Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Sains dan Seni dalam Potret Fred Edwards

Fred Langford Edwards memotret spesimen yang dikumpulkan Alfred Russel Wallace lebih dari 100 tahun lalu. Potret ilmu pengetahuan dalam bingkai estetika.

31 Agustus 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI atas meja panjang Galeri Salihara, obyek-obyek ilmiah dan karya-karya seni tentang Alfred Russel Wallace terpajang. Ada tabung kimia berjentik nyamuk, instalasi televisi dua kanal, porselen berglasir putih dan emas, sampai kain organdi organik berhias kupu-kupu artifisial. Karya seni itu berjejeran dengan obyek ilmiah seperti burung cenderawasih yang diawetkan dan kulit harimau yang digulung di sudut pajangan. Namun gambar-gambar yang melapisi dinding melingkar di ruang galerilah yang memberi kekuatan dalam pameran bertajuk "125.660 Spesimen Sejarah Alam" itu.

Sepintas, gambar-gambar yang melekat di dinding itu terlihat seperti lukisan dinding. Namun, bila diperhatikan lebih saksama, gambar-gambar tersebut merupakan karya fotografi obyek-obyek berusia lebih dari 100 tahun. Ada foto tulang-belulang dalam tabung transparan, foto kumbang bertanduk panjang, foto tengkorak orang utan di atas rak kaca, sampai foto burung-burung berwarna-warni yang diawetkan. Inilah proyek besar fotografer Fred Langford Edwards. Edwards, 69 tahun, membawa karya fotografinya dari Inggris untuk dipamerkan bersama obyek ilmiah dan karya seni tentang Alfred Russel Wallace pada 15 Agustus-15 September mendatang di Galeri Salihara, Jakarta Selatan.

Kepulauan Nusantara pernah menjadi habitat alami bagi tiga perempat flora dan fauna dunia pada masa penjelajahan Wallace. Ilmuwan kini memperkirakan bahwa pada akhir abad ini, hutan hujan Asia Tenggara akan menghilang dua pertiganya, dengan keanekaragaman hayati berkurang 50 persen. Anna Sophie Springer dan Etienne Turpin-dua kurator pameran ini sejak Januari hingga Maret tahun ini-telah membuka submisi proposal karya seni. Seniman-seniman yang ingin terlibat dalam pameran ini diwajibkan membaca berkas penelitian Springer dan Turpin setebal 128 halaman sebelum mengirim submisi proposal karya seni. Karya-karya seni yang terpajang itu merupakan hasil seleksi para kurator. Namun karya fotografi Edwards adalah pengecualian.

Sebab, Edwards bukan seniman yang baru mengenal Wallace. Jauh sebelum pameran ini dirancang, ia pernah menggelar pameran tunggal yang menampilkan spesimen-spesimen koleksi Wallace di Inggris dan Ekuador. Karena itu, untuk keperluan pameran ini, Springer dan Turpin lebih dulu mendekati Edwards. Dr George Beccaloni, kurator dari National History Museum, London, yang menghubungkannya. "Mereka menemui saya pada 2014 di Inggris dan pada 2015 di Spanyol," kata Edwards.

Perkenalan Edwards dengan Wallace bermula dari buku-buku sekolah yang menyebutkan nama ilmuwan itu sebagai catatan kaki. Ketertarikan Edwards kepada Wallace yang sesungguhnya muncul pada 2005. Saat itu dunia keilmuan sejarah alam, yang sering bersinggungan dengan pekerjaannya, ramai mempersiapkan perayaan 200 tahun kelahiran Charles Darwin dan 150 tahun penerbitan On the Origin of Species, yang jatuh pada 2009. Edwards ingin membuat karya serupa, tapi bukan tentang Darwin. "Semua orang tentu mengenal Darwin, tapi hanya sedikit yang mengenal Wallace," ujar Edwards kepada Tempo, Jumat dua pekan lalu. Padahal kontribusi Wallace terhadap ilmu biologi dan sejarah alam tidak sedikit.

Wallace merupakan ilmuwan pertama yang mengidentifikasi perbedaan fauna di Indonesia. Dia membagi kepulauan Nusantara dalam dua bagian lewat garis imajiner yang dikenal sebagai Wallace Line. Fauna di sisi Indonesia bagian barat memiliki kesamaan dengan fauna Asia, sementara di bagian timur fauna lebih dekat dengan karakteristik fauna Australia. Dia juga salah satu penemu teori seleksi alam.

Edwards juga tertarik pada latar belakang Wallace yang bukan dari kaum aristokrat dan sikapnya yang pantang menyerah. Pada 1852, kapal yang ditumpangi Wallace terbakar dan menghilangkan hampir semua spesimen yang dikumpulkan Wallace di lembah Sungai Amazon, Brasil. "Dua tahun kemudian, Wallace kembali mengumpulkan spesimen di Malay Archipelago: Indonesia, Singapura, dan Malaysia," kata Edwards.

Edwards lalu berkolaborasi dengan Beccaloni untuk meneliti kontribusi Wallace terhadap biologi. Proyek yang didanai oleh Wellcome Trust Small Arts Award itu terdiri atas tahap. Pada tahap pertama, November 2007-Februari 2008, Edwards meneliti dan mengkonstruksi instalasi fotografi terhadap spesimen yang dikoleksi Wallace di museum-museum Inggris. Lalu, pada tahapan selanjutnya, dia pergi ke Amerika Selatan untuk menelusuri jejak Wallace. Menurut Edwards, perjalanan itu cukup menantang, bahkan saat ini. Pada Maret dan Mei 2009, Edwards pergi ke Malaysia dan Indonesia sebagai tahap akhir dari proyek itu. Saat ia berkunjung ke Santubong, Sarawak, lokasi yang disebut Wallace penuh dengan orang utan. Namun, sesampai Edwards di sana, tak ada satu pun orang utan yang terlihat. "Santubong sangat bising. Orang utan itu tinggal di suaka yang jauh di dalam hutan." Lingkungan Santubong telah berubah.

Edwards lalu menggelar pameran seni fotografi yang berlangsung selama 15 bulan di Cambridge University Museum of Zoology. Karya fotografinya yang terpampang di Galeri Salihara merupakan sepertiga dari proyek "Alfred Russel Wallace: The Forgotten Evolutionist", yang dipamerkan pada 2009.

Selain penelitian pendahuluan yang terencana dan ketekunan mengumpulkan data ilmiah, keunggulan karya Edwards ada pada potret-potret spesimen dengan detail yang tajam. Detail itu, menurut Edwards, hanya didapat lewat penggunaan kamera analog. Dalam jejeran foto burung separuh badan ke atas dan jejeran burung separuh badan ke bawah ini, ahli fotografi dapat membedakan karya yang dipotret dengan kamera digital dan analog. Kualitas karya dari kamera digital tidak setajam kualitas foto yang diambil dari kamera analog. Tekniknya, kata Edwards, tak jauh berbeda dengan teknik foto potret. Dua lampu menyorot latar dan dua lampu lain menyorot spesimen.

Setiap foto punya sejarah dan kisahnya sendiri. Foto bergambar bulu burung cenderawasih yang dipotret dengan kertas tua bertulisan "Paradisaea apoda", misalnya. Apoda berasal dari bahasa Latin yang berarti tanpa kaki. Sebab, bangsa Eropa hanya mengenal cenderawasih tanpa kaki. Pada masa ini, penduduk asli sering memotong kaki-dan kadang-kadang sayap-cenderawasih sebelum dijual. Hal ini menyebabkan adanya kesalahpahaman bahwa burung dengan bulu indah ini berasal dari surga dan tak pernah menjejakkan bumi sampai mati. Menurut Edwards, semua spesimen cenderawasih yang dikoleksi Wallace memiliki kaki.

Di sebelah foto tersebut, ada foto kumbang bertanduk panjang yang berasal dari Borneo. Kumbang tersebut merupakan spesimen Wallace yang paling kecil yang pernah dipotret Edwards. "Saya mencoba sedekat mungkin memotret detail kumbang itu," ucap Edwards. Kumbang itu dipajang di National Museum of Wales, Cardiff.

Di sudut lain, ada potret kulit orang utan yang kedua tangannya bersilang di dada. Di tempat seharusnya ada bola mata, hanya ada lubang kosong. Menurut Edwards, ini adalah satu dari dua spesimen orang utan yang tersisa di World Museum of Liverpool. Pada awal abad ke-20, museum ini memajang satu kulit orang utan di ruang pamer dengan postur layaknya orang utan memanjat pohon di belantara Borneo. Spesimen orang utan lain tersimpan di bawah tanah museum itu. Malangnya, spesimen Wallace di ruang pamer rusak akibat bom selama Perang Dunia II. Kebetulan Liverpool merupakan kota pinggir pantai yang berbatasan dengan Prancis dan Jerman, sehingga mudah menjadi sasaran target Nazi. Jadilah orang utan yang dipotret Edwards menjadi satu-satunya spesimen orang utan di museum itu. Edwards lalu menunjuk karyanya yang lain, yaitu potret tengkorak orang utan dari samping di atas rak kaca. "Itu adalah tulang dari kulit orang utan ini," kata pria Inggris yang tinggal di Wales ini.

Membaca fotografi Edwards adalah membaca sejarah ilmu pengetahuan. Pameran "125.660 Spesimen Sejarah Alam" merupakan sebuah kritik terhadap keanekaragaman hayati yang kini terancam oleh kekerasan yang dilakukan manusia terhadap alam. Ironisnya, ilmu pengetahuan juga diperoleh dari kekerasan terhadap alam. Kekerasan ketika Wallace mengawetkan 110.000 serangga, 8.050 kulit burung, dan berbagai spesies lain. Kekerasan ketika Wallace menembak 17 orang utan serta mengirimkan tulang-belulang dan kulitnya ke Inggris.

Edwards kini terus melanjutkan proyek tersebut. Salah satu isi kontraknya dengan Springer dan Turpin adalah kesempatan untuk memotret spesimen-spesimen yang dikumpulkan Wallace yang ada di Museum Zoologicum Bogoriense, Jawa Barat. Museum itu kini dikelola Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Dua kurator dari pameran ini juga punya rencana membawa pameran berkeliling ke museum sejarah alam di Berlin, London, dan Amsterdam.

Amandra Mustika Megarani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus