Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Beijing, huaqiao, dan asia tenggara

Keturunan cina di asia tenggara selalu menjadi masalah dalam upaya terciptanya hubungan harmonis antara beijing dengan negara-negara di kawasan ini. beijing masih mengharap kembalinya orang-orang cina itu.

4 Juni 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ISU besar yang sampai sekarang jadi salah satu rintangan utama terciptanya hubungan mesra antara Beijing dan Asia Tenggara adalah masalah golongan etnik Cina, lebih populer dengan sebutan hoakiao atau huaqiao. Bisa dimengerti: menurut perkiraan di seantero dunia di luar RRC, Hongkong, dan Makao, jumlah mereka 20 juta. Dan kira-kira 18 juta atau 90% ada di kawasan ini. Sejak terbentuknya RRC tahun 1949, masalah minoritas Cina itu makin menjadi-jadi. Hampir semua negara Asia Tenggara menghadapinya -- antara lain karena pemerintah komunis di daratan Cina selalu mengajak seluruh huaqiao berpartisipasi dalam "pembangunan sosialis di tanah air". Untuk memikat mereka, di RRC dibentuklah Komisi Urusan Cina Perantauan. Sejak awal tahun-tahun 1950-an, dalam propaganda RRC kita menemukan istilah-istilah seperti huaqiao, "huaqiao yang kembali," lengkap dengan "sanak saudara" mereka. Golongan itu, konon, mendapat perlakuan istimewa. Itu diperkuat lagi oleh munculnya ancaman komunis. Ambil contoh Malaysia, yang jumlah persentasi penduduk Cina dibanding pribumi tak berbeda banyak. Partai Komunis Malaya (PKM), yang hingga sekarang masih giat bergerilya di hutan rimba, 95% anggotanya golongan Cina. Pangkal kerunyaman itu sebenarnya berpulang pada Beijing juga. Dengan mengajak orang Cina di luar RRC turut membangun "negeri leluhur," pada dasarnya RRC menerapkan dasar jus-sanguinis Z: bila seseorang lahir dan berasal dari ayah atau ibu Cina atau bila kebangsaan ayahnya tidak jelas atau tidak bisa dipastikan maka ia warga negara Cina, tanpa dilihat di mana ia dilahirkan. Serangkaian krisis antara RRC dan beberapa pemerintah di Asia Tenggara tahun-tahun 1950-an berpangkal pada masalah itu. Sebenarnya bila dilihat secara historis, bukan RRC saja yang mempraktekkan asas jus-sanguinis. Baik pemerintah Dinasti Qing maupun pemerintah Nasionalis menganut prinsip itu. Jadi, pada dasarnya Beijing hanya meneruskan tradisi. Malah menjelang 1955 sebenarnya Beijing mulai mengubah kebijaksanaan itu. Perdana Menteri Zhou Enlai misalnya, menawarkan penyelesaian masalah Cina perantauan itu kepada "negara-negara yang mau bersahabat dengan RRC". Itu sejalan dengan politik luar negerinya yang mulai beralih ke "tengah", setelah beberapa tahun sebelumnya lebih mengikuti politik "perang dingin" Moskow, garis yang dikuatkan oleh tesis Mao 1949 yang dikenal dengan "condong ke satu pihak". Tapi ternyata uluran tangan Zhou mendapat sambutan dingin. Hanya Indonesia yang pada 1955 menandatangani Perjanjian Dwikewarganegaraan. Perjanjian itu sendiri hakikatnya memulai suatu pola baru dalam kebijaksanaan Beijing: dalam beberapa hal malahan ia mendorong para hoakiao melepaskan kewarganegaraan Cina mereka. Di pihak Asia Tenggara, Revolusi Kebudayaan yang dimulai 1966 makin mempertebal keyakinan akan subversi Cina melalui huaqiao. Itu disebabkan, sekali lagi, oleh kipasan daratan Cina kepada "saudara-saudara sekandung di seberang lautan" untuk mempraktekkan revolusi bersenjatakan "pikiran Mao". Sepanjang tahun 1966 sampai 1969 terjadilah serangkaian demonstrasi besar. besaran golongan etnik Cina pro-RRC di Indonesia, Kamboja, Birma, Malaysia, Hongkong? dan Makao. Di beberapa tempat demonstrasi berkembang jadi huru-hara rasial. Untuk beberapa tahun setelah dasawarsa 1960-an, "masalah Cina" kelihatan mereda. Itu antara lain disebabkan oleh kemenangan golongan moderat di RRC. Namun pada 1977 isu itu menghangat lagi: seirama dengan program Empat Modernisasi, RRC sekali lagi mengajak huaqiao turut aktif. Dan peristiwa itu tentu saja menggugah kembali kecurigaan yang untuk beberapa tahun "terlupakan". Buat menambah peliknya masalah, tahun 1978 pecahlah perang Cina-Vietnam. Dan salah satu isu yang menyalakan sumbu peperangan antara kedua negara komunis itu, tak lain soal etnik Cina juga -- gara-gara kebijaksanaan keras yang ditempuh Hanoi terhadap golongan minoritas itu. Karenanya perang itu membangkitkan tuduhan baru ke alamat Beijing: bahwa demi perlindungan terhadap warganya di rantau, RRC tak segan lagi menempuh jalan senjata dan bahwa dalam menangani "masalah Cina" rezin post-Mao ternyata lebih radikal dari yang zaman Mao. Meski begitu ada beberapa faktor yang seyogyanya diperhitungkan. Pertama, kurang tepat anggapan bahwa mereka homogen. Dalam kenyataannya mereka terkotak-kotak menurut daerah asal di daratan Cina. Di Indonesia, misalnya, pluralisme itu dibikin lebih kompleks lagi dengan pembagian menurut golongan totok dan peranakan. Kedua, istilah huaqiao sendiri lebih mengacaukan ketimbang membuat terang. Qiao berarti mengembara, atau pergi untuk sementara waktu. Huaqiao dengan demikian orang Cina yang meninggalkan tanah air dan akan kembali. Dalam keadaan seperti sekarang, melihat perkembangan di daratan Cina dan Asia Tenggara serta di kalangan etnik Cina sendiri, pengertian itu sudah tidak berlaku. Profesor Wang Gunggwu, sejarawan terkemuka tentang etnik Cina di Asia Tenggara, mengusulkan penggunaan istilah Huayi (keturunan Cina) atau Huaren (etnik Cina). Sampai sekarang RRC masih menggunakan istilah huaqiao. Ketiga, langkah RRC di pertengahan dasawarsa 1950-an dulu memang ingin menyelesaikan masalah etnik Cina tersebut. Dengan demikian ingin membedakan warga negaranya yang berdiam di luar negeri (huaqiao asli) dengan golongan etnik Cina yang sudah jadi warga negara lokal. Berat dugaan, masih dipakainya istilah itu oleh Beijing adalah untuk tujuan tersebut. Keempat, imbauan Beijing kepada para huaqiao untuk turut program modernisasi boleh jadi tidak ditujukan kepada mereka yang di Asia Tenggara dan yang di Dunia Ketiga umumnya. Golongan etnik Cina di kawasan ini -- kecuali yang di Singapura barangkali -- tidak dalam posisi untuk memberi sumbangan teknologi tinggi yang saat ini dibutuhkan RRC. Masuk akal anggapan seorang ahli baru-baru ini, yang mengatakan bahwa ajakan Beijing sebenarnya ditujukan kepada golongan etnik Cina di Amerika dan Eropa Barat. Merekalah yang terutama diharapkan bisa memberi sumbangan besar, baik teknologi tinggi maupun investasi modal. Menurut perkiraan, jarang -- kalau bukan tidak ada -- kapitalis Cina Asia Tenggara yang menanamkan modalnya di RRC. Mereka lebih senang meluaskan usahanya di Amerika atau Eropa Barat atau paling banter di "serambi Beijing" Hongkong dan Makao. Salah satu handikap besar terhadap investasi modal besar-besaran di RRC adalah ketidakstabilan politiknya. Kaum kapitalis semuanya sama: mereka perlu jaminan. Pendek kata, sampai hari ini sikap RRC terhadap "masalah Cina" masih kabur. Terbukti dari berbagai kebijaksanaannya yang bisa ditafsirkan macam-macam. Seruan seruannya untuk menarik golongan etnik Cina, walau mungkin tidak ditujukan kepada yang bukan warga negara RRC, masih mengundang prasangka. Faktorfaktor kesejarahan, psikologi, plus perkembangan ekonomi, politik dan sosial di Asia Tenggara membuat masalah itu tambah njelimet. Alhasil masih tetap akan jadi masalah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus