Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Bolak-balik ambon-holland

Pimpinan gereja protestan orang maluku di belanda & indonesia mempererat tali komunikasi dengan kunjung mengunjungi antara belanda dan indonesia setelah aksi terorisme "rms" akhir 1975.(ag)

11 Maret 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KUNJUNG-mengunjung antara Belanda dan Indonesia--khususnya Maluku berjalan gencar belakangan ini. Tujuannya jelas: menurunkan suhu radikalisme RMS di Belanda seraya menggalakkan kembali repatriasi orang Maluku ke Indonesia. Di sela-sela kesibukan itu, pimpinan gereja Protestan orang-orang Maluku di Belanda dan Indonesia pun mulai kembali mempererat tali komunikasi yang agak rapuh setelah aksi terorisme 'IMS' akhir 1975. Agustus tahun lalu, pendekatan dengan 'saudara-saudara seiman' di Belanda itu dimulai kembali oleh Dr P.D. Latuihamallo, Ketua I BPH (Badan Pengurus Harian)-DGI yang juga sesepuh Gereja Protestan Maluku (GPM). Pembicaraannya dengan Dewan Gereja-Gereja di Belanda, kontan mendapat reaksi dari ir Manusama, 'presiden RMS'. Manusama marah-marah lantaran orang Maluku di Belanda sendiri tak diikutsertakan dalam pembicaraan tentang masa depan mereka. Paman Broery Awal tahun ini Latuihamallo berkunjung lagi ke Belanda bersama tiga tokoh GPM dari Ambon -- rektor STT Ambon, Sekum Sinode GPM dan seorang pejabat GPM lagi. Hampir sebulan lamanya mereka berkeliling mengunjungi pimpinan 14 gereja Protestan orang Maluku di sana. Tentunya tah ketinggalan diaIog dengan pendeta Pesolima, paman penyanyi Broery, yang mengetuai sinode Gereja Injili Maluku (GIM) yang meliputi 70% dari seluruh masyarakat Maluku di sana, serta pendeta Hatu, ketua sinode GPMB (Gereja Protestan Maluku di Bclanda) yang nomor 2 terbanyak jemaatnya di sana. "Mereka itu, asalnya memang jemaat GPM juga," tutur Dr Latuihamallo kepada TEMPO . Karena tak diperbolehkan mendirikan 'cabang' GPM di Belanda, timbullah gereja-gereja itu yang terpecah-pecah atas dasar suku, pulau, dan desa asal para imigran Maluku itu. Kesulitan mereka yang utama -- menurut misi GPM itu -- adalah kekurangan tenaga pendeta. Sekarang tinggal 4 pendeta eks KNIL untuk melayani umat Kristen-Protestan asal Maluku yang hampir 40 ribu orang itu. Untuk mengisi kekosongan 'gembala jemaat' diangkat sejumlah tokoh awam, sementara menunggu 12 pemuda Maluku tamat lari sekolah teologia di Belanda. Pendeta yang cuma sedikit itu, kata Batuihamallo: tak dapat memisahkan Gereja dan Negara, agama dan politik. Baik Hatu (GPMB) maupun Pesolima (GIM), samn fanatiknya membela 'MS' dari mimbar gereja." Adapun pendeta yang paling gigih membela 'RMS' sudah bukan rahasia lagi: Metiari, Ketua Badan Persatuan (parlemen) 'RMS' yang jadi pendeta jemaat di Assen--sarang kaum teroris. Tapi kalau ada pendeta yang aktif berpolitik dari mimbar gereja, ada juga yang persis sebaiknya. Suhusepa, Wakil Ketua Sinode GIM yang pernah kuliah di STT Jakarta, jadi terkenal karena berani mencopot bendera-bendera 'RMS' dari dinding gereja. Tapi di luar gedung gereja, warganegara Belanda itu pun seorang pembela 'RMS'. Jadi betul-betul pemisahan Gereja dan Negara secara harfiah .... Walaupun tak diurus apalagi dibiayai oleh pemerintah kedua negara, banyak suara sumbang menanggapi muhibah ke lapisan bawah orang-orang Maluku di Belanda itu. "Kami dicap kakitangan KBRI, dituduh mau meng-lndonesiakan orang-orang RMS melalui jalur gereja, dan entah apa lagi. Padahal maksud kami murni mau melayani mereka di bidang kegerejaan," tutur Latuihamallo. Berabenya, di dalarn negeri terdengar pula suara yang kurang senang. Kata seorang pemuda Maluku di Jakarta: "Kenapa GPM begitu sibuk memikirkan orang RMS di Belanda? Tapi kenapa diam saja tcrhadap pcnahanan orangorang di Maluku yang dituduh berindikasi RMS?" Penpres NO. 11 Cap RMS itu kabarnya sudah lama menjadi semacam momok bagi orang Maluku, di samping cap 'G-30-S/PKI'. Terutama sejak gelombang penahanan orang-orang yang dicap 'RMS' di Ambon, akhir 1974 (TEMPO, 10 Januari 1976). Menurut sumber TEMPO di Ambon, akhir tahun lalu masih ada 21 orang yang sejak peristiwa itu dikenakan wajib lapor di Komdak XX Maluku. Di antaranya, ada seorang pensiunan pegawai kantor gubernur, JDIA Manusama, 62 tahun. Adapun dari selusin orang yang diadili dengan tuduhan melanggar Penpres No. 11/1963 (Subversi), baru tiga orang yang dibebaskan karena masa hukumannya -- antara 1 - 1 « tahun sudah habis. Selebihnya, di antaranya, seorang purnawirawan AURI, J. Souissa, 54, masih mendekam di penjara lantaran divonis rata rata 8 tahun. Komentar Latuihamallo: "Paling-paling kita dapat mengappeal pemerintah agar hukuman mereka diperingan tiap 17 Agustus." Berabenya, cap RMS tak hanya ditimpakan kepada orang-orang tua yang puluhan tahun lalu memang terlibat pemberontakan itu. Tapi kadang-kadang juga kepada institusi gereja, atau orang-orang muda yang agak kritis. Seperti diceritakan pendeta Wim Davidz S.Th. kepada TEMPO: "Dulu ketika Pieters jadi Panglima di Maluku, GPM pernah mau kembalikan gedung ereja pusat hadiah Soekarno sebagai reaksi terhadap kecurigaan dan cap 'RMS' yang sering ditimpakan kepada gereja. Itu di masa Orde Lama. Setelah Orde Baru pun, kebaktian pemuda Khristen pun sering dicurigai. Ketika dalam satu kebaktian ada pemuda yang mendeklamasikan sajak Mazmur Mawar-nya Rendra, ada yang menuduhnya sebagai kegiatan 'RMS'. Makanya dia menyarankan agar pimpinan GPM lebih memperhatikan aspirasi rakyat kecil di Maluku sendiri. "Kurangilah diskusi-diskusi dogmatik yang kaku, dan galakkanlah partisipasi pembangunan dari bawah. Sebab 99,5% jemaat GPM kan tinggal di desa-desa," ujar Davidz, 3, yang sedang melanjutkan studinya sambil bekerja di Development Ccntre DGI. Soal bolak-balik Ambon-Belanda dianggapnya "tak efisien, walaupun ongkosnya bukan dari kas GPM". Sebab "tanah Belanda bukanlah konteks hidup GPM yang sebenarnya."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus