MANAGEMENT IN CHINA DURING AND AFTER MAO Oleh: Oiva Laaksonen Penerbit: Waler de Gruyter, Berlin-New York, 1988, 378 halaman CINA, dengan manusianya yang lebih dari satu milyar, adalah "laboratorium" ilmu manajemen. Itulah memang alasan utama si penulis, profesor dalam Administrasi Bisnis dan Tingkah Laku Organisasi pada Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi, Helsinki, Finlandia, menulis buku ini. Profesor Laaksonen menganalisa perkembangan manajemen di negeri itu dengan memanfaatkan metode-metode historis, komparatif, dan kultural. Walaupun titik berat studinya lebih dipusatkan pada masa RRC (sejak 1949), periode yang dicoba diliputnya sangat panjang sejak 1.000 tahun sebelum Masehi hingga kini. Dengan demikian, buku ini merupakan suatu studi yang sangat luas, dan justru karena luasnya itulah ia sering kehilangan fokus dan acap kali repetitif. Penulis buku itu berpendapat, ilmu manajemen di Cina mulai berkembang pada zaman ahala Zhou (1100-221 SM) ketika timbul empat aliran filsafat besar: Konfusianisme, Mohisme, Legalisme, dan Taoisme. Ia berkeyakinan, mencuatnya Konfusianisme sebagai ideologi negara sejak kedua ahala Han (206 SM-200 M) sangat berperan dalam perkembangan ilmu manajemen. Apalagi ketika ahala Song (618-907) membentuk Akademi Hanlin sebagai pencetak manajer negara, pendidikan manajemen sudah dipranatakan. Akademi Hanlin baru dibubarkan pada 1906, ketika sistem pendidikan model Barat menggantikan sistem kuno. Atas dasar itu, disimpulkan penelitian mengenai manajemen di Cina sampai awal abad ini lebih merupakan penelitian mengenai administrasi pemerintahan. Setelah 1949, Cina telah bereksperimen dengan beberapa metode manajemen. Sampai 1957, ketika Pelita I berakhir, khusus di bidang manajemen pabrik dan perusahaan-perusahaan negara, ia menjalankan sistem yang disebut "manajemen tunggal", yang diambil dari sistem Soviet. Sistem ini memberikan kekuasaan besar kepada pengelola untuk menentukan segala kebijaksanaan yang berkenaan dengan produksi. Pada 1957, sesuai dengan titah Mao bahwa "masa transisi" menuju sosialisme telah dilewati, dan seiring dengan program pembangunan berdasarkan slogan Lompatan Jauh Ke Muka, "model Soviet" pun ditinggalkan pula. Sistem yang digunakan sampai berakhirnya masa Revolusi Kebudayaan (1976) dan dimulainya reformasi politik, ekonomi dan politik Deng Xiaoping adalah yang disebut "tanggung jawab manajer pabrik di bawah pimpinan Partai". Sistem itu berprinsip pada pendapat bahwa segala hal yang menyangkut produksi harus dibicarakan dulu dengan "massa" yang ada di pabrik (dalam hal ini buruh dan pimpinan) sebelum dilaksanakan. Artinya, pada saat-saat tertentu, pimpinan wajib turut serta dalam proses produksi, sedangkan buruh berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Hasilnya bisa diduga: pertimbangan politik jauh berperan besar ketimbang pertimbangan-pertimbangan ekonomi. Atau: "politik sebagai panglima". Dengan munculnya "orde Deng Xiaoping" sejak 1979, sekali lagi sistem manajemen berubah. Menurut Laaksonen, sistem manajemen tunggal yang pernah dicoba sampai 1957 kembali lagi. Bedanya, sesuai dengan ekonomi yang berdasarkan pada prinsip-prinsip yang mendekati kapitalisme dan pasar bebas, manajemen tunggal itu diimbangi dengan sistem kontrak. Pemerintah mengontrak seorang manajer untuk mengelola suatu bidang usaha dalam suatu jangka waktu tertentu. Kalau hasil kerjanya baik kontrak itu diperpanjang. Yang menarik adalah bab tentang perbandingan tanggung jawab dan kekuasaan seorang manajer Cina dengan rekan-rekannya di Amerika, Eropa, dan Jepang. Laaksonen menarik kesimpulan bahwa seorang pengelola Cina menuasai hampir seluruh tingkatan pengambilan keputusan dibandingkan dengan seorang pelaksana Amerika, Eropa, dan Jepang. Di sinilah penulis buku itu menekankan peranan faktor kultural. Konfusianisme, yang sampai sekarang berpengaruh dalam masyarakat Cina, menekankan pada kekuasaan besar seorang pemimpin, baik dalam keluarga, birokrasi, maupun perusahaan. Seperti dikatakan di atas, karya ini merupakan suatu topik yang sangat luas. Di RRC, terutama sampai 1979, tugas Partai dan birokrasi saling berkait, malahan tak ada pemisahan yang jelas. Mungkin karena itu ia "terpaksa" juga membicarakan manajemen Partai dan birokrasi. Itulah sebabnya ia sering terjebak dalam analisa kedua topik di atas, sehingga sering jauh menyelonong ke dalam kupasan sejarah politik dan ketatanegaraan Cina. Walaupun tidak mengetengahkan hal-hal baru, buku itu merupakan karya pertama yang mencoba menghubungkan administrasi pemerintahan dan partai dengan manajemen dalam badan-badan yang lebih rendah. Yang patut dipuji, karya ini sarat dengan data, sehingga dapat dijadikan rujukan. A. Dahana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini