Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Salah pasang pasal

Undang-undang tentang lingkungan hidup dicoba dipengadilan terhadap 18 orang nelayan bali yang berburu penyu, tidak berhasil. jaksa salah menerapkan undang-undang tersebut. (hk)

23 Juli 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETELAH lima hari berlayar, 18 orang nelayan dari Pantai Tanung Benoa, Kabupaten Badung, di Bali, sampai di perairan sebelah selatan Sukabumi, di Jawa Barat. Di tempat itu mereka menemukan buruannya: penyu hijau. Selama dua hari mereka berpesta pora menyelam sambil menombaki penyu yang memang dikembangbiakkan di situ. Hasilnya, 59 ekor penyu terkumpul di dua kapal motor Sri Djati dan Sri Sukadana, tak keburu mereka nikmati. Polisi tiba-tiba menjaring nelayan-nelayan dari Bali itu. Setelah lebih dari sebulan ditahan -- sejak 18 Mei -- akhir Juni lalu ke-18 nelayan itu dibawa ke pengadilan. Jaksa Hasbul Sampara menuduh nelayan pemburu penyu itu telah melanggar undang-undang terbaru: Undang-undang tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. "Para terdakwa telah merusak lingkungan hidup," tuduh Hasbul, yang mendapat kehormatan untuk pertama kalinya menggunakan undang-undang itu di pengadilan. Pasal 22 dari UU No.4/1982 itu mencantumkan ancaman hukuman 10 tahun penjara selain denda Rp 100 juta bagi siapa saja yang merusak atau mencemarkan lingkungan hidup. Selain menggunakan "senjata baru", Hasbul juga menyiapkan tuduhan pengganti, yaitu Peraturan Daerah Sukabumi tentang pelarangan penangkapan penyu tanpa izin (Perda No.5/1974). Menurut Kepala Hubungan Masyarakat Kabupaten Sukabumi Didin Syamsudin, di daerah itu hanya bisa diberikan izin untuk mengambil telur penyu tapi bukan induknya. "Penyu itu harus dilestarikan," ujar Didin. Di daerah itu memang ada kawasan lindung untuk penyu dan bahkan peternakan penyu (TEMPO Lingkungan, 8 Januari). Tapi para nelayan yang tertangkap di luar kawasan lindung merasa tidak bersalah. "Saya tidak tahu kalau dilarang," ujar Nyoman Ronta, juragan kedua kapal pemburu penyu itu di pengadilan. Ia merasa bahwa menangkap penyu hijau, seperti yang dilakukannya di Sukabumi itu, sudah biasa dilakukannya di pulau-pulau lain -- seperti, di Bali atau Sumbawa. Alasan Nyoman tentu saja tidak bisa diterima jaksa. Juragan pemburu penyu itu dituntut Jaksa Hasbul agar dijatuhi hukuman 40 hari -- ternyata hanya agar klop dengan masa tahanan. Tapi majelis hakim yang diketuai Munziri Syarkawi tidak sependapat. Hakim tidak melihat para nelayan itu melanggar undang-undang lingkungan hidup. Alasannya, "barang bukti berupa penyu tidak diajukan di persidangan," kata Hakim Munziri. Bukti yang diajukan jaksa hanyalah tombak dan kaca mata untuk menyelam. Padahal, untuk membuktikan sesuatu perbuatan itu merusak lingkungan hidup, menurut Munziri, diperlukan penyu hasil tangkapan para nelayan itu. Jika bukti itu ada, baru bisa didatangkan saksi ahli untuk menentukan: apakah jenis penyu yang ditangkap nelayan itu terlarang atau tidak. Soal bukti itu menjadi lebih penting, karena di Sukabumi ada tiga jenis penyu yang berkembang biak, yaitu penyu hijau (Chelonia mydas), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), dan penyu belimbing (Dhermochelys coriacea). Dari ketiga jenis penyu itu, kata saksi Harun Rasyidi, kepala Resort Perlindungan dan Pengawetan Alam (PPA) Kecamatan Surade, hanya penyu sisik dan belimbing yang dilindungi. Penyu hijau, tidak. Perihal penyu, menurut Komandan Sektor Polisi Surade, Zainal Mait, memang terpaksa dilepaskan kembali ke laut. "Kami khawatir penyu itu mati," kata Zainal di muka hakim. Sebab kepolisian, menurut Zainal, tidak mempunyai sarana untuk menyimpan barang bukti hidup semacam penyu itu. "Pelepasan itu sudah berdasarkan kesepakatan Tripida," tambah Zainal lagi. Namun kesepakatan itu ternyata mengecewakan hakim. "Seharusnya barang bukti itu tidak dihilangkan," ujar Munziri lagi. Majelis akhirnya menyatakan tidak ada pelanggaran terhadap pasal-pasal undang-undang lingkungan hidup. Paling-paling yang terlanggar Peraturan Daerah Sukabumi. Maka para terdakwa dijatuhi hukuman penjara 36 hari potong tahanan. Tanpa banyak protes -- walau masa penahanannya kelebihan beberapa hari -- para nelayan itu pulang kampung awal Juli lalu. Sikap pasrah itu juga ditunjukkan Made Tampa, ibu salah seorang terhukum, Made Topal, yang sampai akhir bulan lalu menunggu anaknya pulang dengan selamat. Orangtua itu mengaku diharuskan membayar Rp 3,5 juta setelah anaknya divonis hakim. "Syukur saya bisa pinjam uang dari keluarga," ujar Made Tampa. Ia mengaku telah menghabiskan uang Rp 5,5 juta selama mengurus anaknya yang diadili itu. Ternyata pengeluaran Made Tampa itu hanya untuk membayar sebuah kekeliruan. Kesalahan pihak kejaksaan bukan hanya soal tidak diajukannya barang bukti. "Pasal 22 dalam undang-undang lingkungan hidup itu sebenarnya sasarannya bukan untuk pelanggaran seperti kasus Sukabumi itu," ujar Staf Sekretaris Menteri KPLH, Moestadji, S.H. Pasal itu, menurut Mustadji, dimaksudkan untuk mengerem akibat jelek pembangunan terhadap lingkungan. Sedangkan untuk kasus Sukabumi itu, menurut Moestadji, ada ordonansi perlindungan satwa liar yang dikeluarkan pada 1931 dan masih berlaku sampai sekarang. Ordonansi itu, katanya, sudah sering digunakan jaksa untuk menuntut. Misalnya, dalam kasus penembakan gajah di Lampung. Tentu saja kesalahan jaksa ini bukan urusan nelayan-nelayan Bali itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus