Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Menuju indonesia mulia

Penyunting: paul w. van der veur penerjemah: suharni soemarno dan paul van der veur ohio: center for international studies, ohio university, 1987. resensi oleh: leo suryadinata.

23 Januari 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TOWARD A GLORIOUS INDONESIA : Reminiscences and Observations of Dr. Soetomo Penyunting: Paul W. van der Veur Penerjemah: Suharni Soemarmo dan Paul van der Veur Penerbit: Center for Int~ernational Studies, Ohio University, 1987, 283 halaman PROFESOR Dr. Paul van der Veur lahir di Medan. Ia meraih gelar doktor dalam ilmu politik dari Universitas Cornell, banyak mengkaji dan menulis tentang masalah Indonesia. Pada awal tahun tujuh puluhan ia mulai meneliti tulisan-tulisan Dr. Soetomo, seorang tokoh pergerakan Indonesia yang lunak (moderate). Pada awal tahun delapan puluhan, pengkajiannya tentang Soetomo telah usai, akan tetapi bukunya yang berjudul Tor~ard a Glorious Indonesia, pada 1987 baru diterbitkan oleh Universitas Ohio -- tempat ia memangku jabatan guru besar. Van der Veur adalah salah seorang ahli Soetomo di Amerika Serikat, di samping Benedict Anderson. Buku barunya ini terdiri dari empat bagian. Pertama, pengantar tentang Soetomo dan tulisan-tulisannya, lengkap dilampirkan dengan daftar penulisan Soetomo yang dianggapnya penting. Kedua, terjemahan memoirs Soetomo berjudul Kenang-Kenangan (saya pernah membantu menerjemahkannya). Bagian ketiga, bunga rampai tentang catatan pelancongan Soetomo ke luar negeri (aslinya dalam bahasa Jawa). Dan bagian keempat (berdasarkan pamflet, juga berbahasa Jawa) bunga rampai mengenal kebudayaan, masyarakat, dan politik. Yang membantu menerjemahkan tulisan-tulisan tersebut adalah Suharni Soemarmo. Terjemahan-terjemahan yang kemudian disunting oleh Van der Veur itu menjadi enak dibaca. Dengan bukunya ini Van der Veur membuat sebuah sumbangsih yang cukup besar. Sudah barang tentu tidak ada gading yang tak retak. Menurut saya, masih banyak artikel Soetomo yang penting yang patut diterjemahkan. Misalnya, prasaran dan karangan Soetomo yang dimuat dalam surat kabar Soeara Oemoem (edisi bahasa Indonesia). Atau paling tidak tulisan-tulisan tersebut perlu dicantumkan dalam daftar tulisan Soetomo dan dibahas di bab pengantar. Bagi saya, bagian yang paling menarik ialah bab pengantarnya yang panjangnya 48 halaman itu. Ini merupakan penilaian Van der Veur terhadap Soetomo sebagai seorang politikus dan tokoh pergerakan nasional. Soetomo, yang dipilih sebagai bahan kajian oleh Van der Veur memang kurang diselidiki di Barat. Soetomo, sebagai seorang nasionalis lunak yang berkooperasi dengan Belanda, lain dengan Soekarno, yang radikal dan menganut haluan nonkooperasi. Menurut Van der Veur, isu kooperasi dan nonkooperasi itu bagi Soetomo tidak relevant. Karena Soetomo mau "bekerja sama" dengan Belanda kalau menguntungkan perjuangannya, tetapi menolak kalau tidak begitu. Misalnya, pada 1924 Soetomo (dengan kawan-kawannya) duduk dalam Dewan Kota Praja Surabaya tetapi mengundurkan diri setahun kemudian, karena tidak menguntungkan perjuangannya. Demikian pula sikapnya tentang Volksraad. Pada 1927 Soetomo, yang tadinya menerima tawaran duduk di "Dewan Perwakilan" itu karena dijanjikan akan diberi banyak konsesi oleh Belanda, akhirnya menolak ketika Gubernur Jenderal mungkir janji. Akan tetapi tidak bisa disangkal bahwa pada hakikatnya Soetomo dan partainya, Parmdra, menyetujui prinsip kooperasi dengan Belanda dan mengkritik haluan nonkooperasi. Sebetulnya, pendekatan Soetomo lain dengan Soekarno dalam arti bahwa Soetomo seorang "evolusioner" tetapi Soekarno seorang "revolusioner". Soetomo mengutamakan pemupukan kader -- dalam hal ini ia mungkin dekat dengan Sjahrir dan Hatta tetapi Soekarno lebih mementingkan mobilisasi massa. Hal ini telah dinyatakan oleh Van der Veur secara implisit. Bukan saja dalam sarana perjuangan Soetomo berbeda dengan Soekarno, dalam tujuan perjuangan mereka pun tak sama. Menurut Van der Veur, Soekarno berjuang untuk mencapai Indonesia Merdeka, tetapi Soetomo berjuang untuk mencapai Indonesia Mulia. Van der Veur mengutip Soetomo, "Kemuliaan sesuatu negara dan bangsa sudah pasti berada di dalam bangsa dan negara yang sudah merdeka." Tetapi kemerdekaan tidak menjamin kemuliaan bangsa dan negara. Karena itu, usaha harus diteruskan sesudah kemerdekaan, supaya tujuan Indonesia Mulia tercapai. Bukanlah secara kebetulan jika Van der Veur menamakan bukunya Menuju Indonesia Mulia (Toward a Glorious Indonesia). Van der Veur menggambarkan Soetomo sebagai seorang Jawa dan sadar akan kebudayaannya, tetapi juga persatuan bangsa Indonesia. Nasionalisme yang dianutnya tidak berdasarkan ras. Ia mengakui jasa beberapa orang Belanda yang telah memberikan sumbangsih kepada kemajuan dan bangsa Indonesia, misalnya K.H. Holle dan Dr. H.F. Roll. Bahkan istrinya, seorang wanita Belanda, telah berkorban demi perjuangan suaminya. Kenang-kenangan Soetomo tentang almarhum istrinya itu sangat mengharukan. Memang Soetomo seorang nasionalis Indonesia yang tidak picik pandangannya. Van der Veur akan bisa memperkuat argumennya kalau ia membahas juga hubungannya dengan kelompok peranakan Tionghoa. Sayang, ia tidak menyinggungnya sama sekali sokongan Soetomo terhadap perjuangan Partai Tionghoa Indonesia (PTI) yang dipimpin oleh Liem Koen Hian. Sebetulnya, Persatuan Bangsa Indonesia (PBI) Soetomo-lah yang menyokong gerakan kelompok Liem untuk memboikot pertandingan sepak bola Belanda di Surabaya pada 1932, dan ketika Liem ditahan, Soetomo pula yang membelanya. Ketika PTI berkongres, Soetomo jugalah yang hadir dan memberikan sebuah pidato panjang lebar, dan menamakan "Tionghoa peranakan sebagai anak Indonesia yang sadar, yang cinta akan tanah tumpah darahnya, tanah airnya, yaitu Indonesia ini, akan menjadi sebuah tiang dari masyarakat kita yang kukuh dan teguh, hingga mereka dapat bagian penuh kehormatan guna mendatangkan Indonesia Raya dan Mulia" (Soeara Oemoem, 7 Juni 1933, ejaan telah disesuaikan). Van der Veur telah membahas polemik Soetomo dengan Sutan Takdir Alisjahbana mengenai pendidikan dan kebudayaan, tetapi tidak menyinggung polemik antara Soetomo dan Liem Koen Hian pada 1936 tentang sifat negara Jepang dan imperialisme. Polemik itu menjadi sangat ramai, karena melibat tokoh-tokoh pergerakan Indonesia yang berhaluan kanan dan kiri. Tulisan-tulisan itu tidak saja terdapat dalam koran Soeara Oemoem tetapi juga di surat kabar lain, misalnya Kebangoenan. Saya berpendapat bahwa polemik itu penting dikumpulkan, untuk mengerti pikiran politik Soetomo. L~eo Sur~yadinata

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus