Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Menyimak penyebab kematian

Editor: : ng shui meng singapura : institute of southeast asian resensi oleh : prijono tjiptoherijanto. (bk)

4 Oktober 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SOCIO-ECONOMIC CORRELATES OF MORTALITY IN JAPAN AND ASEAN Editor: Ng Shui Meng Penerbit: Institute of Southeast Asian Studies, Singapura, 1986, 29 halaman TINGKAT kematian, seperti juga GNP dan angka melek huruf, telah mejadi tolok ukur atas tahap-tahap pembangunan ataupun modernisasi, dan sudah diterima para pakar dalam pembangunan ekonomi. Indikator-indikator ini bukan saja dapat menunjukkan kemajuan perekonomian, tapi juga aspek kesejahteraan, yang dulu agak terlupa. Menyadari hal itu, maka National Institute for Research Advancement (NIRA) dengan kordinasi dari Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS) melakukan penelitian masalah-masalah sosial ekonomi, yang sangat berhubungan dengan tingkat kematian di Jepang maupun di negara-negara ASEAN. Hasilnya, terekam dalam buku Socio Economic Correlates of Mortality in Japan and ASEAN, yang disunting Ng Shui Meng. Agak sulit memang menemukan kesamaan dalam studi yang dilakukan di berbagal negara yang mempunyai keragaman kondisi sosial-ekonomi tersebut. Angka kematian saja berbeda antarnegara. Jepang, misalnya, hanya 6,6 per 1.000, sedangkan Indonesia 16,7 per 1.000. Angka untuk Indonesia ini cukup tinggi kalau dibandingkan dengan angka rata-rata kematian kasar (crudedeath rate atau CDR) untuk ASEAN, yang hanya sebesar 15,2 per 1.000. Mengapa? Tentu perlu di-latar belakang keadaan ekonomi dan kondis sosial yang menyebabkan angka tersebut bervariasi. Dengan memakai acuan angka kematian bayi, usia harapan hidup, dan berbagai penyebab kematian, dicoba dianalisa masalah sosial-ekonomi yang dapat mendorong kematian. Disadari banyak penyebab kematian yang agaknya sulit dideteksi lebih lanjut, seperti infeksi, demam, atau kematian karenausia lanjut. Penyebab-penyebab semacam ini memang di luar kemampuan para peneliti, sehingga kurang diulas lebih lanjut. Dari pola kematian yang biasa, didapat keterangan bahwa penyebab kematian yang utama di negara-negara ASEAN adalah masih merajalelanya penyakit-penyakit menular. Maka, tidak mengherankan kalau di banyak negara berkembang, seperti ASEAN, jenis-jenis pembunuh utama masih berkisar pada penyakit-penyakit infeksi, penyakit anak-anak, diare, maupun tuberkulosa. Sementara itu, Jepang, yang berpenghasilan setingkat dengan negara-negara industri, lebih dihantui oleh penyakit-penyakit modern killers, seperti penyakit jantung dan kanker. Perubahan penyebab kematian ini tentunya sangat berhubungan dengan penahapanpembangunan di tiap-tiap.negara. Ini rupanya yang ingin ditangkap dari penelitian ini. Namun, keinginan itu agaknya belum sepenuhnya tercapai. Masih diperlukan penelitian lain yang lebih mendalam dari sekadar menangkap variabel-variabel sosial-ekonomi, yang diduga berperan banyak dalam mempengaruhi kematlan. Sebenarnya, suatu penelitian yang lebih mendasar dalam mengaitkan tahapan pembangunan dengan perubahan pola penyakit, sangat diperlukan. Bertolak dari faktor-faktor sosial-ekonomi yang sangat berpengaruh pada kematian tersebut, penelitian di Jepang, yang dilakukan oleh Shinsuke Morio dan Shigesato Takahashi, melihat faktor-faktor lingkungan alam, demografi, kesehatan lingkungan, kesehatan masyarakat, kesehatan anak, ekonomi, sosial, dan reproduksi yang diduga mempunyai kaitan dengan kematian. Sementara di Indonesia, faktor-faktor sosial-ekonomi individu maupun masyarakat serta faktor biologis yang diduga mempunyai pengaruh kuat terhadap kematian. Analisa-analisa itu jelas sangat berdasar pada pandangan Henry Mosley, yang banyak mengulas soal kematian bayi dan anak di negara-negara berkembang, seperti di Negara Bagian Kerala, India. Kesulitan sering ditemukan, karena berbagai variabel tersebut berkaitan antara yang satu dan yang lain. Variabel pendapatan, misalnya, sering kali mempunyai kaitan erat dengan perumahan, pemakaian listrik, atau malah dengan tingkat pendidikan. Dalam penelitian-penelitian sosial, multicollinearities semacam ini memang agak sulit dihindarkan. Sehingga, pemilihan variabel secara berjenjang sering dilakukan. Pembahasan yang menarik dari buku ini terletak pula pada kelompok masyarakat yang diteliti. Jepang, misalnya, mrncoba melihat kematian tersebut menurut kelompok pekerjaan atau jabatan. Artinya, untuk jabatan atau pekerjaan tertentu pada usia berapa kebanyakan di anatara mereka meninggal. Dihubungkan dengan penyebab-penyebab kematian atas kelompok tersebut, menarik untuk melihat analis Anda akan mengerti untuk kelompok jabatan atau pekerjaan tertentu, berapa lama orang bertahan hidup. Kalaupun mati, penyebabnya bisa diketahui secara kasar. Selain dari perbedaan kelompok masyarakat yang dianalisa, variabel sosial-ekonomi yang dijadikan fakor tak tetap untuk menjelaskan timbulnya kematian juga berbeda. Singapura, misalnya, memakai beberapa variabel standar seperti di negara-negara industri: tempat tidur di rumah sakit, rasio dokter dengan pasien, rasio perawat dengan pasien rasio bidan dengan wanita yang melahirkan, dan sebagainya. Rasio-rasio semacam itu memang bis dipakai untuk suatu negara kecil yang memang telah mencapai tahap industrialisasi. Apa artinya angka-angka itu kalau dipakai oleh Indonesia, misalnya? Rasio dokter per pasien ataupun per penduduk tidak akan banyak berbicara, kalau diingat sebagian besar dokter berdiam di kota, sementara orang sakit yang memerlukan pengobatan lebih banyak terkumpul di pedesaan. Namun, Muangthai, tergoda juga menggunakan ukuran semacam penduduk per perawat, penduduk per dokter, penduduk per puskesmas maupun penduduk per rumah sakit. Muangthai telah merasa setaraf dengan Singapura? Wallahualam. Mungkin saja, kalau yang ditengok hanya indikator kesehatan. Karena itu, mungkin masih diperlukan pengkajian lain yang lebih terinci. Apalagi kalau indikator yang mencakup kualitas kehidupan, seperti PQLI sudah mulai banyak dibicarakan, bukan saja oleh para pakar di bidang pembangunan ekonomi, tapi juga oleh para pengambil kebijaksanaan negara. Prijono Tjiptoherijanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus