DI zaman revolusi fisik, wartawan-wartawan asing di Singapura
menjulukinya "penyelundup senjata dengan Alkitab di tangan
kiri." Sekarang, ia bukan penyelundup lagi. Tapi Alkitab tetap
di tangannya. Di ruang kerja kantornya di Jalan Yusuf Adiwinata,
Jakarta, ia selalu ditemani kitab suci itu bersama sebuah
Nyanyian Rohani -- selain tumpukan surat dan miniatur kapal
latih KRI Dewaruci.
Sejak 1967 namanya bukan John Lie lagi. Di kartu namanya
tertulis Jahja Daniel Dharma. Tapi di halaman dalam kartu nama
berlipat dua itu pula tercetak kutipan-kutipan ayat Alkitab,
dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Kutipan serupa itu,
dengan ayat yang berbeda, juga terdapat pada kepala surat
pribadinya. "Dasar perjuangan saya adalah percaya kepada Tuhan
YME, Allah segalanya, Sang Pencipta isi dunia ini," kataya
dengan gaya berkhotbah.
Laksamana Muda (purnawirawan sejak 1967) kelahiran Manado 72
tahun yang lalu itu, di masa kecilnya memang pernah belajar di
sekolah zending. Tapi jiwa bertualangnya telah membawa dia ke
tengah laut sejak berusia 18 tahun. "Malahan sejak kecil saya
sudah sering berlayar ikut mencoba kapal-kapal tradisional
buatan galangan kapal Manado," ungkapnya kepada James R. Lapian
dari TEMPO.
Pertama kali ia menaiki kapal barang "Van Noort" milik KPM
(perusahaan pelayaran Belanda) sebagai juru muat. Selanjutnya
berpindah-pindah kapal -- dan membawanya mengembara ke berbagai
tempat. "Tapi yang penting, dengan berbagai pengalaman itu saya
akhirnya dilatih sebagai awak kapal perang oleh Royal Navy
(Angkatan Laut Kerajaan Inggris)," tuturnya. Saat itu Perang
Dunia I baru saja mulai. Dari latihan yang berlangsung di Teluk
Persia dan sekitarnya itu, John Lie mendapat diploma sebagai
Defense Merchant Vessel.
Beberapa saat lamanya ia masih berada di kapal penumpang
Belanda. Tapi begitu mendengar Indonesia merdeka, ia buru-buru
pulang dan menuju markas besar ALRI yang waktu itu berada di
Yogyakarta. Karena tanpa selembar surat pun ada pada dirinya,
John yang ketika itu berumur 35 tahun, diterima sebagai kelasi,
setingkat dengan tamtama sekarang. "Tak usah berpangkat tinggi,
pokoknya diterima dan ada uang saku untuk hidup sehari-hari,"
ungkapnya sambil tertawa mengenangkan semua itu.
Tiga bulan setelah ditempatkan di Cilacap, ternyata kemampuannya
jauh melebihi seorang kelasi biasa. Pangkatnya dinaikkan menjadi
mayor. Dengan jabatan sebagai Perwira Nautika dan Komandan
Perairan Cilacap, ia ditugasi membersihkan kawasan laut di sana
dari ranjau-ranjau yang pernah disebarkan Jepang. Meskipun ia
mengaku selama bertugas di Cilacap "tak disukai orang komunis
karena saya sering mengadakan penginjilan," ternyata dari tempat
inilah karirnya sebagai perwira ALRI ditentukan.
Tak lama setelah perairan Cilacap dapat dibersihkan, Mei 1947,
suatu hari ia harus menolong sebuah kapal barang Inggris yang
kandas di depan pelabuhan Cilacap. Sewaktu pertolongan sedang
diberikan, tiba-tiba datang laporan, bahwa armada Belanda berada
di Ujung Kulon menuju Cilacap. "Waktu itu Belanda baru saja
mengadakan Politional Act," cerita laki-laki yang masih bergigi
utuh itu. Itu berarti, tambahnya, "saya harus segera
menyelamatkan kapal itu sebelum Belanda datang."
Tapi begitu kapal yang kandas itu tertolong, armada Belanda
muncul. "Mula-mula saya bingung, mau dibawa ke mana kapal itu
agar selamat," tutur laki-laki bertubuh kekar dengan rambut yang
sebagian sudah putih itu. Sebab ia pun tahu, sebagian besar
pelabuhan di Indonesia ketika itu sudah dikuasai Belanda.
"Karena itu tak ada pilihan lain, saya bawa lari kapal itu ke
Singapura -- dan selamat."
Di Kota Singa inilah John Lie berjuang selanjutnya. Di kota
inilah pula ia mulai dijuluki "penyelundup senjata", tapi
sekaligus juga penginjil. Ia, katanya, waktu itu tak
diperkenankan Perwakilan RI di Singapura pulang ke Indonesia. Ia
"harus menunggu perkembangan". Tapi sementara menunggu itulah ia
ditugasi mencari senjata dan dengan segala cara
menyelundupkannya ke tanah air, di tengah kepungan kapal-kapal
Belanda.
Bersama orang-orang Indonesia yang ada di Singapura, senjata
berikut amunisi maupun kapal pengangkutnya tak sulit dibeli.
John Lie sendiri bertindak sebagai kapten kapal yang ia beri
nama The Outlaw. Dengan bersemangat ia mengisahkan kembali
saat-saat ia dikejar dan ditembaki kapal laut maupun kapal
terbang Belanda setiap kali membawa senjata menuju Labuhan Deli
kini wilayah Sumatera Utara. Namun berkali-kali pula ia
berhasil, walau terkadang amat terlambat dari rencana, karena
harus menyembunyikan kapal di semak-semak pinggir laut atau
sungai. Dari Labuhan Deli senjata-senjata itu terus dibawa
secara ber: anting ke Bukittinggi -- dan dari sinilah disebarkan
ke seluruh tanah air.
"Tuhan selalu melindungi saya dan kawan-kawan," kata ayah dari
seorang anak angkat yang sudah dewasa itu. Ia mengaku dalam
tugas "penyelundupan" itu ia tak pernah luput berdoa. Bahkan
menurut majalah Life, terbitan September 1949 yang secara khusus
menulis tentang "penyelundup" itu, di kabin The Outlaw selalu
terdapat dua buah Bibel, dalam bahasa Inggris dan Belanda.
Senjata-senjata kiriman John Lie agaknya amat besar membantu
pihak Indonesia berperang melawan Belanda ketika itu. Sehingga
karena yakin pada sukses tugas kapten The Outlaw itu pula, dalam
suatu perundingan perdamaian dengan Belanda, Bung Hatta pernah
berkata kepada pihak musuh, bahwa perjanjian penghentian
tembak-menembak tak akan mempengaruhi Indonesia mendatangkan
senjata dari luar negeri.
John Lie berada di Singapura sampai dengan penyerahan
kedaulatan, 1949. Selanjutnya, setelah pulang ke Indonesia,
berbagai jabatan dipikulnya. Mulai dari komandan KRI Rajawali,
komandan Eskader dalam penumpasan RMS, memimpin patroli
pemberantasan DI di perairan Pelabuhan Ratu (Ja-Bar), komandan
pasukan ampibi memberantas pemberontakan PRRI dan Permesta dan
komandan Komando Daerah Maritim Jakarta, 1955/1957. Tahun-tahun
sebelum MPP, 1960/1966 ia diangkat menjadi ketua pengangkatan
kerangka-kerangka kapal yang tenggelam di perairan Indonesia.
Laksamana Muda pemegang 17 tanda jasa itu dipensiunkan sejak
1970. Seperti kebanyakan pensiunan perwira tinggi lainnya, John
Lie alias Jahja Daniel Dharma, mencoba aktif di bidang bisnis.
Ternyata tak begitu lancar, bahkan menurut beberapa orang
sahabatnya, "lebih banyak yang gagal". Tapi ia selalu mencoba.
Dari kantornya, masih menurut beberapa orang sahabatnya,
akhir-akhir ini ia sedang mengolah penambangan pasir, "dan belum
menunjukkan hasil".
Barangkali karena Jahja Daniel Dharma memang lebih banyak
memusatkan perhatiannya kepada bidang penginjilan. Dibantu
istrinya, Domina (pendeta wanita) Angkow, yang dinikahinya sejak
1956, di masa tuanya kini John Lie tampaknya lebih banyak
menghabiskan waktunya untuk kegiatan kegerejaan dan sosial.
Anggota Officers Christian Union yang berpusat di London ini,
dalam jabatannya sebagai penginjil memang sering diundang ke
berbagai negara. Bahkan, katanya, karena kegiatannya itu pula ia
pernah diundang langsung oleh Jimmy Carter ketika yang terakhir
ini dilantik sebagai presiden AS.
Sampai sekarang pun dia masih sering mengunjungi berbagai kota
di Indonesia. Mengadakan atau hanya sekadar menghadiri kebaktian
gereja. Di Jakarta hari-harinya selalu sibuk dengan anak-anak
asuhannya. Ia mempunyai puluhan anak asuhan yang terdiri dari
gelandangan anak-anak. Sebagian besar ada di Jakarta. John Lie
membiayai sekolah mereka. Bahkan dua minggu lalu ia membawa 30
gelandangan anak-anak itu ke beberapa gereja di Jakarta.
Sebagian mereka disertakan dalam paduan suara untuk menyertai
kebaktian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini