Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Mengenang Izetbegovic

26 Oktober 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ihsan Ali-Fauzi Mahasiswa pascasarjana di Ohio University, Athens, Amerika Serikat

ALIJA Ali Izetbegovic, bapak pendiri dan bekas Presiden Bosnia-Herzegovina, wafat akibat serangan jantung pada 19 Oktober 2003. Ia mengembuskan napas terakhirnya di Rumah Sakit Kosevo, Sarajevo, yang masih compang-camping akibat perang. Setelah Edward Said juga wafat bulan lalu, dunia kembali kehilangan figur penting yang menjadi jembatan bagi apa yang sudah lama kita kenal secara salah kaprah sebagai "Timur" dan "Barat".

Tentu saja salah kaprah: barat atawa timur dilihat dari mana? Siapa pula yang punya hak menentukan dari sini atau sanalah arah ditentukan? Kata Said dalam Orientalism, semua ini hanya imaginative geography, yang dibikin pada waktu dan untuk kepentingan tertentu. Tapi itu juga bisa mematikan: karenanya orang, dan identitas, lalu difiksasi menurut batas geografis yang sesungguhnya imaginatif itu, kemudian dominasi politik dikenakan atasnya. Begitulah "Timur" dulu dibentuk oleh "Barat", sebagai ceruk peradaban yang stagnan, terbelakang, eksotis dengan perempuan dan unta, dan karenanya layak dijajah, diadabkan, diberi pelajaran "adab".

Yugoslavia sepeninggalan Bapak Besar Tito amat rentan oleh politik fiksasi-untuk-dominasi itu. Pada awal 1990-an, maniak kekuasaan yang paham benar bagaimana memanipulasi politik identitas itu bernama Slobodan Milosevic. Doktor psikologi itu jago mengolah mental rakyatnya untuk menggelorakan chauvinisme Serbia Raya: mereka, orang Serbia, harus membersihkan etnis muslim Bosnia. Untuk itu, sejarah ditulis kembali, masa lalu multikulturalisme digelapkan.

Izetbegovic, yang mencoba mengelak dari pengkotakan seperti itu, menjadi korbannya. Ia dituduh pemimpin fundamentalis seperti Khomeini, yang ingin mendirikan negara Islam. Seruannya untuk sebuah negara yang multikultural dilecehkan. Aneksasi Turki Usmani ke Balkan pada abad lampau diungkap kembali, untuk membunuh bayi-bayi yang masih ada dalam perut ibu muslim mereka.

Izetbegovic jauh dari gambaran itu. Ia memang aktivis muslim yang taat, dan untuk alasan itu ia dipenjara dua kali oleh rezim komunis (1946-1948 dan 1983-1988). Tapi apa yang salah dengan menyuarakan Islam untuk menentang totalitarianisme? Khususnya jika Izetbegovic melakukannya persis ketika orang seperti Rodovan Karadcik dan Franco Tudjman, apalagi Milosevic, yang belakangan menuduhnya fundamentalis dan ingin membunuhnya, masih bekerja enak-enakan sebagai aparat penguasa komunis.

Pada 1980, Izetbegovic menerbitkan bukunya yang paling terkenal, Islam between East and West. Ketika ia diadili pada 1982, pembelanya memperoleh alibi yang kuat dalam buku itu. Inilah buku yang menunjukkan bagaimana seseorang yang lahir di "Barat" berusaha memaknai kembali warisan leluhurnya yang "Timur" (Islam). Tengok saja indeks buku itu: mungkin inilah satu-satunya buku teologi Islam dengan sembilan rujukan ke Dostoevski, tujuh ke Camus, sebelas ke Engels, sembilan ke Hegel, tiga ke Malraux, dua ke Rambrandt, sepuluh ke Russell, dan seterusnya. Ia dengan penuh percaya diri membahas teologi takdir dalam kerangka filsafat Karl Jaspers, sebagai "the burder situations". Ini jelas bukan karya apolog muslim tradisional, apalagi pemimpin fundamentalis. Saya kira mungkin hanya Mohamad Iqbal, khususnya dalam The Reconstruction of Religious Thought in Islam, yang bisa sebebas itu dalam mengolah teologi Islam dengan inspirasi mana saja.

Izetbegovic mafhum jika alibi itu ditolak pengadilan komunis, yang memang mau mencari dalih untuk membungkam pembangkang. Yang mengecewakannya, apa yang disebutnya "Barat" pun, sepuluh tahun kemudian, ketika ia digempur chauvinis Serbia, tidak cukup serius membelanya. Ia seperti ditikam dari belakang oleh orang yang selama ini dipujanya. Dalam artikelnya di New Republic (21 November 1994), Fouad Ajami menyebutnya sebagai orang baik yang salah baca alam pikiran Eropa. Ia dianggapnya terlalu percaya pada mitos pluralisme yang sering diomongkan Barat.

Ketika perang pecah, tulis Guardian, Izetbegovic tampil seperti orang tua yang letih dan sendirian. Ia menjadi satu-satunya pemimpin yang masih mau memegang "etika" perang. Kepada pasukannya ia bilang, "Mari kita jadi tentara yang tidak melakukan apa yang telah mereka lakukan. Jauhkan tangan kotor kita dari perempuan dan anak-anak." Ia menerima Perjanjian Dayton, yang membelah negerinya berdasarkan etnis, seperti meminum pil pahit kematian.

Sekarang ia mati sungguhan. Di ujung Inescapable Questions, otobiografinya, Izetbegovic menulis, "Jika saya ditawari hidup lagi, saya akan menolaknya. Tapi, jika saya harus dilahirkan kembali, saya akan memilih hidup saya yang lalu." Saya kira kita sebaiknya mengamininya: dunia ini kelewat kejam, tak beradab, untuk orang seperti dia. Rest in peace!

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus