DARI perahu ketinting di Sungai Ohong, kelihatan sebuah bangunan panjang berwajah muram terpancang di sebuah bukit kecil. Rumah besar dan tua yang masih menampakkan sisa-sisa kemegahan itu tepatnya berdiri di Desa Mancong, Kecamatan Jempang, Kabupaten Kutai, Kalimantan Timur. sekitar 250 kilometer sebelah timur Samarinda. Salah satu obyek pariwisata daerah, tapi sudah sangat lapuk, dan nyaris roboh. Itulah yang membangun kekhawatiran gubernur Kalimantan Timur, Soewandi. Ia kemudian meminta Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan untuk mempelajarinya, juga memperhitungkan kemungkinan pemugarannya. Tim, yang segera dibentuk, beranggotakan antara lain Arkeolog Teguh Asmar, Arsitek Ir. Welling Dt., dan Hashim Achmad, Kepala Bidang Permuseuman, Sejarah, dan Kepurbakalaan Kanwil Departemen P & K. Hasil pengamatan: bangunan sudah rusak sekitar 90%. Pemugarannya memerlukan waktu sekitar tiga tahun, biayanya bisa mencapai Rp 200 juta lebih. Gubernur tidak mundur. Sejak Juli lalu diusahakan pengumpulan dana dari berbagai kalangan, termasuk anggaran pemerintah daerah. Kamis pekan lalu, Soewandi menjelaskan bahwa biaya yang dari anggaran pemerintah saja mencapai Rp 80 juta. Lamin Mancong, yang dikenal sebagai rumah tradisional suku Dayak Benuaq, pantas juga mendapat perhatian. Menurut penduduk, bangunan itu berumur 360-an tahun. Namun, seperti dikatakan Lasak, penduduk berusia 70, lamin itu tak sepenuhnya bergaya Dayak. Bangunan yang luas seluruhnya 732,55 m2 itu sudah berulang kali mengalami pemugaran - dan tentunya perubahan. Setahu Lasak, pemugaran terakhir dilakukan tahun 1925 - besar-besaran. Welling membenarkan: Lamin Mancong tidak lagi sepenuhnya mengikuti prinsip bangunan rumah panjang Dayak. Tandanya: ia bertingkat, sementara rumah panjang tak ada yang bertingkat. Namun, justru itulah yang menarik. Lamin itu menunjukkan percampuran beberapa gaya arsitektur kayu, khususnya bangunan tradisional Dayak dan corak arsitektur bergaya Melayu. Dan, lebih menarik, konstruksinya masih menampakkan struktur arsitektur kayu 2.000 tahun lalu - tidak mengikuti prinsip kerangka rumah seperti yang tampak pada masa kini, yang tiang-tiang penyangganya menunjang bangunan dari tanah sampai ke atap. Struktur Lamin Mancong adalah panggung, dan tiang-tiang yang tingginya 9,5 meter itu hanya terpancang dari tanah sampai ke lantai. Terdapat 28 tiang utama (diameter 30 sentimeter) dan 175 tiang pembantu (15-20 sentimeter). Ini memang menandakan gaya arsitektur yang sangat kuno: bangunan didirikan tidak dengan perhitungan konstruksi. Konstruksi sambungan kayunya khas arsitektur kayu. Sama sekali tak tampak sambungan yang menggunakan paku, melainkan pasak (ingat pepatah "Besar pasak daripada tiang"?) dan ikatan rotan. Bahkan juga di lantai dua, yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan makanan serta kerangka nenek moyang, dan kadang-kadang juga untuk tidur. Pengaruh gaya Melayu tampak pada ornamen. Menurut Welling, masuknya unsur Melayu ini bertahap dan sulit ditentukan kapan. Menurut cerita penduduk, perubahan itu awalnya dilakukan seorang kepala suku, Temenggung Bang, yang tertarik pada bangunan-bangunan Kerajaan Kutai. Organisasi ruang dalam juga menandakan pengaruh luar. Rumah panjang Dayak umumnya tidak mengenal dinding penyekat, sedangkan pada Lamin Mancong bisa ditemukan pembagian ruang yang sangat kaya dan cukup rumit. Seluruh bangunan terbagi ke 12 ruangan, masing-masing berukuran sekitar 4 X 5 meter. Lalu di luarnya terdapat semacam beranda, yang di bagian muka lebih kecil dari yang di belakang. Itu jelas menunjukkan pemikiran ke arah fungsi. Beranda bagian belakang, yang tampak seperti tambahan, di gunakan sebagai dapur. Kini Lamin Mancong masih dihuni tiga keluarga suku Dayak Benuaq - dulu, konon, pernah menjadi tempat tinggal ratusan anggota suku. Ini ciri lain arsitektur tradisional dari khazanah lama: bangunan lebih banyak berfungsi sebagai tempat tidur. Jim Supangkat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini