Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Berkeley, setelah 20 tahun

Berkeley awal mei 1983 menampilkan wajah amat berbeda. tak ada tanda bahwa selama 20 tahun telah terjadi pergolakan luar biasa. di dalam & di luar kampus. sepanjang jalan ke kampus semua nampak rapi.

4 Juni 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SIDANG-sidang konperensi ASEAN-Amerika Serikat di Berkeley tanggal 2-5 Mei, 1983, berlangsung maraton, pukul 08.30 hingga 17.00. Berbagai masalah dikemukakan dalam makalah, dari pertumbuhan ekonomi negara-negara ASEAN tahun 1980-an hingga peranan Amerika Serikat di kawasan Asia Pasifik. Tetapi beberapa kali selama sidang konperensi, pikiran saya melayang kembali ke masa 20 tahun silam. Bulan Mei 1963, tak lama setelah Bung Karno mengumumkan Deklarasi Ekonomi sebagai tekad Indonesia menolak bantuan Amerika dan Dana Moneter Internasional, Hasan Rangkuty (meninggal April 1964), ketua Majelis Mahasiswa Indonesia, memanggil saya di kantor Dewan Mahasiswa UI. "Nih, ada undangan dari USIS dan perhimpunan nasional mahasiswa Amerika. Pergilah ke Amerika bulan Oktober-Desember nanti, ngecaplah tentang Indonesia di sana." Bersama Benny Ticoalu dari Dewan Mahasiswa Unair (sekarang anggota pimpinan Unilever) serta mahasiswa lain dari Jepang, Filipina, dan Thailand, tibalah saya di San Francisco pertengahan Oktober 1963. Berkeley tahun 1963 belumlah kampus induk University of California System yang terkenal seperti setelah Oktober 1964, ketika Free Speech Movement melanda kampus-kampus lain di Amerika Serikat. Waktu itu tak ada bayangan Ronald Reagan bakal memangku jabatan gubernur California. Apalagi jadi presiden AS. Buku Paul Baran The Political Economy of Growth sudah beredar sejak 1958. Tetapi di toko buku kampus, buku yang laris adalah karangan Walt W. Rostow The Stages of Economy Growth yang beranak-judul A non-Communist Manifesto. Buku laris lainnya, The Emerging Nations, karya Max Millikan dan Donald Blackmer, baru saja menjadi buku pegangan pemerintah John Kennedy guna menghadapi tantangan Uni Soviet di negara-negara berkembang. Bancroft Way, jalan sepanjang batas selatan kampus yang bertemu dengan ujung Telegraph Avenue dekat Sather Gate, masih berlalu lintas dua arah. Toko-toko di sisi jalan masih kecil dan rapi, milik perorangan atau keluarga yang dengan rajin dan ramah melayani kebutuhan mahasiswa serta wisatawan yang lalu lalang antara Telegraph dan kompleks universitas. Amerika masih unggul waktu itu. Presiden John F. Kennedy baru menandatangani persetujuan terbatas mengenai larangan peledakan bom nuklir, belum setahun setelah dalam krisis Karibia Oktober 1962 ia memaksa Nikita Kruschev menarik mundur kapal-kapal perang Soviet dari Kuba. Optimisme bahwa Amerika adalah pelopor dan penggerak kemajuan dan pembangunan di seluruh pelosok dunia, terasa hampir di mana-mana. Karena waktu terbatas, Benny Ticoalu dan saya tak sempat jumpa dengan Emil Salim, Suhadi Mangkusuwondo, Sukadji Ranuwihardjo dan sejumlah dosen ekonomi lain yang waktu itu sedang tugas belajar di Berkeley. Tapi dekat Faculty Club kami sempat dengar uraian Eugene Burdick, penulis The Ugly American, mengenai sepak terjang Amerika di Vietnam Selatan. Burdick tak yakin bahwa Peace Corps yang diciptakan Kennedy akan sanggup mengimbangi efek negatif yang ditampilkan sebagian diplomat Amerika di Indo-Cina. Juga tak yakin bahwa dihidupkan kembalinya pasukan Green Berets, ahli-ahli perang khusus yang dilatih untuk melawan gerilyawan Vietkong, akan mengubah situasi politik di Saigon, Danang dan kota-kota lain di Vietnam Selatan. Tetapi di Berkeley tahun 1963, pesimisme Burdick tak dapat pasaran. Kennedy-isme terlalu kuat di seluruh kehidupan politik masyarakat Amerika. Dan Berkeley, dengan dosen-dosen tenar yang meraih 10 buah hadiah Nobel dalam kurun waktu 1963-1973, menjadi lambang keulungan ilmu yang tak ada taranya di seluruh pelosok Amerika Serikat ketika itu. Bahkan seorang Henry Kissinger yang ketika itu sudah menulis buku The Necessity of Choice sempat tidak diperpanjang kontraknya dengan pemerintah Kennedy. Berkeley awal Mei 1983 menampilkan wajah amat berbeda. Tak ada tanda bahwa selama 20 tahun telah terjadi pergolakan luar biasa di dalam dan sekitar kampus. Ronald Reagan baru saja memberi pidato pada sidang gabungan Senat-DPR Amerika, tentang situasi di Amerika Tengah. Tak ada tanda semangat mendukung bekas gubernur California yang kini duduk di Gedung Putih itu. Sebaliknya tak ada juga tanda-tanda di kampus Berkeley akan kemungkinan terjadinya rangkaian demonstrasi menentang politik Amerika di Nikaragua dan El Salvador. Boleh jadi, setelah pergolakan 1966-1976, kejenuhan melanda sebagian besar kampus yang dahulunya paling sengit memberi reaksi terhadap setiap pidato Lyndon Johnson dan Richard Nixon semasa 1968-1973. Mode intelektual pun sudah berkali-kali berubah, sampai mahasiswa dan dosen kehilangan hitungan berapa kali pindah mazhab atau keyakinan teori. Telegraph Avenue, pusat kegiatan counter culture 15 tahun silam, kini disusun rapi dengan kaki lima yang diperindah alas batu bata serta onggokan tanaman segar. Toko-toko yang ada bagian besar adalah cabang dari mata rantai raksasa yang tersebar di seluruh Negara Bagian California. Sepanjang jalan tak ada lagi poster yang menggambarkan acungan tinju, wajah Che Guevara atau si Black Panther yang fotogenik, Huey Newton. "Semua itu sudah menjadi sejarah," ucap Joe Fischer, ahli pendidikan yang sempat menjadi dosen tamu di Universitas Gajah Mada pertengahan 1950-an. Berkeley, seperti banyak kota mahasiswa lainnya di Amerika, telah menjadi kota konservatif. Tak banyak lagi mahasiswa berjanggut lebat, berpakaian kumal, dan memakai sandal jepit. Di Sproul Plaza, tak ada lagi tokoh radikal yang memekikkan teori radikal dependencia gaya Amerika Latin atau imperialisme sistem dunia gaya Afrika. Paul Baran, F. Cardoso Johan Galtung dan Immanuel Wallerstein mungkin masih memukau perguruan tinggi di negara-negara sedang berkembag. Tetapi tidak lagi di Berkeley. Joe Fischer sendiri, yang pernah mengelola program ilmu sosial dasar untuk Departemen P&K RI tahun 1969-1973, merasa sebaiknya Amerika Serikat tidak lagi berpretensi bisa memperbaiki keadaan ekonomi atau mendewasakan kehidupan politik di benua-benua Amerika Latin, Afrika, dan Asia. Baginya tak ada hak ilmu sosial Amerika (kiri, tengah ataupun kanan) untuk menjual resep pembangunan di Cairo, Jakarta, atau Caracas. Joe Fischer malah menemukan kembali makna hidupnya di Berkeley dengan menjadi pekerja sosial, mengurus anak-anak telantar. Dan sekali-sekali menjual buku di Moe's, tak jauh dari pusat kampus. Barangkali memang sudah waktunya demikian, sekurangkurangnya buat Berkeley. Dalam penilaian American Council of Education baru-baru ini, kampus Berkeley tidak lagi menduduki tempat teratas seperti 15-20 tahun yang lalu. Semangat ingin menguba dunia sesuai dengan Impian Amerika sudah memudar. Hanya saja, hantu Peace Corps dan Green Berets tahun 1963 masih membayangi politik Presiden Reagan di El Salvador kali ini. Siapa tahu, menjelang ulang tahun ke-20 Free Speech Movement tahun 1984 nanti, Berkeley akan bergolak lagi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus