Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Taufiqurrahman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peneliti di Ze-No Centre for Logic and Metaphysics
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apa yang membuat sains berbeda dari berbagai jenis pengetahuan lain? Jawaban yang biasa diberikan adalah: metodenya. Sains memiliki metode khusus untuk memperoleh pengetahuan yang andal dan dapat dipertanggungjawabkan. Metode itu kemudian disebut sebagai metode ilmiah (scientific method).
Melalui metode ilmiah itulah, para filsuf sains membuat demarkasi antara sains dan non-sains. Namun, persoalannya, sampai saat ini tidak ada kesepakatan di antara para filsuf sains tentang metode ilmiah seperti apa yang bisa menjadi garis pemisah antara sains dan non-sains. Mereka punya pandangan berbeda-beda, bahkan bertentangan, tentang persoalan ini.
Karena itu, Lee McIntyre, penulis buku ini dan sekaligus peneliti di Centre for Philosophy and History of Science di Universitas Boston, Amerika Setikat, menawarkan pandangan lain tentang apa yang membuat sains itu spesial dan layak dipercaya. Menurut dia, bukan metodenya yang membuat sains itu layak dipercaya, melainkan apa yang disebut sebagai “sikap ilmiah” (scientific attitude) (hlm. 52).
Sikap ilmiah adalah sikap untuk berkomitmen pada dua prinsip dasar. Pertama, peduli pada bukti empiris. Dan kedua, mau mengubah teori jika ditemukan bukti empiris baru yang membuktikan bahwa teori itu salah (hlm. 57).
Sikap ilmiah itulah, menurut McIntyre, yang membedakan sains dari non-sains ataupun dari pseudosains. Sikap ini juga tidak dimiliki oleh para penyangkal sains (denialists) dan ahli teori konspirasi (conspiracy theorists). Mereka sama-sama tidak peduli pada bukti empiris dan hanya ingin melihat bukti-bukti yang bisa mendukung keyakinan mereka.
Para penyangkal sains menolak mempercayai teori-teori ilmiah yang sudah terjamin bahkan meskipun bukti-buktinya sudah melimpah (hlm. 174). Hal itu terjadi ketika teori-teori ilmiah yang ada bertentangan dengan keyakinan ideologis mereka. Itulah yang terjadi, misalnya, pada para penyangkal perubahan iklim (climate change deniers).
Meskipun sudah ada konsensus di antara para ilmuwan—yang tentu didasari oleh bukti-bukti empiris—bahwa telah terjadi perubahan iklim, climate change deniers ini tetap saja menolak untuk percaya. Mereka bahkan melakukan kontra-narasi terhadap kampanye perubahan iklim dan menentang upaya menyelamatkan bumi dari iklim yang jauh lebih buruk.
Sama seperti penyangkalan terhadap sains (denialism), pseudosains juga tidak mempedulikan bukti-bukti empiris. Hanya, pseudosains ini tidak sefrontal denialism. Alih-alih menolak teori ilmiah seperti denialism, pseudosains berusaha memakai jubah sains untuk mempromosikan apa yang disebut “teori pinggiran” (fringe theory). Namun, begitu ada bukti-bukti empiris yang menolak “teori pinggiran”, mereka enggan mengubah keyakinannya (hlm. 174).
Contoh pseudosains adalah teori perancangan cerdas (intelligent design theory) yang diajukan sebagai teori alternatif (atau “teori pinggiran”) terhadap teori evolusi. Teori ini menyatakan bahwa ciri-ciri tertentu yang ada di alam semesta adalah hasil dari sebuah perancangan yang cerdas, bukan hasil dari sebuah proses tak terarah seperti seleksi alam, dan perancangnya tiada lain adalah Tuhan.
Dengan kata lain, teori perancangan cerdas itu sebenarnya adalah doktrin teologis tapi dibungkus dengan jubah sains sehingga seolah-olah saintifik. Dalam sudut pandang McIntyre, ia hanya akan punya status ilmiah, bukan pseudoilmiah, jika pertama-pertama perumusannya didasarkan pada bukti-bukti empiris. Dan begitu ada bukti empiris baru yang menyangkalnya, ia dengan suka rela mengubah atau bahkan membuang teorinya. Namun, sayangnya, itu tidak terjadi.
Ketiadaan sikap ilmiah juga terjadi pada teori konspirasi. Contoh paling aktual adalah teori konspirasi tentang pandemi virus corona. Mereka berpandangan bahwa situasi yang terjadi saat ini bukanlah sesuatu yang alamiah, melainkan hasil dari konspirasi elite global guna mengontrol penduduk di seluruh dunia.
Teori semacam itu disusun dengan memilah-milih (cherry-picking) data dan fakta yang kira-kira bisa mendukung keyakinan pembuatnya dan mengabaikan data dan fakta lain yang dapat menggugurkannya. Maka, dicarilah fakta-fakta parsial yang dapat menunjukkan adanya konspirasi elite global di balik pandemi corona. Fakta-fakta itu kemudian dihubung-hubungkan sehingga menjadi satu narasi besar yang tampak sangat meyakinkan.
Namun, begitu disodori data-data empiris yang menunjukkan bahwa virus corona itu bukan hasil rekayasa melainkan memang benar-benar terjadi secara alamiah, para pendukung teori konspirasi ini akan menolak mentah-mentah. Karena itu, Carl Sagan menyebut teori konspirasi sebagai teori yang tertutup dan, karenanya, tidak ilmiah (hlm. 179). Ia tidak pernah mau mengoreksi diri di hadapan fakta-fakta empiris yang menentangnya.
Alasan mengapa kita layak mempercayai teori ilmiah bukanlah karena ia pasti benar dan tidak pernah salah, melainkan karena kemauannya untuk mengubah dan mengoreksi dirinya sendiri di hadapan data dan fakta. Hal itu yang terjadi, misalnya, pada ilmu kedokteran saat mengganti teori miasma dengan teori kuman (germ theory).
Dengan demikian, meskipun sains tidak bisa menjamin bahwa teorinya pasti benar, toh dengan kemampuannya untuk terus memperbaiki diri, sains bisa membawa kita semakin dekat pada kebenaran.
The Scientific Attitude: Defending Science from Denial, Fraud, and Pseudoscience
Penulis: Lee McIntyre
Penerbit: The MIT Press
Bahasa : Inggris
Terbit: 2019 & 2020
ISBN: 9780262039833 (2019)
9780262538930 (2020)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo