan suatu ancaman bagi pemerintah Filipina," kata petugas itu. Tan Malaka menyangkal keras tuduhan-tuduhan itu. Barang bukti yang dipakai dalam tuduhan, katanya, adalah guntingan-guntingan koran yang dipergunakannya untuk menulis artikel. Kawannya, Dr. De los Santos, juga membantah tuduhan-tuduhan polisi itu. Menurut dia, tidak satu pun bukti yang dapat membenarkan tuduhan tersebut. Pada acara makan malam perpisahan dengan Tan Malaka, yang dihadiri Abad Santos, De los Santos, Verona Nable, dan beberapa kawan, diputuskan untuk tidak mengadakan perlawanan lagi terhadap keputusan pengeluaran Tan Malaka. Bahkan kedua permohonan banding dinyatakan ditarik kembali. Keputusan-keputusan itu mereka beritahukan kepada Aldanese. ~Ke Cina dengan Susana D~I hari pemberangkatan, kawan-kawannya dan sejumlah orang yang bersimpati mengantarkan Tan Malaka ke ~pelabuhan. Aldanese juga menyaksikan keberangkatan pelarian politik itu. Pada 23 Agustus, Konsul Jenderal Belanda di Manila mengirim kawat ke Batavia tentang sudah dikeluarkannya Tan Malaka dari Filipina. Gubernur Jenderal minta keterangan, pelabuhan-pelabuhan mana yang akan disinggahi kapal Susana. Esoknya, Batavia memberi tahu Konsul Jenderal Belanda di Hong Kong tentang kedatangan Tan Malaka di Amoy. Selang dua pekan, Gilmore menulis surat ke pada Gubernur Jenderal Belanda di Batavia mengenai kegiatan Tan Malaka selama di Filipina dan tempat yang akan ditujunya di Amoy. Menurut Gilmore, di Amoy Tan Malaka tinggal di rumah Luis P. Uychutin alias Huan Kai-chung, dekan Fakultas Hukum Universitas Amoy. Selama dalam perjalanan menuju Amoy. Pelarian politik Hindia Belanda yang punya enam nama samaran itu Tan Malaka alias Hassanalias Cheung Kun Tat alias Howard Law alias Elias Fuentes alias Alisio Rivera alias Ibrahim Datu Tuan Malacca -- berusaha menghindarkan diri dari penumpang lainnya. Situasi memang memungkinkan Tan Malaka melakukan itu. Karena nahkoda kapal Susana, Kapten Roco, dan awak kapal lainnya bersimpati kepada Tan Malaka, dan memberi pelarian itu kamar perwira. Pemberian fasilitas istimewa itu dimungkinkan karena Roco dan anak buahnya adalah orang-orang nasionalis. Mengapa pelarian-pelarian politik dan juga orang-orang dunia hitam memilih Amoy sebagai terminal persinggahan? Karena Amoy mempunyai International Settlement. Pengawasan bagian kota yang dinamakan Kulangsu itu tidak berada di bawah pasukan-pasukan Chiang Kai-sek. Tapi di tangan polisi internasional. Tak heran bila banyak orang asing, sebagian pelarian dan sebagian polisi, berkeliaran di Amoy. Dan ketika Susana memasuki Amoy, begitu cerita Tan Malaka, kapal Belanda Tjisalak mengawasi kapal yang membawa dirinya secara menc~olok. Melihat situasi tak menguntungkan, Tan Malaka buru-buru meninggalkan dek dan langsung masuk ke kamarnya. Ia tetap tak keluar, sekalipun Susana sudah buang jangkar di mulut pelabuhan. Tak lama kemudian kapal kecil petugas pabean berangkat dari Kulangsu. Kulangsu, kata Tan Malaka, sudah diberi tahu tentang kedatangannya. Para petugas ingin menangkapnya di kapal Susana, dal~ kemudian membawanya ke Hindia dengan kapal Tjisalak. Tiga petugas polisi, di bawah pimpinan seorang Inggris, naik kapal dan melakukan pemenksaan. Tapl Kapten Roco memprotes penyelidikan yang akan dilakukan di kapalnya. Ia mengatakan, orang Inggris tidak berhak menyelidiki sebuah kapal Amerika di perairan Cina tanpa izin penguasa Amerika. Lalu ketiga polisi itu mengakhiri penyelidikan terhadap Tan Malaka. Setelah petugas-petugas kepolisian itu berangkat, beberapa awak kapal Susana mencari kawan baik Kapten Roco yang bernama P.E.L., di suatu kapal inspeksi Cina. Roco minta dia menyembunyikan Tan Malaka. Cepat-cepat Tan Malaka dipindahkan ke kapal inspeksi itu. Tak sampai sepuluh menit kemudian, muncul Konsul Jenderal Amerika di kapal Susana, disertai kepala pabean Inggris. Tapi penyelidikan yang kemudian diadakan tidak menghasilkan sesuatu. Tan Malaka sudah lolos. Tan Malaka bersembunyi selama dua hari di kapal inspeksi itu. Tapi di luaran muncul desas-desus, Tan Malaka menghindarkan diri dari penangkapan dengan meloncat ke laut, dan tenggelam. Ketika keadaan sudah agak tenang, Tan Malaka, dengan bantuan P.E.L. dan kawannya S, pindah ke sebuah kamar di tingkat tiga sebuah bangunan tinggi di Amoy. Mengapa teman Kapten Roco yang mau menolong Tan Malaka? P.E.L. dan S sebetulnya adalah orang-orang dunia hitam yang butuh imbalan. P.E.L. adalah anak seorang Cina kaya di Manila. Ia tertangkap basah ketika menyelundupkan candu ke Filipina. Setelah ditahan selama beberapa tahun, ia diusir dari Filipina. Sedangkan kawannya, S, seorang blasteran yang melarikan diri dari Manila setelah permainannya dengan cek-cek palsu di bank tempat ia bekerja terbongkar. Imbalan yang mereka minta untuk menolong Tan Malaka adalah sebagian dari uang yang dibawa pelarian politik itu dari Manila. Kata Tan Malaka, uang itu merupakan imbalan kecil bagi jasa mereka. Mereka memerlukan uang itu untuk melarikan diri ke Shanghai, karena terlibat utang di Amoy akibat kalah bermain judi. Kedatangan Tan Malaka di Amoy sebetulnya sudah diberitahukan Konsul Jenderal Amerika di Hong Kong kepada Dewan Pemerintahan Kulangsu. Mereka diminta untuk menangkap pelarian p~olitik Hindia Belanda itu. Tapi aparat keamanan Cina di Amoy yang dijumpai Dewan Pemerintahan Kulangsu tidak melihat alasan untuk mengambil tindakan terhadap Tan Malaka. Kendati demikian, mereka tidak berkeberatan apabila polisi internasional menangkap penumpang kapal Susana itu di daerah Cina. Dan Tan Malaka tak pernah tertangkap polisi di Amoy.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus