Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DENTAMAN musik disko merobek suasana malam Makedonia. Seketika puluhan ABG alias anak baru gede terentak dan langsung turun melantai. Para gadis rata-rata mengenakan tank top ataupun kaus ketat, sementara yang pria berdandan ala boys band. Semua riuh dalam pesta ulang tahun Dime. Toh, Beni memilih mengobrol di pojok sambil celingukan ke kanan dan kiri. Dia sangat takut terpergok orang tuanya, yang mati-matian melarangnya hadir di pesta ulang tahun itu.
Hanya beberapa saat, ayah Beni merangsek masuk dan mencari anaknya untuk mencerabutnya dari keriaan itu. Dia sontak kaget. Kecurigaannya bahwa anak-anak Makedonia mengundang Beni, yang beretnis Albania, ke pesta untuk dijadikan bahan tertawaan pupus sudah. Putranya malah tenggelam dalam keakraban. Tak sedikit pun terpancar permusuhan di antara mereka yang berbeda etnis, meski di luar sana konflik masih membahana dan menimbulkan rasa saling curiga. Sang ayah tak jadi marah, malah ikut berpesta. Happy ending.
Begitulah cuplikan serial televisi Nashee Maalo berjudul Dime's Party, salah satu film yang diputar di Teater Utan Kayu, Jakarta, pekan lalu. Dibuat oleh Common Ground Indonesia, lembaga nirlaba yang berpusat di Brussel dan didirikan pada 1982, ia mendedikasikan diri pada penyelesaian konflik. Inilah salah satu cara lembaga ini menggunakan media film sebagai sarana, di samping lewat jalur diplomasi dan pendidikan.
Yang menjadi pertanyaan: film macam apakah ini? Dokumenter? Propaganda? Hiburan happy-ending? Film ini bisa dikategorikan sebagai sebuah film propaganda dalam "arti baik". Film-film buatan CGI ini, bagaimanapun, tergolong film propaganda karena dibuat untuk mencapai tujuan politik tertentu: yakni perdamaian. Yang membedakan propaganda buruk dan baik adalah seberapa jauh para sineas memanipulasi fakta untuk mencapai tujuan politik itu.
Gerry Van Klinken dari lembaga CGI percaya bahwa film adalah salah satu media paling efektif untuk menyampaikan pesan-pesan politik, yaitu perdamaian. Joseph Goebbels, Menteri Propaganda Hitler, berpendapat serupa sejak puluhan tahun silam. Sinema tak hanya punya fungsi hiburan, tapi juga bisa menggerakkan massa. Bedanya, film produk CGI ini mencoba menggerakkan pemikiran tentang bagaimana perdamaian bisa terwujud, sementara film-film di masa Hitler—melalui manipulasi fakta—justru memutarbalikkan si penjahat menjadi pahlawan kebajikan.
Daya sihir sebuah film memang luar biasa. Budi Irawanto, penulis buku Film, Ideologi dan Militer, menyatakan bahwa, ditilik dari pengertian paling longgar, propaganda kerap dimaknai sebagai informasi—baik benar maupun palsu—yang mengabdi pada tujuan tertentu. Namun, dalam pengertian yang umum, film propaganda cenderung berkonotasi negatif. Bisa jadi pendapat itu berkembang karena penonton Indonesia selama masa Orde Baru kenyang di-cekoki aneka film propaganda pro-Soeharto.
Tengoklah film Janur Kuning, Serangan Fajar, hingga Pengkhianatan G30S-PKI. Melalui ketiga film itu, Soeharto mencelat sebagai sosok juru selamat bangsa dalam segala kesulitan, mulai dari ancaman Jepang, Belanda, sampai ke "hantu" komunis di dalam negeri.
Tentu saja mantan presiden Indonesia itu bukan pelopor dalam mencekoki pikiran rakyat lewat film. Hitler telah lebih dulu melakukan propaganda film dengan sangat baik berpuluh tahun silam. Melalui sutradara terbaiknya, Hitler menghasilkan sinema yang membawa pesan bahwa dia dan NAZI adalah sosok terbaik dalam segala hal. Tengoklah Triumph of The Will (Leni Reinfenstahl, 1932) dan Hitler Youth Quex (Hans Steinhoff, 1933), yang dinilai sukses dari sisi hiburan ataupun sebagai alat propaganda. Sayang, tujuannya melenceng.
Menjadi "enteng" memang sebuah persyaratan agar film-film ini ditonton orang banyak, seolah ini adalah film hiburan. "Film hiburan sering dianggap sepele, padahal dia justru ditonton lebih banyak orang ketimbang acara politik," kata Garin Nugroho, sutradara dan pengamat perfilman. Kelemahan film propaganda yang buruk dan berbeban misi politik berat, menurut Garin, sering lalai memanfaatkan televisi sebagai media hiburan bagi rakyat kebanyakan.
Garin menunjuk pesan-pesan pemilu yang dibikinnya di awal masa reformasi, yang juga merupakan suatu propaganda. Propaganda itu bukan untuk memilih partai politik tertentu, melainkan untuk mengajak orang supaya peduli pada proses demokratisasi melalui pemilihan umum yang—untuk pertama kalinya sejak puluhan tahun—bebas dari ancaman atau intimidasi. Garin dan kawan-kawannya menggarap film-film itu (lebih dikenal dengan istilah "film layanan masyarakat") dengan visualisasi yang menyenangkan mata dan telinga. Tentu tak mudah kita melupakan wanita yang berkedip genit sambil berucap "Inga, inga, badaftar rame-rame" dalam iklan pemilu itu, bukan?
Andari Karina Anom
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo