KUNJUNG-mengunjung antara Belanda dan Indonesia--khususnya
Maluku berjalan gencar belakangan ini. Tujuannya jelas:
menurunkan suhu radikalisme RMS di Belanda seraya menggalakkan
kembali repatriasi orang Maluku ke Indonesia.
Di sela-sela kesibukan itu, pimpinan gereja Protestan
orang-orang Maluku di Belanda dan Indonesia pun mulai kembali
mempererat tali komunikasi yang agak rapuh setelah aksi
terorisme 'IMS' akhir 1975. Agustus tahun lalu, pendekatan
dengan 'saudara-saudara seiman' di Belanda itu dimulai kembali
oleh Dr P.D. Latuihamallo, Ketua I BPH (Badan Pengurus
Harian)-DGI yang juga sesepuh Gereja Protestan Maluku (GPM).
Pembicaraannya dengan Dewan Gereja-Gereja di Belanda, kontan
mendapat reaksi dari ir Manusama, 'presiden RMS'. Manusama
marah-marah lantaran orang Maluku di Belanda sendiri tak
diikutsertakan dalam pembicaraan tentang masa depan mereka.
Paman Broery
Awal tahun ini Latuihamallo berkunjung lagi ke Belanda bersama
tiga tokoh GPM dari Ambon -- rektor STT Ambon, Sekum Sinode GPM
dan seorang pejabat GPM lagi. Hampir sebulan lamanya mereka
berkeliling mengunjungi pimpinan 14 gereja Protestan orang
Maluku di sana. Tentunya tah ketinggalan diaIog dengan pendeta
Pesolima, paman penyanyi Broery, yang mengetuai sinode Gereja
Injili Maluku (GIM) yang meliputi 70% dari seluruh masyarakat
Maluku di sana, serta pendeta Hatu, ketua sinode GPMB (Gereja
Protestan Maluku di Bclanda) yang nomor 2 terbanyak jemaatnya di
sana.
"Mereka itu, asalnya memang jemaat GPM juga," tutur Dr
Latuihamallo kepada TEMPO . Karena tak diperbolehkan mendirikan
'cabang' GPM di Belanda, timbullah gereja-gereja itu yang
terpecah-pecah atas dasar suku, pulau, dan desa asal para
imigran Maluku itu. Kesulitan mereka yang utama -- menurut misi
GPM itu -- adalah kekurangan tenaga pendeta. Sekarang tinggal 4
pendeta eks KNIL untuk melayani umat Kristen-Protestan asal
Maluku yang hampir 40 ribu orang itu. Untuk mengisi kekosongan
'gembala jemaat' diangkat sejumlah tokoh awam, sementara
menunggu 12 pemuda Maluku tamat lari sekolah teologia di
Belanda.
Pendeta yang cuma sedikit itu, kata Batuihamallo: tak dapat
memisahkan Gereja dan Negara, agama dan politik. Baik Hatu
(GPMB) maupun Pesolima (GIM), samn fanatiknya membela 'MS' dari
mimbar gereja." Adapun pendeta yang paling gigih membela 'RMS'
sudah bukan rahasia lagi: Metiari, Ketua Badan Persatuan
(parlemen) 'RMS' yang jadi pendeta jemaat di Assen--sarang kaum
teroris. Tapi kalau ada pendeta yang aktif berpolitik dari
mimbar gereja, ada juga yang persis sebaiknya. Suhusepa, Wakil
Ketua Sinode GIM yang pernah kuliah di STT Jakarta, jadi
terkenal karena berani mencopot bendera-bendera 'RMS' dari
dinding gereja. Tapi di luar gedung gereja, warganegara Belanda
itu pun seorang pembela 'RMS'. Jadi betul-betul pemisahan Gereja
dan Negara secara harfiah ....
Walaupun tak diurus apalagi dibiayai oleh pemerintah kedua
negara, banyak suara sumbang menanggapi muhibah ke lapisan bawah
orang-orang Maluku di Belanda itu. "Kami dicap kakitangan
KBRI, dituduh mau meng-lndonesiakan orang-orang RMS melalui
jalur gereja, dan entah apa lagi. Padahal maksud kami murni mau
melayani mereka di bidang kegerejaan," tutur Latuihamallo.
Berabenya, di dalarn negeri terdengar pula suara yang kurang
senang. Kata seorang pemuda Maluku di Jakarta: "Kenapa GPM
begitu sibuk memikirkan orang RMS di Belanda? Tapi kenapa diam
saja tcrhadap pcnahanan orangorang di Maluku yang dituduh
berindikasi RMS?"
Penpres NO. 11
Cap RMS itu kabarnya sudah lama menjadi semacam momok bagi orang
Maluku, di samping cap 'G-30-S/PKI'. Terutama sejak gelombang
penahanan orang-orang yang dicap 'RMS' di Ambon, akhir 1974
(TEMPO, 10 Januari 1976). Menurut sumber TEMPO di Ambon,
akhir tahun lalu masih ada 21 orang yang sejak peristiwa itu
dikenakan wajib lapor di Komdak XX Maluku. Di antaranya, ada
seorang pensiunan pegawai kantor gubernur, JDIA Manusama, 62
tahun.
Adapun dari selusin orang yang diadili dengan tuduhan melanggar
Penpres No. 11/1963 (Subversi), baru tiga orang yang dibebaskan
karena masa hukumannya -- antara 1 - 1 « tahun sudah habis.
Selebihnya, di antaranya, seorang purnawirawan AURI, J. Souissa,
54, masih mendekam di penjara lantaran divonis rata rata 8
tahun. Komentar Latuihamallo: "Paling-paling kita dapat
mengappeal pemerintah agar hukuman mereka diperingan tiap 17
Agustus."
Berabenya, cap RMS tak hanya ditimpakan kepada orang-orang tua
yang puluhan tahun lalu memang terlibat pemberontakan itu. Tapi
kadang-kadang juga kepada institusi gereja, atau orang-orang
muda yang agak kritis. Seperti diceritakan pendeta Wim Davidz
S.Th. kepada TEMPO: "Dulu ketika Pieters jadi Panglima di
Maluku, GPM pernah mau kembalikan gedung ereja pusat hadiah
Soekarno sebagai reaksi terhadap kecurigaan dan cap 'RMS' yang
sering ditimpakan kepada gereja. Itu di masa Orde Lama. Setelah
Orde Baru pun, kebaktian pemuda Khristen pun sering dicurigai.
Ketika dalam satu kebaktian ada pemuda yang mendeklamasikan
sajak Mazmur Mawar-nya Rendra, ada yang menuduhnya sebagai
kegiatan 'RMS'.
Makanya dia menyarankan agar pimpinan GPM lebih memperhatikan
aspirasi rakyat kecil di Maluku sendiri. "Kurangilah
diskusi-diskusi dogmatik yang kaku, dan galakkanlah partisipasi
pembangunan dari bawah. Sebab 99,5% jemaat GPM kan tinggal di
desa-desa," ujar Davidz, 3, yang sedang melanjutkan studinya
sambil bekerja di Development Ccntre DGI. Soal bolak-balik
Ambon-Belanda dianggapnya "tak efisien, walaupun ongkosnya bukan
dari kas GPM". Sebab "tanah Belanda bukanlah konteks hidup GPM
yang sebenarnya."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini