Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Menjala Penonton di Kampus

Memutar film ke kampus atau kota-kota menjadi alternatif di luar jalur bioskop. Hasilnya lumayan.

6 Mei 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kipas angin di sudut ruangan terengah-engah mengusir gerah dan pengap. Putaran kipasnya sudah maksimal. Namun, sekitar seratusan orang yang berdesakan di dalam Sanggar Krida Wanita yang sempit itu toh tak peduli. Ventilasi dan jendela gedung yang terletak di kawasan Jakarta Timur itu, pertengahan April lalu, sengaja ditutup kain hitam.

Dalam gelap yang mencucurkan peluh, para mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Rawamangun menikmati film Beth di layar yang dipasang menutupi pintu depan yang digrendel. Apalagi sutradara Aria Kusumadewa dan aktris Lola Amaria ikut berkeringat menemani mereka. Inilah kabar terakhir dari film Beth yang sempat tak jelas nasibnya.

Alkisah, Aria berkeinginan agar filmnya itu diputar di jaringan bioskop 21. Namun nasibnya "digantung". Jaringan distribusi fim satu-satunya di Indonesia itu masih memutar film Jelangkung, yang saat itu tengah laris. Menurut Sunaryo, dari Bagian Peredaran Jaringan Bioskop 21, bioskopnya memang sedang memutar film "Jelangkung" di Pondok Indah Mal, sehingga mereka memberikan alternatif untuk diputar di Studio 21 TIM. "Mereka maunya di Pondok Indah," tutur Sunaryo.

Jadwal putar bulan Oktober molor hingga awal Desember silam. "Akhirnya, aku putusin diputar di Bulungan saja," kata Aria.

Dengan perlengkapan seadanya, antara lain proyektor pinjaman, mereka menjual tiket Rp 6.000 per lembar. Selama enam hari, 800 tiket jadi rebutan orang. "Aku nggak nyangka, penonton begitu banyak," ujar Aria. Muncul permintaan dari beberapa mahasiswa agar pria asal Lampung itu mau juga memutar film di kampusnya. Dari situ, muncul gagasan membuat bioskop keliling.

Mulailah Aria memutar film dari kampus ke kampus, yang disebutnya road show. Sampai sekarang, mereka sudah mendatangi enam kota di Jawa. Mulai dari Jakarta sampai kota ukir Jepara. Menunya, sekian hari putar lalu ditutup diskusi film dengan pemain atau sutradara. Di Universitas Muhammadiyah Malang, gedung kampus itu hampir runtuh diserbu 1.700 penonton selama tiga hari. Di Universitas Diponegoro Semarang, 1.800 mahasiswa menyerbu pemutaran Beth. Keriuhan juga terjadi di Itenas dan Unisba Bandung. Sampai saat ini, jika dijumlah, penonton film itu sudah mencapai 14 ribu orang. "Mungkin jika di bioskop nggak sebanyak itu. Soalnya, film ini agak susah, sih," tuturnya.

Polanya sederhana: pembagian tiket. Bila panitia kampus mendapat sponsor, ia minta 60 persen. Bila tak ada sponsor, ia cuma minta 50 persen. Kaset video—karena Beth sudah divideokan—proyektor, dan spanduk datang dari pihak Aria. Tapi tempat, tiket, dan akomodasi ditanggung panitia.

Dari situ, Aria bisa menutup biaya produksi Beth, sekitar Rp 200 juta. Dana awal film ini diperoleh dari melego jip CJ7 kesayangannya seharga Rp 45 juta, "bantingan" beberapa pemain macam Lola Amaria, Ine Febriyanti, Nurul Arifin, dan Bucek Depp serta ngutang, sudah lunas. Rezekinya tambah kenceng ketika sebuah perusahaan rokok memintanya menjadi bintang iklan. "Aku minta honor proyektor. Soalnya belum punya," ujar Aria. "Pasang tarif"-nya disanggupi. Filmnya juga dikontrak. Perjanjiannya, film Beth akan diputar di 60 kampus di Jawa. Setiap pemutaran, Aria mendapat honor. Di luar itu, ia di-bolehkan memutar di kampus lain.

Sebenarnya, distribusi gaya Aria pernah juga dijajal Rudi Soejarwo lewat film digital perdananya, Bintang Jatuh, dan Harry Dagoe melalui sutradara Pachinko dan Everyone's Happy. Rudy, misalnya, menjual sendiri filmnya dua tahun lalu. "Saya waktu itu nggak pede (percaya diri-red) ke Studio 21," ujarnya. Ia lalu keliling ke empat kota besar: Jakarta, Bandung, Yogya, dan Surabaya. "Saya sewa gedung, kemudian jual tiket dan merchandise," kata Rudi.

Menurut Garin Nugroho, bioskop membawa beban berat bagi sineas. "Pajaknya tinggi, 30 persen. Baru sisanya dibagi dua antara pemilik bioskop dan pemilik film," katanya. Jika mau untung, seorang produser harus memproduksi tiga film setahun dengan rata-rata 300 ribu penonton. Sineas terpaksa membuat sistemnya sendiri. Menurut Garin, Aria melakukan pertukaran citra. "Citra independennya digunakan untuk penciptaan iklan merek rokok," tutur Aria. Maka, film itu pun kini melenggang di kampus-kampus dengan bebas.

Arif A. Kuswardono, Dewi Rina Cahyani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus