Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Menyala, bob. kita orang malu... menyala, bob. kita orang malu ...

Bob geldof, koordinator konser amal live aid menyampaikan protes ke indonesia sehubungan dengan pembajakan kaset live aid. indonesia tidak ikut konvensi bern. apni mencoba meluruskan keadaan. (ms)

21 Desember 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG penyanyi asing tak begitu bagus, dan sebuah lagu yang tadinya cuma dikenal lewat anak-anak muda, kini jadi buah bibir di Indonesia. Bob Geldof, penyanyi Inggris yang beberapa waktu yang lalu menyelenggarakan konser besar amal dengan deretan superstar, meneriakkan protes keras ke alamat Indonesia. Kumpulan konser itu, yang direkam dengan nama Live Aid, dibajak di Indonesia dan diedarkan ke pelbagai penjuru. Pekan lalu Menteri Luar Negeri Mochtar Kusumaatmadja sampai ikut bicara, dan pekan ini sejumlah pengusaha rekaman dipanggil Menteri Kehakiman Ismail Saleh. Dan banyak orang bilang, "Malu, ah." Seorang pencipta lagu di Jakarta, James F. Sundah, bahkan menyebut protes Bob Geldof sebagai "musibah nasional". Ia sampai-sampai merasa perlu menyisihkan hasil keuntungan kaset yang digarapnya, Suara Persaudaraan, - yang meniru gaya Live Aid - untuk usaha Geldof dalam menghimpun dana besar bagi wilayah Afrika yang lapar. Geldof, penyanyi Inggris yang mulanya kurang terkenal, belakangan memang muncul sebagai idola jenis baru yang khas. Ia menampilkan angin baru bagi dunia musik pop muda-mudi yang ingar-bingar, mewah, dan tak peduli. Dengan gagasan sederhana kita manusia harus membantu sesama manusia - ia membelokkan dunia riuh-rendah yang acuh tak acuh itu ke sikap dermawan yang gemuruh gemerlap. Berkat Bob Geldof, muncul semacam "mode" rasa kemanusiaan yang punya dampak mengejutkan: pengumpulan dana besar-besaran yang tidak main-main jumlahnya. Setelah Geldof mencetuskan gagasannya lewat album Band Aid yang terkenal lewat lagunya Feed the World, bintang-bintang Amerika Serikat mengikutinya dengan membuat album United Support Artists (USA) for Africa yang meledak lewat lagu We Are the World - semuanya sepakat tergugah melihat acara teve perihal kelaparan yang mengamuk di Etiopia. Dibayangi suksesnya meluaskan gagasan, Geldof kemudian berhasil pula mengorganisasikan dua konser terkenal: Live Aid. Kali ini tak ada lagu andalan baru yang dilempar. Konser itu, yang berlangsung di tengah lautan manusia, adalah semacam parade lagu-lagu yang pernah top, dibawakan langsung oleh para penyanyinya sendiri (lihat: Sinterklas ini Memang Kesal). Sebelumnya semua lagu itu sudah beredar tentu secara terpecah - di berbagai album. Karena itu, Bob Geldof, yang mengumpulkan dana melalui karcis konser, tak segera memindahkan lagu-lagu dalam konser ke sebuah album khusus. Toh sudah ada. Maka, bisa dimaklumi bila ia terkejut ketika mendengar rekaman kaset Live Aid beredar. Sebuah pembajakan, tentunya. Tapi bagi Geldof, itu barangkali bukan sekadar pembajakan, melainkan penggergajian sebuah idealisme baru yang lagi berkobar-kobar. James F. Sundah, yang mengagumi Bob Geldof yang terbawa pula sikap dermawan baru kaum muda, sedih karena pada rekaman bajakan yang dicerca Geldof tercantum: made in Indonesia. Sejumlah pengusaha rekaman di Indonesia, yang tak peka melihat "lingkaran suci" kaum muda, rupanya dengan ceroboh membayangkan keuntungan - yang mungkin rutin saja. Melalui jalur pembajakan kaset secara rutin itu, seperti mereka akui, konser Live Aid direkam melalui televisi. Hasilnya tentu saja buruk: tidak stereofonik, dan penuh gangguan. NAMUN, sikap tak berhati-hati tak cuma sampai situ. Dengan rajin, seperti kata seorang pengusaha rekaman yang tak mau disebutkan namanya, mereka mengumpulkan lagu-lagu konser Live Aid yang tersebar di berbagai album dan merekamnya dalam sebuah album. Sudah tentu album baru yang tetap menggunakan nama Live Aid itu memiliki kualitas audio yang prima. Penggergajian pun lengkap, sebab sebelumnya album Band Aid dan USA for Africa, sudah pula dibajak. Dan teriak protes Bob Geldof tak bisa ditanggapi dengan kuping tersumpal. Apa pun alasannya, rangkaian pembajakan itu - tak bisa lain - terasa menyinggung rasa kemanusiaan. Ada batas-batas etika yang terlanggar, sengaja ataupun tidak. Pernyataan Menteri Luar Negeri Mochtar Kusumaatmadja mempertegas soal etis itu. Melalui kantor berita Antara, ia mengutarakan, pembajakan Live Aid mengeksploitasi penderitaan di Etiopia. Lebih jauh, Menteri - yang ahli hukum terkemuka juga - menyebutkannya sebagai penipuan, karena di salah satu kaset bajakan dinyatakan bahwa hasil keuntungan penjualan kaset itu akan disumbangkan ke Etiopia. Tidak aneh bila protes Geldof meluas dengan cepat. Dan dengan cepat pula merambat ke berbagai sektor lain: industri kaset di Inggris maupun di Indonesia. Yang bicara kini bukan cuma Bob Geldof yang dermawan itu, tapi juga produsen industri rekaman Inggris yang tentunya punya kepentingan lain lagi. Sudah sejak dulu di Indonesia berkembang perusahaan rekaman yang membajak rekaman-rekaman dari berbagai negara. Namun, secara hukum tak bisa diambil tindakan karena Indonesia tidak ikut menandatangani perjanjian hak cipta internasional. David Laing, juru bicara Federasi Produsen Piringan Hitam dan Video Inggris (bagian dari federasi internasional), mengakui Indonesia tidak ikut dalam Konvensi Bern karena itu pembajakan model apa pun tak bisa dikatakan melanggar hukum. Namun, tindakan itu tetap dianggapnya mencuri. Kini, suara Laing lebih keras. Kepada koresponden TEMPO di London ia mengutarakan angka-angka. Kaset bajakan Live Aid yang beredar di Asia dan Timur Tengah katanya, mencapai 1 juta buah. "Ini bisnis besar dengan keuntungan jutaan dolar," katanya. Sebagian besar dari kaset bajakan itu, kata Laing lagi, produksi Indonesia. Tapi ia mengakui, ada sejumlah negara yang juga sering memproduksi kaset bajakan. Menurut Laing, Singapura, Turki, Malaysia, dan Portugal. Bisnis pembajakan kaset dan rekaman lainnya terang bukan hal baru bagi David Laing. Di tahun 1980 pernah diselenggarakan pertemuan internasional di Jenewa perihal pembajakan ini. Federasi Internasional Produsen Piringan Hitam dan Video adalah salah satu pesertanya. Delegasi Indonesia juga hadir di sana. Dari data statistik terlihat bahwa pembajakan kaset dan rekaman lainnya terjadi hampir di seluruh dunia. Keseluruhan nilainya berjumlah US$ 1,1 milyar, dan jumlahnya 315 juta unit. Nilai uang yang beredar dalam bisnis ini tercatat paling besar di Amerika Serikat, yaitu US$ 560 juta, tapi pasaran terbesar bagi kaset dan rekaman bajakan adalah Asia dan Australia, yaitu 120 juta unit per tahun. Tidak aneh bila pasaran ini diincar banyak produsen dari segala penjuru dunia. Di Indonesia, industri kaset bajakan muncul bersamaan dengan industri kaset. Menurut J. Soerjoko, produser Aquarius Record, yang 16 tahun bergelimang dalam bisnis rekaman, industri kaset itu dimulai sekitar 1967. Dimulai memang dengan kaset bajakan. Namun, beberapa tahun kemudian, industri kaset juga berkembang ke rekaman lagu-lagu Indonesia sendiri. Industri ini berkembang pesat karena harga kaset relatif murah dan terjangkau banyak pembeli. Naiknya dengan cepat omset penjualan kaset membuat banyak pengusaha semakin berani menanamkan modal dalam peralatan rekaman. Kini, misalnya perusahaan Atlantic Record memiliki duplicator, semacam alat reproduksi suara, seharga Rp 1 milyar. Sementara itu, milik Aquarius Record bernilai sekitar Rp 700 juta. Perusahaan rekaman yang memproduksi lagu-lagu Indonesia tak kalah canggih. Mereka umumnya memiliki mixer 32 track. Alat ini bisa digunakan mencampurkan 32 rekaman terpisah. Di samping itu, masih pula terdapat echo, equalizer (pemecah frekuensi) yang sekali lagi memperhalus suara sebelum masuk ke pita rekaman. Persaingan ketat akhirnya terjadi antara kaset bajakan yang berisi lagu Barat dan kaset-kaset lagu Indonesia. Dan kaset lagu Barat kalah. Perbandingannya, antara kaset Barat dan Indonesia, menurut perkiraan Soerjoko, 1 berbanding 10. Dalam satu bulan, produksi 26 perusahaan rekaman kaset dan lagu Barat sekitar 1,2 juta unit. Itu berarti, produksi kaset lagu Indonesia 12 juta unit. Dan itu berarti, ada segi lain dari pembajakan itu: dari sana tumbuh industri rekaman yang mengembangkan bisnis musik Indonesia. Departemen Perindustrian membenarkan, perekam lagu-lagu Indonesia lebih banyak daripada perekam lagu Barat. Ir. J.F. Wattimena, seorang pejabat di departemen itu, memperkirakan perbandingannya 70% merekam lagu-lagu Indonesia, sisanya merekam lagu Barat. Namun, dalam memberikan izin produksi, Wattimena mengutarakan jenis lagu yang direkam tidak dibedakan. "Sebab, yang dilihat, industrinya," kata pejabat itu, "dan yang diteliti misalnya peralatannya, menggunakan high speed duplicating, atau apa." Ketika ditanya apakah faktor kaset bajakan tidak dipertimbangkan, Wattimena menunjuk Indonesia tidak terikat Konvensi Bern. "Memang sudah lama kita membajak, tapi yang dibajak itu 'kan sudah kaya," ujar pejabat itu. Namun, ia tetap tidak membenarkan perihal pembajakan Live Aid, Band Aid, dan USA for Africa. "Dari segi moral kurang baik," katanya lagi. MUNGKIN karena itu, menurut Wattimena, akan disusun peraturan baru bagi ekspor kaset produksi Indonesia. Betapapun nama Indonesia di luar negeri harus dijaga pula. Yang harus dipikirkan, menurut pejabat itu, bagaimana kita tidak kehilangan nilai ekspor kaset yang mencapai US$ 25 juta per tahun. Dan itu penting untuk diingat memang, sebelum bisnis musik Indonesia dicekik berbagai aturan hingga ruwet hasilnya. Tapi ekspor kaset inilah yang mengundang protes Geldof, dan belakangan David Laing. Menurut seorang produser yang tak mau disebutkan namanya, ekspor kaset berlagu Barat itu dimulai sekitar 1978, ketika produksinya mulai terdesak kaset lagu-lagu Indonesia. Menurut produsen itu, ekspor di tujukan ke Timur Tengah, Brunei, dan Papua Nugini. Apakah juga ke Eropa, seperti kata Geldof dan Laing? "Sama sekali tidak," ujar produser itu, "siapa yang berani mengekspor ke sana, negara-negara yang sangat ketat mengawasi barang bajakan." Agaknya ada beberapa hal dalam uraian Geldof dan Laing yang belum tentu benar. Karena itu, APNI (Asosiasi Perekam Nasional Indonesia) perhimpunan perekam lagu-lagu Barat, bergerak ke berbagai instansi mencoba meluruskan keadaan. Pekan ini, asosiasi itu akan mengeluarkan pernyataan. Pada intinya, APNI merasa, secara etis memang bersalah, dan menyatakan bersedia menyerahkan keuntungan kaset-kaset Live Aid kepada Bob Geldof. Tak diketahui adakah kantor pajak pemerintah juga mau menyumbang hasil cukai ke sana. Namun, di sisi lain, menurut Pungky B. Purwadi, Ketua APNI, beberapa hal perlu diluruskan. "Setelah kami meneliti inventarisasi kaset Live Aid yang sudah diproduksi, total berjumlah hanya 200.000 buah, terhitung dalam masa edar empat bulan, sebab produksi bulan Desember sudah ditarik," ujarnya. Di samping itu, APNI juga akan menjelaskan, tidak benar sebagian besar kaset Live Aid di Timur Tengah produksi Indonesia. APNI, yang konon mempunyai bukti-bukti, akan mengetengahkannya pada instansi yang berwenang di Indonesia. "Sudah umum diketahui, kaset-kaset kita dibajak lagi oleh Singapura lengkap dengan label buatan Indonesia, kemudian di ekspor ke Timur Tengah, dan kita memang tidak bisa berbuat apa-apa karena sama-sama membajak," ujar seorang produsen anggota APNI. Soal apakah Indonesia harus menghentikan pembajakan, APNI, menurut salah satu anggotanya, tak berani lagi berpendapat. "Kami dalam posisi yang tldak memungkinkan lagi mengajukan usul," ujar anggota yang tak mau di sebutkan namanya. Ada usul atau tidak masuknya Indonesia ke Konvensi Bern akan menjadi masalah rumit. Yang pasti, konsumen akan merasakannya. Menurut daftar pertemuan di Jenewa tentang pembajakan kaset dan rekaman, perbedaan harga antara barang bajakan dan asli sangat jauh. Di tahun 1980 itu, di AS harga kaset bajakan US$ 3, sementara yang asli US$ 8,5. Di Indonesia harga kaset bajakan ketika itu Rp 500, dan harga yang asli, bila ada, mencapai Rp 6.000. Jadi, masuk Konvensi Bern bisa berarti menambah penghasilan Mick Jagger, Duran Duran, atau Queens, dan membebani konsumen kaset Indonesia (dan para turis yang banyak yang datang untuk antara lain beli kaset kita yang murah). Namun, diskusi semacam itu mungkin perlu dikesampingkan dulu. Yang utama kini, bagaimana meluruskan pangkal musibah, yang membuahkan aib itu. "Wah saya malu besar," ujar penyanyi tenar Titiek Puspa, "baik sebagai seniman, orang musik, maupun sebagai bangsa Indonesia." Penyanyi kawakan itu bahkan cemas menghadapi Festival Lagu Rakyat sedunia tahun depan di Malaysia, yang akan diikuti pula oleh Indonesia. "Kita bisa malu dan minder jika kumpul rekan-rekan," ujar Titik lagi. Batas-batas etika memang sudah dilanggar. Dengan kata lain: Kalau membajak, sopan 'dikit, dong. Jim Supangkat Laporan Moebanoe, Suhardjo, Happy Sulistiadi (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus