Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Menguak Teori Sejarah Seni Rupa

Sebuah buku tentang perkembangan seni rupa Indonesia telah terbit. Sayang, analisisnya berjarak dengan wacana seni rupa kontemporer.

15 Maret 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BUKU Menguak Luka Masyarakat, Beberapa Aspek Seni Rupa Indonesia Sejak 1966 diterjemahkan—dengan banyak kesalahan—dari buku Exposing Society's Wound, Some Aspects in Contemporary Indonesia Art Since 1966 yang ditulis sosiolog Australia, Brita L. Miklouhu-Maklai. Buku aslinya, yang terbit pada 1991, sebenarnya punya peluang menggugat penulisan tentang seni rupa Indonesia di dunia internasional. Namun, karena mengandung banyak kelemahan, buku ini ternyata tidak bergaung di forum-forum seni rupa internasional, yang justru semakin intensif mempersoalkan seni rupa Dunia Ketiga.

Keistimewaan buku itu terletak pada keberaniannya menerobos dominasi teori-teori sejarah seni rupa, yang sering dianggap sebagai satu-satunya disiplin ilmu seni rupa, khususnya dalam mengamati seni rupa modern. Teori ini dikenal menekankan pengamatannya pada penjelajahan bahasa rupa (masalah spesifik seni rupa) yang ditandai perubahan-perubahan gaya (isme). Pengamatan ini dirangkaikan dalam perkembangan linier. Dasar kepercayaannya: perjalanan/penjelajahan seni rupa modern menuju ke penemuan esensi bahasa rupa.

Teori yang didasarkan pada paradigma-paradigma seni rupa Euro-Amerika itu ternyata sulit diterapkan pada perkembangan seni rupa Dunia Ketiga. Namun banyak sejarawan seni rupa Dunia Ketiga, hampir tanpa pilihan, menerapkan teori secara janggal untuk menggariskan sejarah seni rupa modern di negaranya. Sementara itu, peneliti Eropa dan Amerika lebih banyak melakukan pendekatan antropologis karena sadar mustahil menerapkan teori sejarah seni rupa.

Brita Maklai tidak menerapkan teori sejarah seni rupa itu dan tidak pula melakukan pendekatan antropologis untuk mengamati seni rupa Indonesia. Ia memilih sosiologi seni rupa (teori ini muncul pada 1930-an, tapi jarang diterapkan karena terlibas teori-teori sejarah seni rupa). Ini memang pendekatan paling tepat untuk mengamati seni rupa Indonesia.

Buku Brita, yang berasal dari tesis magisternya, bertumpu pada sejarah sosial seni rupa itu. Pendekatan sosiologi seni rupa dalam penulisan ini merupakan konsekuensi logis karena Brita mempertahankan tesisnya di Asian Studies Flinders University, Adelaide, Australia, yang lebih banyak mengkaji masalah sosial.

Sosiologi seni rupa yang diterapkan Brita bukan penggunaan metode penelitian ilmu-ilmu sosial dalam mengamati perkembangan seni rupa. Sosiologi seni rupa merupakan disiplin ilmu seni rupa yang tinjauannya bertumpu pada teori-teori estetika (teori keindahan, disiplin ilmu seni paling tua) yang diluaskan dengan memasukkan pembacaan gejala sosial (yang dicatat ilmu-ilmu sosial).

Brita pada awalnya tertarik pada sikap anti-universalisme manifesto Gerakan Seni Rupa Baru yang dikemukakan pada 1979, ketika gerakan itu bubar. Ia kemudian melihat sikap ini menegas pada pameran "Pasaraya Dunia Fantasi" pada 1987. Pameran yang bukan lagi bagian dari Gerakan Seni Rupa Baru ini diprakarsai beberapa bekas anggota gerakan itu. Arief Budiman, yang terlibat dalam pameran ini, melihat seni rupa yang disajikan "Pasaraya Dunia Fantasi" sebagai seni rupa kontekstual. Dalam katalog pameran ini, Arief Budiman menegaskan hubungan sastra dan seni rupa kontekstual dengan sikap anti-universalisme.

Masalah konteks, yang muncul ketika Michel Foucault memopulerkan discourse dan juga pandangannya tentang limit representasi dalam buku The Order of Things (1966), merupakan embrio pengguguran paham universalisme/modernisme. Tidak bisa disangkal, masalah konteks ini mendasari pula kemunculan seni rupa kontemporer, yang sering pula disebut seni rupa postmodern.

Pemahaman Brita tentang pemikiran Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia dan kaitannya dengan wacana seni rupa kontemporer merupakan kesimpulan paling menarik dalam bukunya—walaupun uraiannya tentang gerakan ini (Bab 2) dan pengaruh gerakan ini (Bab 3) mengandung banyak kesalahan data dan penafsiran karena ia selalu mengandalkan kliping koran. Di Indonesia sendiri, Gerakan Seni Rupa Baru dan seni rupa kontemporer ditampilkan dalam Bienale Jakarta IX. Bahkan "ahli-ahli" postmodernisme masih bingung mempersoalkan gejala seni rupa postmodern, malah gagap sewaktu memilah-milah seni rupa modern, seni rupa postmodern, modernisme, dan postmodernisme.

Tapi kesimpulan Brita itu tidak didukung argumentasi memadai. Pemahaman Brita yang terbatas tentang seni rupa kontemporer (dunia) membuat ia terpaku pada pernyataan perupa nasionalis Jerman-Amerika Joseph Beuys. Dalam konvensi seni rupa internasional Documenta VI-1977 di Kassel dan Dusseldorf, Jerman, Beuys mengajukan ide "Patung Sosial" dan mengajak masyarakat memperlihatkan luka-luka mereka ("show your wound"). Dari ide Beuys inilah Brita sampai pada judul bukunya: Exposing Society's Wound.

Persepsi itu membuat masalah masyarakat dalam analisis Brita terkonsentrasi pada penentangan kekuasaan. Analisisnya pun menjadi berjarak dengan wacana seni rupa kontemporer. Konsep masyarakat dalam analisisnya bergeser dari konsep masyarakat dalam seni rupa kontemporer, yang tercermin pada kembalinya kecenderungan representasional. Ia kehilangan peluang menegaskan kenyataan bahwa kecenderungan representasional yang kembali pada perkembangan seni rupa kontemporer (dunia) tidak pernah hilang dalam perkembangan seni rupa Indonesia. Kesimpulan yang mau ditegakkannya, yakni Gerakan Seni Rupa Baru adalah tanda munculnya seni rupa kontemporer di Indonesia, pun menjadi kabur.

Jim Supangkat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus