Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Menggugat rengengan gesang

Sutowidjaja dan kelompoknya menganggap bahwa lagu "bengawan solo" bukan ciptaan gesang. keraguan sudah ada sejak 1950-an. gesang dituduh anggota lekra. gesang membantah semua tuduhan.

17 Desember 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BENGAWAN Solo agaknya masih mengalirkan kisah abadi. Ketika kemudian menjadi lagu, cerita bengawan di sisi timur Kota Solo ini lalu melahirkan banyak soal. Dulu pernah diharamkan di Malaysia, tapi kini diungkit pula siapa penciptanya. Akhir bulan lalu seorang pembaca mengirimkan surat ke TEMPO. Antara lain, berbunyi: "Ada semacam keprihatinan mendalam sementara manula (manusia lanjut usia) penggemar keroncong di Solo terhadap Gesang, yang dikenal luas sebagai pencipta Bengawan Solo. Pasalnya, para manula itu beranggapan bahwa lagu itu dibuat oleh Soejoko." Bukan Gesang pencipta Bengawan Solo. Begitulah kesimpulan si pengirim surat tadi. Ia menyebut namanya Sutowidjaja, 60 tahun, pernah sebagai tentara. Tambah "orang terhormat" di Jakarta ini, ada beberapa saksi hidup di Solo yang tahu betul Bengawan Solo ciptaan Soejoko. Tapi Soejoko, yang diyakini Sutowidjaja dan kawan-kawannya sebagai pencipta lagu itu, meninggal pada 1940. Beberapa media massa, di daerah dan Jakarta, lalu menyulutkan suasana yang meragukan Gesang sebagai pemilik hak cipta lagu itu. Pernyataan atau "gugatan" Sutowidjaja dan kelompoknya itu, pada dasarnya, api dari sekam yang rupanya sudah terbakar sejak 30-an tahun yang silam. Dan ini dibenarkan oleh Anjar Any, pencipta langgam keroncong Yen Ing Tawang Ono Lintang dan kini ketua Himpunan Artis Musik Keroncong Indonesia (HAMKRI). "Keraguan itu sudah pernah muncul pada 1950-an," katanya. Tapi kenapa tak sejak dulu diramaikan? Sutowidjaja berkilah, "Siapa berani menghadapi Gesang? Ketika orang mau mempertanyakannya, waktu itu Gesang sudah masuk Lekra, Lembaga Kebudayaan PKI. Partai komunis itu sangat berkuasa di Solo." Dan setelah 1966, ketika PKI kalah, mereka berniat lagi menggugat Gesang. "Tapi orang-orang kasihan," katanya. Sekarang lain pula. Pertimbangan perasaan itu luntur. Kemudian Sutowidjaja dan kelompoknya mengeluarkan "nyanyian baru" yang berisi lagu lama. Di samping itu, juga ada dorongan lain. "Banyak teman gelisah melihat Gesang menikmati hasil Bengawan Solo, tapi tanpa memikirkan keluarga Soejoko. Tidak ada bagian untuk yang mencipta lagu. Kalau Gesang mengerti, itu akan lain soalnya," ucap Sutowidjaja. Karena itu ia menunjukkan bukti tertulis tentang Bengawan Solo dan Soejoko. Yakni, sebuah katalogus pertunjukan keliling Orkes Radio Nasional Indonesia (di bawah pimpinan Jos Cleber) ke Yogya, Solo, dan Semarang, yang diselenggarakan oleh Djawatan Radio. Di tiga kota itu, dari 16 hingga 27 Juni 1950, Bengawan Solo dimainkan. Dalam daftar, lagu yang berirama andante ini, jelas disebut ciptaan Soejoko dan aransemennya T. Dissevelt. Tentu, si empunya bukti tak menunjukkan kemungkinan ada barang cetakan (apakah koran atau katalogus) bisa memuat hal yang benar atau yang boleh saja tak akurat. Dan marilah kita menengok Gesang. Lelaki berusia 71 tahun ini tinggal di sebuah rumah tipe D-36, Perumnas Palur. Rumah itu hadiah Gubernur Jawa Tengah (waktu itu) Soepardjo Rustam. Ia memelihara beberapa burung, dan tetap mengisap kretek. Inikah barangkali yang disebut "kenikmatan" Gesang dari Bengawan Solo? Ia tenang ketika TEMPO menemuinya dengan membawa perkara yang diramaikan oleh Sutowidjaja dan kawan-kawan. "Saya tak perlu menggugat balik," katanya. Masih dengan nada kalem, mengalir tenang seperti arus si bengawan bila bukan musim hujan, Gesang menambah, "Lagu itu sayalah yang menciptakannya, bukan Soejoko. Saya mengerjakannya selama dua bulan." Itu pada 1940, ketika Gesang masih 23 tahun dan belum menikah. Hasil permenungannya itu, setelah ia berulang ke Langen Hardja -- pesangerahan raja yang kemudian jadi tempat wisata di tepi sungai ini. Dengan seruling dan gitar, sembari rengeng-rengeng ia mengolah nada dan membuat larik, dan menulisnya. "Saya tulis do-re-mi-nya, bukan berwujud not. Karena saya tak ahli bikin not," kata lelaki yang mengaku hanya tamat SD ini. Dan itu, urainya lagi, ia lakukan sembunyi-sembunyi. Maklumlah, ayahnya, Martodihardjo, pengusaha batik yang tidak suka Gesang menjadi seniman musik. Setelah itu, karya tersebut diserahkan Gesang kepada temannya di grup Orkes Keroncong (OK) Kembang Kacang. Kemudian diolah lagi. Lagunya itu pertama kali didendangkan Gesang di depan umum melalui Solosche Radio Vereneging -- yang sekarang RRI Solo. Berkat lau itu, ia ke luar negeri tiga kali: RRC (1963), Singapura (1972), dan Jepang (1988). Masih karena Bengawan Solo, pada 1978, ia beroleh penghargaan dari Organiation for Industrial and Spiritual Cultural Advancement (OISCA) yang bermarkas di Tokyo. Dan setumpuk piagam lainnya. Kejadian di Kembang Kacang itu tampaknya menimbulkan soal. Ada cerita dari Slamet Wignyosuharjo, 71 tahun. Ia pemain bas dan biola, di zaman itu. Menurut Slamet, pada suatu hari ketika latihan, Gesang menyerahkan lagu itu tanpa not. "Saya dan Sunaryo yang kemudian membuatkan notnya," tambahnya. Sunaryo adalah rekan satu grup dengan dia. Lalu Soejoko? Selain anggota Kembang Kacang, ia memimpin di OK Monte Carlo, grup lain tempat Gesang dan Slamet juga bergabung. Kata Slamet, sebenarnya Soejoko tak pernah mengarang lagu. Dan, ketika ia meninggal, Bengawan Solo belum dikumandangkan. Sayang, berkas catatan Gesang tentang Bengawan Solo ikut lebur ketika air bengawan ini, 1966, mengalir sampai ke kota. Lantas Lekra? "Soal politik saya ini nol," ujar Gesang, tenang. "Saya bukan anggota Lekra dan bukan anggota kelompok politik mana pun ketika itu. Saya ini kalau diundang main dan nyanyi oleh siapa saja, ya, bersedia. Diundang Lekra mau, diundang LKN, ya, tak menolak. Diminta Masyumi, ya, sama saja." Bengawan Solo masih mengalir sampai jauh. Tapi riwayat Gesang dengan lagunya itu dulu, boleh berakhir di sini? Mohammad Cholid dan Kastoyo Ramelan (Solo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus