SETELAH lima hari berlayar, 18 orang nelayan dari Pantai Tanung
Benoa, Kabupaten Badung, di Bali, sampai di perairan sebelah
selatan Sukabumi, di Jawa Barat. Di tempat itu mereka menemukan
buruannya: penyu hijau. Selama dua hari mereka berpesta pora
menyelam sambil menombaki penyu yang memang dikembangbiakkan di
situ. Hasilnya, 59 ekor penyu terkumpul di dua kapal motor Sri
Djati dan Sri Sukadana, tak keburu mereka nikmati. Polisi
tiba-tiba menjaring nelayan-nelayan dari Bali itu.
Setelah lebih dari sebulan ditahan -- sejak 18 Mei -- akhir Juni
lalu ke-18 nelayan itu dibawa ke pengadilan. Jaksa Hasbul
Sampara menuduh nelayan pemburu penyu itu telah melanggar
undang-undang terbaru: Undang-undang tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup. "Para terdakwa telah merusak lingkungan
hidup," tuduh Hasbul, yang mendapat kehormatan untuk pertama
kalinya menggunakan undang-undang itu di pengadilan. Pasal 22
dari UU No.4/1982 itu mencantumkan ancaman hukuman 10 tahun
penjara selain denda Rp 100 juta bagi siapa saja yang merusak
atau mencemarkan lingkungan hidup.
Selain menggunakan "senjata baru", Hasbul juga menyiapkan
tuduhan pengganti, yaitu Peraturan Daerah Sukabumi tentang
pelarangan penangkapan penyu tanpa izin (Perda No.5/1974).
Menurut Kepala Hubungan Masyarakat Kabupaten Sukabumi Didin
Syamsudin, di daerah itu hanya bisa diberikan izin untuk
mengambil telur penyu tapi bukan induknya. "Penyu itu harus
dilestarikan," ujar Didin. Di daerah itu memang ada kawasan
lindung untuk penyu dan bahkan peternakan penyu (TEMPO
Lingkungan, 8 Januari).
Tapi para nelayan yang tertangkap di luar kawasan lindung merasa
tidak bersalah. "Saya tidak tahu kalau dilarang," ujar Nyoman
Ronta, juragan kedua kapal pemburu penyu itu di pengadilan. Ia
merasa bahwa menangkap penyu hijau, seperti yang dilakukannya di
Sukabumi itu, sudah biasa dilakukannya di pulau-pulau lain --
seperti, di Bali atau Sumbawa.
Alasan Nyoman tentu saja tidak bisa diterima jaksa. Juragan
pemburu penyu itu dituntut Jaksa Hasbul agar dijatuhi hukuman
40 hari -- ternyata hanya agar klop dengan masa tahanan.
Tapi majelis hakim yang diketuai Munziri Syarkawi tidak
sependapat. Hakim tidak melihat para nelayan itu melanggar
undang-undang lingkungan hidup. Alasannya, "barang bukti berupa
penyu tidak diajukan di persidangan," kata Hakim Munziri. Bukti
yang diajukan jaksa hanyalah tombak dan kaca mata untuk
menyelam. Padahal, untuk membuktikan sesuatu perbuatan itu
merusak lingkungan hidup, menurut Munziri, diperlukan penyu
hasil tangkapan para nelayan itu. Jika bukti itu ada, baru bisa
didatangkan saksi ahli untuk menentukan: apakah jenis penyu yang
ditangkap nelayan itu terlarang atau tidak.
Soal bukti itu menjadi lebih penting, karena di Sukabumi ada
tiga jenis penyu yang berkembang biak, yaitu penyu hijau
(Chelonia mydas), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), dan
penyu belimbing (Dhermochelys coriacea). Dari ketiga jenis penyu
itu, kata saksi Harun Rasyidi, kepala Resort Perlindungan dan
Pengawetan Alam (PPA) Kecamatan Surade, hanya penyu sisik dan
belimbing yang dilindungi. Penyu hijau, tidak.
Perihal penyu, menurut Komandan Sektor Polisi Surade, Zainal
Mait, memang terpaksa dilepaskan kembali ke laut. "Kami khawatir
penyu itu mati," kata Zainal di muka hakim. Sebab kepolisian,
menurut Zainal, tidak mempunyai sarana untuk menyimpan barang
bukti hidup semacam penyu itu. "Pelepasan itu sudah berdasarkan
kesepakatan Tripida," tambah Zainal lagi.
Namun kesepakatan itu ternyata mengecewakan hakim. "Seharusnya
barang bukti itu tidak dihilangkan," ujar Munziri lagi. Majelis
akhirnya menyatakan tidak ada pelanggaran terhadap pasal-pasal
undang-undang lingkungan hidup. Paling-paling yang terlanggar
Peraturan Daerah Sukabumi. Maka para terdakwa dijatuhi hukuman
penjara 36 hari potong tahanan. Tanpa banyak protes -- walau
masa penahanannya kelebihan beberapa hari -- para nelayan itu
pulang kampung awal Juli lalu.
Sikap pasrah itu juga ditunjukkan Made Tampa, ibu salah seorang
terhukum, Made Topal, yang sampai akhir bulan lalu menunggu
anaknya pulang dengan selamat. Orangtua itu mengaku diharuskan
membayar Rp 3,5 juta setelah anaknya divonis hakim. "Syukur saya
bisa pinjam uang dari keluarga," ujar Made Tampa. Ia mengaku
telah menghabiskan uang Rp 5,5 juta selama mengurus anaknya yang
diadili itu.
Ternyata pengeluaran Made Tampa itu hanya untuk membayar sebuah
kekeliruan. Kesalahan pihak kejaksaan bukan hanya soal tidak
diajukannya barang bukti. "Pasal 22 dalam undang-undang
lingkungan hidup itu sebenarnya sasarannya bukan untuk
pelanggaran seperti kasus Sukabumi itu," ujar Staf Sekretaris
Menteri KPLH, Moestadji, S.H. Pasal itu, menurut Mustadji,
dimaksudkan untuk mengerem akibat jelek pembangunan terhadap
lingkungan.
Sedangkan untuk kasus Sukabumi itu, menurut Moestadji, ada
ordonansi perlindungan satwa liar yang dikeluarkan pada 1931 dan
masih berlaku sampai sekarang. Ordonansi itu, katanya, sudah
sering digunakan jaksa untuk menuntut. Misalnya, dalam kasus
penembakan gajah di Lampung. Tentu saja kesalahan jaksa ini
bukan urusan nelayan-nelayan Bali itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini