Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebuah buku tua berhuruf Jawa dengan ilustrasi gambar berwarna mirip figur di wayang beber menarik perhatian seorang pengunjung. Dia pun mendekati kotak kaca tempat buku langka itu ditaruh. Setelah itu, dia beringsut ke kotak kaca lain. Sesekali perhatiannya dialihkan ke naskah Panji bergambar yang diperbesar dan dipajang di pigura di ruang auditorium Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Jakarta, 27 Oktober lalu.
Lembaga ini memang sedang punya gawe memamerkan naskah cerita Panji koleksinya. Cerita Panji adalah cerita percintaan Raden Inu Kertapati (Panji Asmarabangun) dan Dewi Sekartaji (Candra Kirana), yang berlatar era kerajaan Kediri. Roman asmara sekaligus kepahlawanan itu menyebar di Nusantara—Jawa, Bali, Sumatera, Kalimantan—dan memiliki banyak versi. Bahkan hingga ke Malaysia, Thailand, Kamboja, Myanmar, dan Filipina. Sementara Mahabharata dan Ramayana merupakan kisah "impor" yang datang ke Jawa, Panji adalah kisah kesatria Jawa kuno asli milik kita yang "diiekspor" ke mancanegara.
Naskah berumur 200-300 tahun yang dipamerkan ini hampir sebagian besar ditulis di kertas Eropa yang sudah mulai menguning kecokelatan karena dimakan umur dan berlubang dimakan ngengat. Ada pula naskah yang ditulis pada lembaran daun lontar. "Naskah Panji yang tersimpan di sini ada 80. Yang dipamerkan 40, tapi itu semua merupakan naskah utama," ujar Yeri Nurita, pustakawan sekaligus koordinator pameran. Yeri menuturkan, koleksi naskah Panji biasanya disimpan secara khusus di salah satu lantai di gedung penyimpanan.
Selain beraksara Jawa, ada naskah yang beraksara Jawi, yakni yang ditulis dengan aksara Arab tapi menggunakan bahasa Melayu. Mengingat tuanya usia naskah, sebelum dipamerkan, kondisi fisik naskah diperiksa dulu oleh konservator. Dari semua naskah, ternyata ada 15 yang perlu diperbaiki sebelum dipamerkan. Ada pula naskah yang terpaksa tak diikutkan karena sudah sangat rusak, lapuk, dan getas, yakni naskah berkode ML177A, yang berkisah tentang hikayat Panji Semirang.
Naskah yang disajikan dikelompokkan menjadi tiga kategori, yakni kategori naskah Panji Jawa, Panji Bali/Lombok, dan Panji Melayu. Naskah Panji Jawa meliputi cerita Panji Jayakusuma, Panji Angraeni, Panji Angronakung, Panji Jayalengkara, Panji Dewakusuma, Panji Dewakusuma Kembar, Panji Murtaswara, Panji Kudawanengpati, Panji Suryawisesa, dan Panji Kudanawangsa.
Adapun naskah Panji Bali/Lombok meliputi kisah Malat, Cilininaya, Bagus Umbara, Wasengsari, Panji Jayakusuma, dan Panji Undakan Pangrus. Sedangkan naskah Panji Melayu: Syair Ken Tambunan, Hikayat Cekel Wanengpati, Hikayat Panji Kuda Semirang, Hikayat Mesa Urip Panji Jaya Lelana, Hikayat Jaran Kinanti Asmaradana, Hikayat Kelana Ankaan Raden Galuh, Roman Panji, Sri Tanjung dan Pramusinta, Hikayat Mesa Gimang, Hikayat Nayakusuma Kemurung, Hikayat Nayakusuma, Tumenggung Ariwangsa, Prabu Anom, serta Ratu Anom Mataram.
Naskah-naskah ini memang cukup tebal jika dibundel, rata-rata beratus-ratus halaman. Sebut saja naskah Panji Angraeni. Naskah berkode KBG 185 bertahun 1795 ini berukuran 19,5 x 26 sentimeter. Tebalnya 355 halaman, tiap halaman memuat 15 baris teks. Teks ditulis di kertas Eropa yang berwarna kecokelatan dan terdapat tanda air Lion in Medallion. Sedangkan naskah Panji Jayakusuma yang berkode koleksi KBG 139 tebalnya 734 halaman, dilengkapi gambar-gambar ilustrasi indah 171 buah. Teks tulisan ini sebagian sudah memudar karena korosi tinta.
Karena kondisi memudar, aus, dan sebagainya, beberapa teks penting diupayakan salinan dan pengalihan aksara ke huruf Latin oleh beberapa peneliti. Pengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Karsono H. Saputro, misalnya, menyalin naskah Panji Angraeni berkode 185 di atas. Menurut Karsono, teks ditulis dalam bahasa Jawa campuran, Jawa kuno, Jawa baru, dan Jawa baru dialek pesisiran. Beberapa bagian yang mirip dengan aksara Bali, menurut dia, agak sulit dibaca karena bentuk aksara yang "direka-reka" oleh penyalinannya.
Karsono juga berusaha melakukan alih aksara naskah Panji Angronakung. Naskah dengan kode Br 379 itu masih dalam kondisi baik, terbaca tulisan dan perwajahannya. Hanya, beberapa lembar naskah sudah terlepas dari jilidan. Naskah ini ditulis dengan tinta hitam. Penulisannya sangat rapi karena Karsono melihat terdapat garis panduan dengan pensil pada baris-baris tulisan. Ada sedikit naskah yang berlubang karena ngengat, tapi tak menghalangi pembacaan. Tebal naskah tersebut 175 halaman. Naskah itu ditulis pada 1760 dan disalin pada 1820 Masehi. Menurut Karsono, Panji Angronakung belum banyak dibicarakan.
Karsono mengatakan tradisi penyalinan naskah sudah tak ada lagi kecuali di Bali. Saat menyalin Panji Angraeni, ia membutuhkan waktu dua bulan. Sedangkan untuk menyalin Panji Angronakung dibutuhkan waktu tiga bulan. Panji Angronakung diakui cukup sulit dari segi bahasa. Seperti Panji Angreini, teks ini mengandung bahasa Jawa kuno, Jawa pertengahan, Jawa baru, dan dialek pesisiran. Tapi dia merasa lebih sulit saat meneliti Panji Angraeni. "Karena aksaranya aneh, seperti naskah Bali tapi bahasanya lebih sulit," ujarnya.
Naskah kuno Panji berlatar belakang Kediri, tapi muncul dan populer pada zaman Majapahit. Sejauh ini, menurut arkeolog Nini Susantie dan Agus Aris Mundandar, dari peninggalan arkeologis pun belum ditemukan data arkeologis mengenai Panji yang lebih tua dari zaman Majapahit. "Yang tertua terpahat di Candi Miri, dengan pahatan tahun 1214 Saka atau 1292 Masehi," ujar Nini dalam seminar yang mengiringi pameran. Sejarawan Hadi Sidomulyo atau Nigel Bullough, yang pernah mencoba menapak tilas lokasi-lokasi yang disebut dalam kidung Panji Margasmara, menyetujui pendapat ini "Kemungkinan besar memang merupakan cerita pada zaman Majapahit pada abad ke-15," ujar Hadi.
Yang juga menyegarkan dari pameran naskah-naskah kuno ini adalah hadirnya lukisan wayang beber baru sepanjang 60 meter selebar 1,5 meter yang dipajang di sepanjang ruangan auditorium. Lukisan wayang yang memuat 24 cerita Panji ini adalah karya seniman Pujianto, pelukis wayang beber asal Sragen, Jawa Tengah, yang dimiliki budayawan Taufik Razhen. Karya ini diselesaikan Pujianto selama delapan tahun.
Sesungguhnya pameran ini lebih afdal bila di ruangan dipasang semacam infografis persebaran dan variasi kisah Panji, semata agar pengunjung bisa lebih mengerti betapa luasnya dimensi Panji. Juga akan lebih menarik bila diikutsertakan ilustrasi cerita anak, seperti Andhe-andhe Lumut, Timun Emas, Keong Emas, dan Kethek Ogleng. Seperti disebut Sal Murgiyanto dan banyak pembicara seminar lainnya, sesungguhnya kisah-kisah anak itu adalah turunan dari kisah Panji.
Dian Yuliastuti, Seno Joko Suyono
Panji Margasmara dan Blusukan Hadi Sidomulyo
Nigel Bullough, 62 tahun, lelaki Inggris yang mengubah nama menjadi Hadi Sidomulyo, semula ragu-ragu berbicara tentang naskah Panji dalam seminar naskah kuno Panji di Perpustakaan Nasional, Jakarta, 28 Oktober lalu. Tapi akhirnya dia pun maju membeberkan pengalamannya mengidentifikasi lokasi-lokasi yang disebut dalam Kidung Panji Margasmara.
Sejak 1988, Hadi Sidomulyo mulai blusukan ke Jawa Timur meneliti situs-situs sejarah. Tingkat blusukan-nya bisa disebut "gila". Ia, misalnya, mencoba menapak tilas perjalanan Mpu Prapanca. Sebuah buku, Napak Tilas Perjalanan Mpu Prapañca, telah ditulisnya. Dan kini ia naik-turun Gunung Penanggungan untuk mencatat berapa jumlah candi sebenarnya yang ada di lereng gunung yang pada zaman Erlangga dianggap kudus itu.
Kidung Panji Margasmara menggambarkan perjalanan Panji serta kekasihnya, Ken Candrasari, di wilayah Malang dan Blitar. Naskah ini, kata Hadi, merupakan naskah Panji di luar kisah Panji pada umumnya. Dia mengatakan Panji Margasmara merupakan kisah Panji minor, masih awal hipotesis dan perlu pengujian lebih lanjut. Menurut dia, kisah ini ditulis pada masa Majapahit, sekitar 1458 Masehi atau ketika masa pemerintahan Raja Girisawardhana Dyah Suryawikrama (1456-1466).
Ada kurang-lebih 27 nama desa yang disebut dalam kidung itu. Hadi pada 2008 berusaha melacak desa-desa itu. Menurut dia, nama tempat itu masih dikenal masyarakat dan di beberapa tempat ada situs peninggalan yang tersisa. Dia menduga penulis naskah pasti mengetahui kondisi lapangan. Hadi melacak dua rute: perjalanan Panji dan Ken Candrasari yang berbeda. Di beberapa situs, Hadi menemukan kronogram atau angka penanda.
Dalam kidung, misalnya, disebut ada lokasi bernama Kagenengan, yang merupakan desa tempat tinggal lelaki bernama Jaran Warida, yang semula hendak mengawini Ken Candrasari. Dari blusukan-nya, Hadi menemukan sebuah dusun bernama Kagenengan. Letaknya di Desa Parangargo, Kecamatan Wagir, sekitar enam kilometer dari Malang. Dalam kidung, dikisahkan Panji singgah di pertapaan Gondomayit. Ia mencari perlindungan di tempat tinggal seorang nenek suci. Hadi mengidentifikasi ada sebuah bukit bernama Gandamayi, yang terletak di sebelah timur laut Singosari di Desa Baturetno. "Masyarakat setempat masih menyebut tempat itu angker," katanya.
Panji dalam mencari kekasihnya lalu diuraikan menuju Kayu Puring, sebuah pertapaan. Dari blusukan-nya, Hadi juga menemukan sebuah tempat bernama Gunung Puring di Kecamatan Gedangan, Desa Sindurejo, sebelah selatan Malang, kurang-lebih 18 kilometer dari Turen. Ia yakin lokasi itulah tempat pertapaan Panji. Adapun rombongan Ken Candrasari, setelah dari Candi Kidal, disebut melewati jurang Lamajang. Dari pelacakannya, Hadi menduga yang disebut Lamajang di sini bukan Kota Lumajang sekarang, melainkan sebuah desa yang kini bernama Majangtengah, yang letaknya di Kecamatan Dampit, 19 kilometer dari Candi Kidal. Sebab, ia mendapati di Majangtengah memang terdapat jurang yang cukup dalam.
Dari Kayu Puring, Panji meneruskan perjalanan ke bale di pinggir laut. Menurut Hadi, gambaran bale ini sesuai dengan tempat yang kini dikenal dengan Pura Balekambang di Malang. Panji juga meneruskan perjalanan ke Rabut Palah atau Candi Penataran di Blitar. Dia lalu bertemu dengan putra Mahkota Majapahit di Kahyangan Rabut dan melanjutkan perjalanan ke Manguri. Di sini terdapat petunjuk sumber prasasti Manguri dan Subhasita. "Semua tempat yang saya temui ini seperti cocok dengan gambaran dalam kidung dan masuk akal," ujar Hadi.
Dian Yuliastuti, Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo