Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Laksana candra menjelang purnama
menyinari alam semesta
Duhai juwita
rasa kasih mesra kini datang meronta jiwa
Sebuah tembang liris meluncur dari bibir Jerinx, pentolan grup musik Superman Is Dead. Dengan iringan gitar dan cello, dia menyanyikan Di Kala Sepi Mendamba. Inilah syair lagu yang pernah ditulis Ni Ketut Kariasih, yang punya panggilan akrab Bu Pasek (kini 79 tahun), salah satu pemimpin Gerwani cabang Bali. Di dalam tahanan, sekitar 1974, dia sering menulis syair untuk mengusir sepi dan rindu. Syair ini lalu diaransemen oleh Amirudin Tjitraprawira (Pak Atjit), mantan Kepala Studio Radio Republik Indonesia Kupang yang juga pernah mendekam sebagai tahanan politik.
Adalah menarik beberapa aktivis dan pemusik Bali berusaha mengajak sejumlah musikus muda menyanyikan syair yang pernah ditulis oleh para eks tapol di penjara-penjara Bali. Mereka meluncurkannya dalam album Prison Songs-Nyanyian yang Dibungkam di Goethehaus, Menteng, Jakarta Pusat, 21 Agustus lalu. Mereka yang terlibat selain Jerinx adalah Dadang S.H. Pranoto, personel grup Navicula/Dialog Dini Hari; Kupit dan Man Angga dari grup Nosstress; lalu ada Guna Warma, Rio Sidik, Bogi Prasetyo, dan Banda Neira. Mereka menyanyikan lagu-lagu itu dengan aransemen dan gaya masing-masing.
Dengarlah saat tembang Si Buyung dinyanyikan Man Angga dari kelompok Nosstress dengan ukulele. Rasanya memilukan, mengiris hati. Ingatan Natar, 72 tahun, yang pernah bergabung dengan Lekra Bali, segera mengembara ke sel penjara Pekambingan, Bali, tempat ia pernah ditahan. "Saya sering nyanyi lagu itu pas malam-malam, sebagai hiburan. Kadang-kadang nyanyi sendiri, tapi sering pula ramai-ramai per blok," ujar Natar kepada Tempo. "Saya jadi ingat lagi langkah-langkah sepatu dan gemerincing kunci penjaga yang akan mengambil tahanan untuk dibon." Matanya yang tak lagi sempurna tiba-tiba berkaca-kaca. "Maaf kalau saya jadi cengeng," ujarnya.
Lagu ini diciptakan oleh Pak Atjit. Ia dikenal sebagai komposer beberapa lagu daerah. Salah satunya yang terkenal adalah Tanduk Madjeng, lagu khas Madura. Natar ingat pertama kali mendengar lagu Buyung itu langsung dari Pak Atjit, yang saat itu satu blok dengannya. Lagu itu, kata dia, populer di kalangan tahanan penjara Pekambingan karena dirasakan pas di hati dan cocok dengan keadaan tahanan. Menurut Natar, lagu itu sesungguhnya diciptakan Pak Atjit untuk buah hatinya yang masih dalam kandungan sang istri, Tjahya Chaerani.
"Ibu saat itu memang sedang mengandung adik bungsu saya saat Ayah diciduk. Lagu itu kerinduan Ayah untuk adik dan kami semua," ujar Dadang Indradjaja, 58 tahun, anak kelima Atjit, kepada Tempo. Saat itu dia masih berusia sekitar delapan tahun. Dadang, yang juga datang ke Goethehaus malam itu, bercerita bahwa ayahnya memang sering menciptakan lagu dengan alat musik yang dikuasainya, gitar, biola, dan lainnya. Lagu ciptaannya sebagian besar bertema keseharian atau lagu daerah. "Ini adik saya, Rina, belajar naik sepeda saja dibuat lagu sama Ayah," ujar Dadang sambil menunjuk perempuan yang duduk di sampingnya.
Lagu Atjit lain yang malam itu dinyanyikan adalah Tini dan Yanti. Yang mementaskan adalah kelompok musik Banda Neira dari Bandung. Menurut Natar, syair lagu ini ditulis seorang tahanan bernama Ida Bagus Santosa, pengajar di salah satu universitas di Bali. Ida Bagus Santosa menulis syair ini di tembok untuk istrinya, Tini, dan buah hati yang kelak akan dinamai Yanti. "Dia rupanya sudah pasrah, tahu bahwa dirinya tak akan hidup lama, maka dia tulis itu," kata Natar. Natar, yang berbeda sel dengan Ida Bagus Santosa, ingat tatkala melihat tulisan di tembok itu memberitahukan kepada Atjit.
Dadang mengakui sebelumnya ia tak pernah berpikir lagi mengenai lagu-lagu ciptaan ayahnya. Sampai suatu hari ia terkejut ketika anaknya, Octovianda, yang penggemar band Nosstress, menanyakan kepadanya judul lagu Tini dan Yanti serta nama penciptanya. "Dia tahu lagu ini dari YouTube, dinyanyikan Pak Natar," ujar Dadang. Dadang pun mencari Natar dan beberapa korban yang pernah satu penjara dengan Atjit. Dadang juga akhirnya bisa bertemu dengan anak Ida Bagus Santosa, yang disebut "Yanti" dalam lagu itu. "Dia menangis ketika tahu riwayat lagu itu," kata Dadang.
Malam itu ada juga lagu Latini, saduran puisi karya penyair Agam Wispi, yang dinyanyikan musikus Made Mawut. Lagu ini bercerita tentang perempuan petani di daerah Jengkol, Kediri, Jawa Timur. Dia tewas secara tragis karena mempertahankan tanah garapannya di lahan bekas perkebunan di daerah Jengkol. Kejadian ini kemudian dikenal dengan Peristiwa Jengkol pada 1961. Juga ada Ketut Putu, musikus Bali yang menggubah pidato Bung Karno, Deklarasi Ekonomi, menjadi sebuah lagu yang berjudul Dekon. Lagu ini, menurut Putu, untuk menyebarluaskan dan mempopulerkan petuah Bung Karno. Ketut Putu adalah adik kandung Ketut Shanty, sastrawan Lekra Singaraja. Ketut Shanty menjadi korban pembantaian peristiwa 1965. Lagu revolusioner lain yang diaransemen lagi oleh Ketut Putu adalah Genta Suri dan Prapat Agung. "Syair lagu-lagu itu dulu diubah dalam bahasa Bali dan lekat dalam ingatan kami semua," ucap Natar.
Proses pembuatan album Prison Songs-Nyanyian yang Dibungkam ini tak mudah. Made Mawut, salah satu anak muda penggagas album ini, menceritakan sebenarnya ada banyak lagu yang sering dinyanyikan oleh para tahanan. Tapi kendala usia dan ingatan para penyintas terhadap lagu itu membatasi langkah mereka "Kami berkali-kali mendatangi mereka. Kadang mereka ingat sebagian liriknya, tapi lupa nadanya," ujar Made Mawut. Untuk membangitkan memori mereka, setiap kali melakukan wawancara, Made Mawut membawa gitar. Cara ini manjur. Sedikit demi sedikit mereka berhasil mengingat nada yang terlupa dan mengoreksi yang salah. Setelah semua lagu lengkap, Mawut bersama teman-temannya memoles lagi lagu-lagu itu.
Dian Yuliastuti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo