Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Menjadi penginjil bekas penyelundup di tengah...

Jahja daniel dharma, 72. di zaman perang kemerdekaan ia dikenal sebagai penyelundup senjata. kini aktif sebagai penginjil dan pengasuh anak-anak gelandangan. (tk)

4 Juni 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI zaman revolusi fisik, wartawan-wartawan asing di Singapura menjulukinya "penyelundup senjata dengan Alkitab di tangan kiri." Sekarang, ia bukan penyelundup lagi. Tapi Alkitab tetap di tangannya. Di ruang kerja kantornya di Jalan Yusuf Adiwinata, Jakarta, ia selalu ditemani kitab suci itu bersama sebuah Nyanyian Rohani -- selain tumpukan surat dan miniatur kapal latih KRI Dewaruci. Sejak 1967 namanya bukan John Lie lagi. Di kartu namanya tertulis Jahja Daniel Dharma. Tapi di halaman dalam kartu nama berlipat dua itu pula tercetak kutipan-kutipan ayat Alkitab, dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Kutipan serupa itu, dengan ayat yang berbeda, juga terdapat pada kepala surat pribadinya. "Dasar perjuangan saya adalah percaya kepada Tuhan YME, Allah segalanya, Sang Pencipta isi dunia ini," kataya dengan gaya berkhotbah. Laksamana Muda (purnawirawan sejak 1967) kelahiran Manado 72 tahun yang lalu itu, di masa kecilnya memang pernah belajar di sekolah zending. Tapi jiwa bertualangnya telah membawa dia ke tengah laut sejak berusia 18 tahun. "Malahan sejak kecil saya sudah sering berlayar ikut mencoba kapal-kapal tradisional buatan galangan kapal Manado," ungkapnya kepada James R. Lapian dari TEMPO. Pertama kali ia menaiki kapal barang "Van Noort" milik KPM (perusahaan pelayaran Belanda) sebagai juru muat. Selanjutnya berpindah-pindah kapal -- dan membawanya mengembara ke berbagai tempat. "Tapi yang penting, dengan berbagai pengalaman itu saya akhirnya dilatih sebagai awak kapal perang oleh Royal Navy (Angkatan Laut Kerajaan Inggris)," tuturnya. Saat itu Perang Dunia I baru saja mulai. Dari latihan yang berlangsung di Teluk Persia dan sekitarnya itu, John Lie mendapat diploma sebagai Defense Merchant Vessel. Beberapa saat lamanya ia masih berada di kapal penumpang Belanda. Tapi begitu mendengar Indonesia merdeka, ia buru-buru pulang dan menuju markas besar ALRI yang waktu itu berada di Yogyakarta. Karena tanpa selembar surat pun ada pada dirinya, John yang ketika itu berumur 35 tahun, diterima sebagai kelasi, setingkat dengan tamtama sekarang. "Tak usah berpangkat tinggi, pokoknya diterima dan ada uang saku untuk hidup sehari-hari," ungkapnya sambil tertawa mengenangkan semua itu. Tiga bulan setelah ditempatkan di Cilacap, ternyata kemampuannya jauh melebihi seorang kelasi biasa. Pangkatnya dinaikkan menjadi mayor. Dengan jabatan sebagai Perwira Nautika dan Komandan Perairan Cilacap, ia ditugasi membersihkan kawasan laut di sana dari ranjau-ranjau yang pernah disebarkan Jepang. Meskipun ia mengaku selama bertugas di Cilacap "tak disukai orang komunis karena saya sering mengadakan penginjilan," ternyata dari tempat inilah karirnya sebagai perwira ALRI ditentukan. Tak lama setelah perairan Cilacap dapat dibersihkan, Mei 1947, suatu hari ia harus menolong sebuah kapal barang Inggris yang kandas di depan pelabuhan Cilacap. Sewaktu pertolongan sedang diberikan, tiba-tiba datang laporan, bahwa armada Belanda berada di Ujung Kulon menuju Cilacap. "Waktu itu Belanda baru saja mengadakan Politional Act," cerita laki-laki yang masih bergigi utuh itu. Itu berarti, tambahnya, "saya harus segera menyelamatkan kapal itu sebelum Belanda datang." Tapi begitu kapal yang kandas itu tertolong, armada Belanda muncul. "Mula-mula saya bingung, mau dibawa ke mana kapal itu agar selamat," tutur laki-laki bertubuh kekar dengan rambut yang sebagian sudah putih itu. Sebab ia pun tahu, sebagian besar pelabuhan di Indonesia ketika itu sudah dikuasai Belanda. "Karena itu tak ada pilihan lain, saya bawa lari kapal itu ke Singapura -- dan selamat." Di Kota Singa inilah John Lie berjuang selanjutnya. Di kota inilah pula ia mulai dijuluki "penyelundup senjata", tapi sekaligus juga penginjil. Ia, katanya, waktu itu tak diperkenankan Perwakilan RI di Singapura pulang ke Indonesia. Ia "harus menunggu perkembangan". Tapi sementara menunggu itulah ia ditugasi mencari senjata dan dengan segala cara menyelundupkannya ke tanah air, di tengah kepungan kapal-kapal Belanda. Bersama orang-orang Indonesia yang ada di Singapura, senjata berikut amunisi maupun kapal pengangkutnya tak sulit dibeli. John Lie sendiri bertindak sebagai kapten kapal yang ia beri nama The Outlaw. Dengan bersemangat ia mengisahkan kembali saat-saat ia dikejar dan ditembaki kapal laut maupun kapal terbang Belanda setiap kali membawa senjata menuju Labuhan Deli kini wilayah Sumatera Utara. Namun berkali-kali pula ia berhasil, walau terkadang amat terlambat dari rencana, karena harus menyembunyikan kapal di semak-semak pinggir laut atau sungai. Dari Labuhan Deli senjata-senjata itu terus dibawa secara ber: anting ke Bukittinggi -- dan dari sinilah disebarkan ke seluruh tanah air. "Tuhan selalu melindungi saya dan kawan-kawan," kata ayah dari seorang anak angkat yang sudah dewasa itu. Ia mengaku dalam tugas "penyelundupan" itu ia tak pernah luput berdoa. Bahkan menurut majalah Life, terbitan September 1949 yang secara khusus menulis tentang "penyelundup" itu, di kabin The Outlaw selalu terdapat dua buah Bibel, dalam bahasa Inggris dan Belanda. Senjata-senjata kiriman John Lie agaknya amat besar membantu pihak Indonesia berperang melawan Belanda ketika itu. Sehingga karena yakin pada sukses tugas kapten The Outlaw itu pula, dalam suatu perundingan perdamaian dengan Belanda, Bung Hatta pernah berkata kepada pihak musuh, bahwa perjanjian penghentian tembak-menembak tak akan mempengaruhi Indonesia mendatangkan senjata dari luar negeri. John Lie berada di Singapura sampai dengan penyerahan kedaulatan, 1949. Selanjutnya, setelah pulang ke Indonesia, berbagai jabatan dipikulnya. Mulai dari komandan KRI Rajawali, komandan Eskader dalam penumpasan RMS, memimpin patroli pemberantasan DI di perairan Pelabuhan Ratu (Ja-Bar), komandan pasukan ampibi memberantas pemberontakan PRRI dan Permesta dan komandan Komando Daerah Maritim Jakarta, 1955/1957. Tahun-tahun sebelum MPP, 1960/1966 ia diangkat menjadi ketua pengangkatan kerangka-kerangka kapal yang tenggelam di perairan Indonesia. Laksamana Muda pemegang 17 tanda jasa itu dipensiunkan sejak 1970. Seperti kebanyakan pensiunan perwira tinggi lainnya, John Lie alias Jahja Daniel Dharma, mencoba aktif di bidang bisnis. Ternyata tak begitu lancar, bahkan menurut beberapa orang sahabatnya, "lebih banyak yang gagal". Tapi ia selalu mencoba. Dari kantornya, masih menurut beberapa orang sahabatnya, akhir-akhir ini ia sedang mengolah penambangan pasir, "dan belum menunjukkan hasil". Barangkali karena Jahja Daniel Dharma memang lebih banyak memusatkan perhatiannya kepada bidang penginjilan. Dibantu istrinya, Domina (pendeta wanita) Angkow, yang dinikahinya sejak 1956, di masa tuanya kini John Lie tampaknya lebih banyak menghabiskan waktunya untuk kegiatan kegerejaan dan sosial. Anggota Officers Christian Union yang berpusat di London ini, dalam jabatannya sebagai penginjil memang sering diundang ke berbagai negara. Bahkan, katanya, karena kegiatannya itu pula ia pernah diundang langsung oleh Jimmy Carter ketika yang terakhir ini dilantik sebagai presiden AS. Sampai sekarang pun dia masih sering mengunjungi berbagai kota di Indonesia. Mengadakan atau hanya sekadar menghadiri kebaktian gereja. Di Jakarta hari-harinya selalu sibuk dengan anak-anak asuhannya. Ia mempunyai puluhan anak asuhan yang terdiri dari gelandangan anak-anak. Sebagian besar ada di Jakarta. John Lie membiayai sekolah mereka. Bahkan dua minggu lalu ia membawa 30 gelandangan anak-anak itu ke beberapa gereja di Jakarta. Sebagian mereka disertakan dalam paduan suara untuk menyertai kebaktian.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus