ISU besar yang sampai sekarang jadi salah satu rintangan utama
terciptanya hubungan mesra antara Beijing dan Asia Tenggara
adalah masalah golongan etnik Cina, lebih populer dengan sebutan
hoakiao atau huaqiao. Bisa dimengerti: menurut perkiraan di
seantero dunia di luar RRC, Hongkong, dan Makao, jumlah mereka
20 juta. Dan kira-kira 18 juta atau 90% ada di kawasan ini.
Sejak terbentuknya RRC tahun 1949, masalah minoritas Cina itu
makin menjadi-jadi. Hampir semua negara Asia Tenggara
menghadapinya -- antara lain karena pemerintah komunis di
daratan Cina selalu mengajak seluruh huaqiao berpartisipasi
dalam "pembangunan sosialis di tanah air".
Untuk memikat mereka, di RRC dibentuklah Komisi Urusan Cina
Perantauan. Sejak awal tahun-tahun 1950-an, dalam propaganda RRC
kita menemukan istilah-istilah seperti huaqiao, "huaqiao yang
kembali," lengkap dengan "sanak saudara" mereka. Golongan itu,
konon, mendapat perlakuan istimewa.
Itu diperkuat lagi oleh munculnya ancaman komunis. Ambil contoh
Malaysia, yang jumlah persentasi penduduk Cina dibanding pribumi
tak berbeda banyak. Partai Komunis Malaya (PKM), yang hingga
sekarang masih giat bergerilya di hutan rimba, 95% anggotanya
golongan Cina.
Pangkal kerunyaman itu sebenarnya berpulang pada Beijing juga.
Dengan mengajak orang Cina di luar RRC turut membangun "negeri
leluhur," pada dasarnya RRC menerapkan dasar jus-sanguinis Z:
bila seseorang lahir dan berasal dari ayah atau ibu Cina atau
bila kebangsaan ayahnya tidak jelas atau tidak bisa dipastikan
maka ia warga negara Cina, tanpa dilihat di mana ia dilahirkan.
Serangkaian krisis antara RRC dan beberapa pemerintah di Asia
Tenggara tahun-tahun 1950-an berpangkal pada masalah itu.
Sebenarnya bila dilihat secara historis, bukan RRC saja yang
mempraktekkan asas jus-sanguinis. Baik pemerintah Dinasti Qing
maupun pemerintah Nasionalis menganut prinsip itu. Jadi, pada
dasarnya Beijing hanya meneruskan tradisi.
Malah menjelang 1955 sebenarnya Beijing mulai mengubah
kebijaksanaan itu. Perdana Menteri Zhou Enlai misalnya,
menawarkan penyelesaian masalah Cina perantauan itu kepada
"negara-negara yang mau bersahabat dengan RRC". Itu sejalan
dengan politik luar negerinya yang mulai beralih ke "tengah",
setelah beberapa tahun sebelumnya lebih mengikuti politik
"perang dingin" Moskow, garis yang dikuatkan oleh tesis Mao 1949
yang dikenal dengan "condong ke satu pihak".
Tapi ternyata uluran tangan Zhou mendapat sambutan dingin. Hanya
Indonesia yang pada 1955 menandatangani Perjanjian
Dwikewarganegaraan. Perjanjian itu sendiri hakikatnya memulai
suatu pola baru dalam kebijaksanaan Beijing: dalam beberapa hal
malahan ia mendorong para hoakiao melepaskan kewarganegaraan
Cina mereka.
Di pihak Asia Tenggara, Revolusi Kebudayaan yang dimulai 1966
makin mempertebal keyakinan akan subversi Cina melalui huaqiao.
Itu disebabkan, sekali lagi, oleh kipasan daratan Cina kepada
"saudara-saudara sekandung di seberang lautan" untuk
mempraktekkan revolusi bersenjatakan "pikiran Mao". Sepanjang
tahun 1966 sampai 1969 terjadilah serangkaian demonstrasi besar.
besaran golongan etnik Cina pro-RRC di Indonesia, Kamboja,
Birma, Malaysia, Hongkong? dan Makao. Di beberapa tempat
demonstrasi berkembang jadi huru-hara rasial.
Untuk beberapa tahun setelah dasawarsa 1960-an, "masalah Cina"
kelihatan mereda. Itu antara lain disebabkan oleh kemenangan
golongan moderat di RRC. Namun pada 1977 isu itu menghangat
lagi: seirama dengan program Empat Modernisasi, RRC sekali lagi
mengajak huaqiao turut aktif. Dan peristiwa itu tentu saja
menggugah kembali kecurigaan yang untuk beberapa tahun
"terlupakan".
Buat menambah peliknya masalah, tahun 1978 pecahlah perang
Cina-Vietnam. Dan salah satu isu yang menyalakan sumbu
peperangan antara kedua negara komunis itu, tak lain soal etnik
Cina juga -- gara-gara kebijaksanaan keras yang ditempuh Hanoi
terhadap golongan minoritas itu. Karenanya perang itu
membangkitkan tuduhan baru ke alamat Beijing: bahwa demi
perlindungan terhadap warganya di rantau, RRC tak segan lagi
menempuh jalan senjata dan bahwa dalam menangani "masalah Cina"
rezin post-Mao ternyata lebih radikal dari yang zaman Mao.
Meski begitu ada beberapa faktor yang seyogyanya diperhitungkan.
Pertama, kurang tepat anggapan bahwa mereka homogen. Dalam
kenyataannya mereka terkotak-kotak menurut daerah asal di
daratan Cina. Di Indonesia, misalnya, pluralisme itu dibikin
lebih kompleks lagi dengan pembagian menurut golongan totok dan
peranakan.
Kedua, istilah huaqiao sendiri lebih mengacaukan ketimbang
membuat terang. Qiao berarti mengembara, atau pergi untuk
sementara waktu. Huaqiao dengan demikian orang Cina yang
meninggalkan tanah air dan akan kembali. Dalam keadaan seperti
sekarang, melihat perkembangan di daratan Cina dan Asia Tenggara
serta di kalangan etnik Cina sendiri, pengertian itu sudah tidak
berlaku. Profesor Wang Gunggwu, sejarawan terkemuka tentang
etnik Cina di Asia Tenggara, mengusulkan penggunaan istilah
Huayi (keturunan Cina) atau Huaren (etnik Cina). Sampai sekarang
RRC masih menggunakan istilah huaqiao.
Ketiga, langkah RRC di pertengahan dasawarsa 1950-an dulu memang
ingin menyelesaikan masalah etnik Cina tersebut. Dengan demikian
ingin membedakan warga negaranya yang berdiam di luar negeri
(huaqiao asli) dengan golongan etnik Cina yang sudah jadi warga
negara lokal. Berat dugaan, masih dipakainya istilah itu oleh
Beijing adalah untuk tujuan tersebut.
Keempat, imbauan Beijing kepada para huaqiao untuk turut program
modernisasi boleh jadi tidak ditujukan kepada mereka yang di
Asia Tenggara dan yang di Dunia Ketiga umumnya. Golongan etnik
Cina di kawasan ini -- kecuali yang di Singapura barangkali --
tidak dalam posisi untuk memberi sumbangan teknologi tinggi yang
saat ini dibutuhkan RRC.
Masuk akal anggapan seorang ahli baru-baru ini, yang mengatakan
bahwa ajakan Beijing sebenarnya ditujukan kepada golongan etnik
Cina di Amerika dan Eropa Barat. Merekalah yang terutama
diharapkan bisa memberi sumbangan besar, baik teknologi tinggi
maupun investasi modal.
Menurut perkiraan, jarang -- kalau bukan tidak ada -- kapitalis
Cina Asia Tenggara yang menanamkan modalnya di RRC. Mereka lebih
senang meluaskan usahanya di Amerika atau Eropa Barat atau
paling banter di "serambi Beijing" Hongkong dan Makao. Salah
satu handikap besar terhadap investasi modal besar-besaran di
RRC adalah ketidakstabilan politiknya. Kaum kapitalis semuanya
sama: mereka perlu jaminan.
Pendek kata, sampai hari ini sikap RRC terhadap "masalah Cina"
masih kabur. Terbukti dari berbagai kebijaksanaannya yang bisa
ditafsirkan macam-macam. Seruan seruannya untuk menarik golongan
etnik Cina, walau mungkin tidak ditujukan kepada yang bukan
warga negara RRC, masih mengundang prasangka. Faktorfaktor
kesejarahan, psikologi, plus perkembangan ekonomi, politik dan
sosial di Asia Tenggara membuat masalah itu tambah njelimet.
Alhasil masih tetap akan jadi masalah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini