Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Enggak Ikutan bila Golkar Kena

Dusta demi dusta kian terungkap dalam peradilan kasus korupsi dana nonbujeter Bulog. Kenapa jaksa dan hakim menutup mata bila dusta itu ke alamat Golkar?

6 Mei 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEPIAWAIAN Akbar Tandjung sebagai politisi beken kini diuji berat di jalan hukum. Sebab, gerak Ketua Golkar yang juga Ketua DPR itu kian diimpit oleh rentetan dusta yang terus terbongkar. Sebelumnya, Akbar sebagai terdakwa utama kasus korupsi dana nonbujeter Bulog sebesar Rp 40 miliar dihantam oleh pengungkapan pertemuan di Hotel Gran Mahakam, Jakarta Selatan. Selasa pekan lalu, giliran Ketua Yayasan Raudatul Jannah, Dadang Sukandar, yang mengaku berbohong tentang penyaluran sembilan bahan pokok (sembako) untuk rakyat miskin.

Dulu, kepada jaksa penyidik, Dadang menyatakan bahwa ia selalu memantau pelaksanaan penyaluran sembako itu sejak pertengahan Maret 1999 sampai akhir September 1999. "Malah saya kadang-kadang melihat stok pengadaan barang di gudang Cipinang," kata Dadang. Ternyata, sewaktu menjadi saksi di persidangan terdakwa Rahardi Ramelan, mantan Kepala Bulog, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Dadang mengaku tak mengawasi penyaluran sembako. "Saya memang telah berbohong. Padahal dulu saya hanya mendapat laporan dari Winfried Simatupang," ujar Dadang.

Mungkinkah pengakuan Dadang bisa makin mempertebal kesalahan Akbar di mata hukum (lihat Kesalahan Terdakwa Menurut Dakwaan Jaksa)? Agaknya keterangan Dadang sejalan dengan tindakan Winfried, yang lebih dulu mengembalikan dana Rp 40 miliar itu. Winfried mengaku hanya menyimpan uang tersebut di rumahnya (lihat pula Uang Miliaran kok di Balik Kasur). Artinya, tak ada penyaluran sembako.

Bila pengakuan Dadang dan Winfried dikaitkan dengan dusta di balik pertemuan Gran Mahakam, patut diperkirakan bahwa munculnya "tokoh" bernama Yayasan Raudatul Jannah memang rekaan belaka. Artinya, sebagaimana pula hasil penelusuran TEMPO beberapa waktu lalu, makin menguat dugaan bahwa dana nonbujeter Bulog itu mengalir ke Golkar.

Menghadapi rentetan dusta yang terungkap itu, Jaksa Fachmi, yang mendakwa Akbar, Dadang, dan Winfried di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat—tapi persidangannya dialihkan ke Arena Pekan Raya Jakarta—mengaku tak menafikannya begitu saja. "Pertemuan Mahakam bisa menjadi petunjuk awal. Itu yang sedang saya buktikan di pengadilan. Kalau kebohongan itu terbukti, Akbar patut diduga bersalah," kata Fachmi. Jaksa ini juga mengaku tak mau menerima saja cerita tentang Yayasan Raudatul Jannah.

Adapun soal aliran dana, kalau bukan ke Raudatul Jannah, lantas ke mana, Jaksa Fachmi pun mengaku sedang me-lacaknya perlahan-lahan. Masalahnya, kata Fachmi, ada saksi yang mengatakan bahwa pencair dana tersebut bernama Suyanto dan Iman. Namun, ketika dilacak, ternyata kartu tanda penduduk kedua orang ini palsu.

Demikian pula sewaktu Winfried mengaku bahwa ia menerima dana dari Dadi Suryadi, orang Raudatul Jannah. Keterangan ini pun sulit dikonfirmasikan lantaran Dadi sudah meningal. "Kasus ini memang jahat. Orang miskin dan sudah meninggal (maksudnya Dadi) dibawa-bawa, dieksploitasi sedemikian rupa," kata Fachmi.

Begitu jua, bagi Jaksa Fachmi, ada-tidaknya aliran dana ke Raudatul Jannah tetap tak akan berpengaruh terhadap kesalahan Akbar. "Ke sembako atau enggak, Akbar terbukti menerima dana itu untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain," ujarnya. Sebagai tambahan, dana yang digunakan itu adalah uang negara. Jadi, biarpun hanya bunganya yang digunakan, kata Fachmi, Akbar tetap kena.

Namun, pengacara Akbar, Amir Syamsuddin, menepis tudingan jaksa. Menurut Amir, kliennya dengan polos menuruti tugas dari Presiden B.J. Habibie untuk melaksanakan program jaringan pengaman sosial lewat pembagian sembako. Karena tak punya sumber daya manusia dan perangkatnya, Akbar simpel saja menunjuk sebuah yayasan (Raudatul Jannah) sebagai pelaksananya. "Nah, yayasan itulah yang menyalahgunakan kepercayaan Akbar. Jadi, Akbar tak bisa disalahkan," ujar Amir.

Amir juga menganggap pertemuan Gran Mahakam tak punya arti dan akibat hukum terhadap posisi Akbar. Sebab, pertemuan itu sudah tak relevan lagi. Pertemuan itu, kata Amir, maunya mengatur jalannya aliran dana Bulog supaya tak usah melewati Akbar. Jadi, dari Ahmad Ruskandar di Bulog langsung ke yayasan, tanpa melalui Akbar. "Tapi Rahardi kan enggak mau. Jadi, ya sudah, lewat Akbar terus ke yayasan. Dan itu juga sudah diakui Akbar dalam sidang," ujar Amir.

Sementara itu, pengacara Rahardi, Trimoelja D. Soerjadi, juga berpendapat bahwa kliennya tak bisa disalahkan. Alasannya, antara lain, penyerahan dana Rp 40 miliar ke Akbar, Rp 10 miliar ke Jenderal Wiranto, dan Rp 12,9 miliar untuk kepentingan umum sudah sesuai dengan perintah Presiden Habibie. Lagi pula, berdasarkan praktek kebiasaan (konvensi) selama 20 tahun lebih, Kepala Bulog berwenang mengelola dana nonbujeter Bulog. "Kalau negara tidak dirugikan dan kepentingan umum terlayani, walaupun katakanlah pengelolaan dana nonbujeter itu bersifat melanggar ketentuan administrasi, sifat melawan hukum ataupun menyalahgunakan wewenangnya menjadi gugur," ujar Trimoelja.

Selain itu, kata Trimoelja, dengan terungkapnya pertemuan Gran Mahakam, mestinya posisi hukum Rahardi berubah drastis. Sebab, pertemuan itu terbukti merupakan suatu kolusi untuk memaksa Rahardi mengikuti skenario aliran dana ke Yayasan Raudatul Jannah. Karena itu, Trimoelja berharap agar jaksa dan hakim mau membuktikan kolusi tersebut. Kalau tidak, peradilan kasus korupsi dana nonbujeter Bulog hanya berkutat di seputar kebenaran parsial, tidak utuh, kalau tak bisa dikatakan cenderung menjadi peradilan sesat.

Bagaimana, Pak Hakim dan Pak Jaksa? Jaksa Fachmi mengakui kemungkinan menelusuri aliran dana tersebut, yang bisa jadi mengarah ke Golkar. Nantinya, tak mustahil, "Akbar tetap kena, mungkin juga Golkarnya. Tapi yang ini saya tidak ikutan," kata Fachmi. Menurut dia, diperlukan tuntutan baru terhadap Golkar kalau terbukti memang dana tersebut mengalir ke partai berlambang pohon beringin itu.

Ahmad Taufik, Agus Hidayat, Wahyu Dhyatmika, Diah A.C. (TNR)


Kesalahan Terdakwa Menurut Dakwaan Jaksa

Rahardi Ramelan: dalam kasus korupsi dana nonbujeter Bulog sekitar Rp 55 miliar, termasuk Rp 40 miliar yang disebutkan ke Raudatul Jannah.

Unsur melawan hukum atau menyalahgunakan wewenang:

  • Tidak membukukan dana tersebut dalam neraca Bulog.
  • Menggunakan dana bukan untuk kepentingan Bulog.

    Akbar Tandjung: dalam kasus korupsi dana nonbujeter Bulog senilai Rp 40 miliar.

    Unsur melawan hukum atau menyalahgunakan wewenang:

    • Tidak memberikan masukan kepada Presiden B.J. Habibie bahwa pengelolaan dana tersebut tanpa melalui pembukuan neraca Bulog adalah hal yang melanggar aturan.
    • Menyetujui pendapat Rahardi tentang penggunaan dana untuk penyaluran sembako, padahal melanggar aturan tentang penggunaan dana Bulog yang harus untuk kepentingan Bulog.
    • Penggunaan dana tersebut untuk Dadang Sukandar tanpa berkoordinasi dengan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat dan Pengentasan Kemiskinan Haryono Suyono serta Menteri Perindustrian dan Perdagangan/Kepala Bulog Rahardi.
    • Penunjukan Dadang sebagai penerima dana dan Winfried selaku penyalur sembako tanpa melalui tender atau lelang umum.
    • Penyerahan uang kepada Dadang tanpa berita acara serah terima, tanda terima, dan perjanjian kerja.

    Catatan:

    • Kenyataan dana tersebut tak digunakan untuk pembagian sembako bagi masyarakat miskin bisa menjadi hal yang memberatkan terdakwa.
    • Pengembalian uang Rp 40 miliar oleh Winfried bisa menjadi hal yang meringankan terdakwa.
    • Bila terbukti dana tersebut bukan diserahkan ke Yayasan Raudatul Jannah, melainkan ke Golkar, hal ini bisa pula memberatkan terdakwa. Selain itu, Golkar bisa terkena sanksi dibubarkan atau tak boleh mengikuti Pemilu 2004.
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus