MENTERI Keuangan Radius Prawiro belakangan ini sering kelihatan muncul di Hotel Wisata International, Jakarta. Dirjen Pajak Salamun A.T. bahkan tak jarang menemaninya hingga larut malam. Kedua pejabat penting itu ternyata, harus "main bola" cukup sengit dengan panitia khusus (pansus) DPR membahas RUU Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan RUU Bea Meterai. Tidak mudah memang bagi pemerintah menggolkan semua materi, terutama dalam RUU PBB, apalagi jika soalnya menyangkut tanah dan bangunan rakyat kecil sampai kalangan atas. Sedianya, menurut jadwal, Sabtu pekan lalu pembahasan semua materi selesai dilakukan. Namun, "Pembahasan ternyata hanya merayap setapak demi setapak, dan tiap fraksi kelihatan berhati-hati meloloskan kalimat demi kalimat dalam RUU itu," kata Rivai Siata, Ketua Pansus DPR. Panitia kerja (panja) RUU PBB cukup menghadapi kesulitan ketika memasuki materi nilai bangunan tidak kena pajak, tarif pajak, nilai jual kena pajak, dan denda terhadap wajib pajak yang lalai. Dalam soal nilai bangunan tidak kena pajak, misalnya, rancangan menghendaki hanya bangunan dengan nilai jual tidak lebih dari Rp 20 ribu per m2 saja, yang tidak dikenai pajak. Artinya, pemilik rumah cicilan BTN murah. Rp 50 ribu per m2, bakal terbabat habis. Para wakil rakyat itu, tentu, tidak menghendaki banyak korban jatuh dari kalangan bawah. Karenanya, wakil tiga fraksi utama mengusulkan batas tidak kena pajak itu dinaikkan Rp 50 ribu per m2. Tapi usul ini sulit disepakati. Belakangan, sesudah panja membentuk lobi kecil tingkat tinggi, usulan itu berubah. Pemerintah maupun panja menyepakati rumusan bangunan yang tidak terkena pajak adalah bangunan dengan nilai sampai Rp 2 juta. Dengan rumusan itu, "Praktis semua pemilik rumah di pedalaman tidak bakal kena pajak," ujar Rivai Siata. Mengenai tarif pajak, yang diusulkan RUU PBB sebesar 0,5%, akhirnya disepakati kedua pihak - meskipun semula ada beberapa wakil fraksi yang mengusulkan tarif itu agar ditetapkan bergerak dari 0,1% sampai 0,5%. Beberapa pengamat bahkan menilai tarif tunggal itu terasa akan mencekik leher, sekalipun kelak dengan berlakunya rancangan tadi, Pajak Kekayaan (PKk) dan Ipeda otomatis akan dihapuskan. Sebab, mereka pasti akan membayar pajak lebih besar karena nilai jual kena pajak (NJKP) ditetapkan bergerak antara 50% dan 100%. Ambil contoh seorang wajib pajak punya obyek pajak dengan nilai jual Rp 20 juta. Lalu NJKP ditetapkan 50% (paling rendah), maka yang bersangkutan harus membayar PBB: 0,5% X [ 50% X (Rp 20 juta - Rp 2juta) ] = Rp 45 ribu. Berat memang kenaikan itu, jika sebelumnya wajib pajak setiap tahun hanya membayar Ipeda Rp 10 ribu. Karena alasan itu, panja PBB berusaha mengubah formula tarif dan NJKP tadi, untuk mengurangi beban wajib pajak. Tapi pemerintah beralasan, tarif tunggal itu untuk menyederhanakan pelaksanaannya kelak. Panja rupanya bisa menerima pandangan itu. Sementara itu, progresivitas rancangan itu sendiri diletakkan pada tinggi-rendahnya persentase NJKP. Pemerintah dan panja akhirnya setuju, menetapkan NJKP itu mulai dari 20% sampai 100%. "Kalau mulai dari 15% seperti usulan F-KP maka penerimaan pemerintah daerah kelak hanya akan naik sedikit," ujar Rivai Siata, Ketua Panja PBB. Dengan rumusan itu, maka orang yang punya obyek pajak dengan nilai Rp 20 juta, hanya membayar: 0,5% X [ 20% X (Rp 20 juta - Rp 2 juta) ] = Rp 18 ribu setahun. Masih pusing? Sabar. Semuanya akan jadi terang jika rencana memplenokan kedua RUU itu jadi dilakukan di DPR Sabtu pekan ini. Dalam membahas rancangan itu, panja berhasil memasukkan usulan agar nilai jual pengenaan pajak diambil berdasarkan harga terendah obyek pajak - bukan harga rata-rata, yang ditetapkan tiap tahun oleh Menteri Keuangan. Jadi, jika di suatu daerah harga tanah bergerak antara Rp 35 ribu dan Rp 50 ribu, maka nilai jual yang dipakai Rp 35 ribu. Prof. H. Rochmat Soemitro, ahli perpajakan di Unpad Bandung, beranggapan, penetapan nilai jual sebaiknya dilakukan dalam jangka tiga tahun sekali. Sebab, harga tanah atau bangunan tidak akan banyak berubah selama setahun, kecuali status/klasifikasi tanah atau bangunan itu berubah. "Tanah yang tadinya merupakan tanah kebun menjadi tanah perindustrian atau menjadi tanah pertokoan misalnya," tulisnya di Kompas. Ternyata, yang diterima adalah penetapan nilai jual setiap tahun. Panja dan pemerintah tidak mau terlalu rumit membeda-bedakan tanah sebagai obyek pajak, apakah tanah perkebunan, rawa, hutan, atau perindustrian - seperti pernah diatur dalam ketentuan yang selama ini berlaku. Hanya saja, dalam RUU PBB 22 pasal itu, disebut obyek yang tidak terkena pajak, seperti pekuburan dan tempat peninggalan bersejarah. Istana Mangkunegaran di Solo seluas 13 ha mungkin akan terbebas dari PBB ini, mengingat selama ini juga dibebaskan dari membayar Ipeda, karena dianggap monumen. Tapi bangunan pribadi milik Mangkunagoro VIII seperti pesanggrahan Sri Katon di Tawangmangu dikenai Ipeda. Tahun 1983 kena Rp 51 ribu. Karena merasa keberatan, untuk 1984 dan 1985, Mangkunagoro belum membayar. Sepucuk surat kemudian dilayangkan kepada Gubernur Ja-Teng. Sampai sekarang ternyata belum dijawab. JADI, Mangkunagoro tidak bisa dianggap lalai. Di dalam rancangan, soal kelalaian yang tidak disengaja pun bisa diancam denda 2% setiap bulan - seperti disepakati pemerintah dan panja. Syukur, sesudah melewati hari-hari meletihkan, Pansus RUU PBB dan Bea Meterai, Senin pekan ini, bisa menyusun sistematika rancangan itu - untuk Bea Meterai bahkan kelihatan tanpa kesulitan. Secara keseluruhan RUU PBB yang semula terdiri 22 pasal berkembang jadi 31 pasal. "Kami puas karena pemerintah mau mendengar aspirasi kami," kata Siata. Mudah-mudahan aspirasi Anda juga. Eddy Herwanto Laporan Toriq Hadad & Kastoyo Ramelan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini