JALAN Hutchinson Whampoa ke Jakarta makin dekat, tapi masih cukup terjal. Melalui anak perusahaannya, Grosbeak Pte Ltd., Hutchinson akan mendirikan perusahaan patungan PT Jakarta International Container Terminal (JICT) bersama Pelindo II. Perusahaan patungan inilah yang akan mengelola Terminal Peti Kemas I dan II Tanjungpriok. Grosbeak akan menguasai 51 persen saham PT JICT dan mengelolanya selama 20 tahun.
Meskipun demikian, untuk sampai ke sana banyak soal yang harus dituntaskan oleh kedua belah pihak. Sampai pekan lalu, negosiasi Grosbeak dengan pemerintah masih belum kelar. "Perundingan itu sangat alot," kata Sofyan Djalil, Asisten Menteri Negara Pembinaan BUMN. Sofyan tak mau menjelaskan di mana saja titik-titik perbedaan yang tajam antara pemerintah dan Grosbeak. Ia pun tak tahu kapan perundingan itu akan selesai.
Grosbeak ditunjuk sebagai calon pemenang tender (preferred bidder) pengelolaan terminal peti kemas itu akhir bulan lalu setelah menyingkirkan tiga pesaingnya, yakni International Container Terminal Services Inc. (Filipina), P&O Ports (Australia), dan Stevedoring Services of America International, yang berpatungan dengan PT Samudra Indonesia. Empat investor itu merupakan hasil saringan dari 26 perusahaan yang berminat mengelola Tanjungpriok.
Direktur Utama Pelindo II, Herman Prayitno, tak mau menyebut berapa nilai penjualan tersebut. Namun, menurut Presiden Direktur Samudra Indonesia, Soedarpo Sastrosatomo, tawaran Grosbeak mencapai US$ 250 juta, tertinggi dibandingkan dengan penawar lain. Investor dari Filipina kabarnya hanya bersedia menyetor sekitar US$ 200 juta, sementara Samudra Indonesia cuma berani US$ 175 juta. "Kami harus mengakui, kami tidak sanggup menyetor dana sebesar itu, tunai lagi," kata Soedarpo.
Pengusaha perkapalan kawakan ini juga mengakui reputasi Hutchinson di dunia internasional. Perusahaan ini antara lain menjadi pemilik terminal pelabuhan Hongkong (50 persen), dan memiliki setengah kepemilikan saham pengelola terminal Rotterdam. Secara keseluruhan, Hutchinson menguasai 10 persen kontainer di seluruh dunia melalui 18 pelabuhan di Asia, Eropa, dan Amerika. "Bisnis inti Hutchinson memang di situ, dan ia punya dukungan finansial yang kuat," kata Soedarpo.
Meskipun tawaran Grosbeak yang tertinggi, menurut sumber TEMPO di Pelindo II, nilai penjualan Terminal Peti Kemas I dan II Tanjungpriok itu terlalu rendah. Dia mengalkulasi, dengan laba bersih sekitar Rp 360 miliar per tahun (perhitungan pesimistis), seharusnya Pelindo akan jauh lebih diuntungkan jika kedua terminal itu tak dijual. Kalau investor asing itu menyetor modal Rp 1,5 triliun ke PT JICT, break even point bisa dicapai hanya dalam jangka empat tahun. "Setelah tahun kelima, investor tinggal memetik untung," katanya. Gampangannya, tinggal ongkang-ongkang kaki, duit mengalir sendiri.
Hitungan itu kontan dibantah Sofyan Djalil. Menurut Sofyan, penjualan saham JICT didasarkan pada perhitungan pemilik terminal (owner estimate), dan dia yakin betul tawaran Grosbeak di atas itu. Selain itu, kedua belah pihak sama-sama punya kesempatan meneliti yang lain. Pelindo mengecek semua persyaratan, sebaliknya investor diberi kesempatan melakukan uji tuntas (due diligence). "Yang lebih penting, setelah 20 tahun, terminal tersebut milik kita sepenuhnya," kata Sofyan, jengkel. Dengan kerja sama ini, kapasitas terminal pun dimungkinkan ditingkatkan dari 37.000 TEUs menjadi 45.000 TEUs.
Yang pasti, pemerintah memang tengah dikejar waktu untuk mendapatkan US$ 1 miliar melalui privatisasi enam BUMN. Tenggatnya akhir bulan ini. Angka itu pun sudah direvisi karena pasar modal lagi jeblok dan perekonomian sedang terpuruk. Sebelumnya, untuk tahun anggaran 1998/1999, pemerintah menargetkan bisa memprivatisasi 12 BUMN dengan sasaran dana yang bisa diraup US$ 1,5 miliar. Sejauh ini, pemerintah baru berhasil menjual 14 persen saham Semen Gresik senilai US$ 121,5 juta kepada Cemex SA, Meksiko. Jika target itu gagal diraih, kata Sofyan, "Pemerintah akan menerbitkan bond". Tapi, apakah menjual bond itu juga mudah?
M. Taufiqurohman, Ahmad Fuadi, Hani Pudjiarti, dan Diyah Prabandari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini