Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Lari, Lari, Lalu Nyeri

Meningkatnya tren lari meningkatkan pula jumlah pasien cedera otot. Salah pilih sepatu, sering lari di aspal, dan terlalu bersemangat bisa memicu cedera.

3 November 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebulan terakhir, Indera Kencana mulai kembali belajar lari. Dia berlatih teratur, terukur, dan terencana demi memperbaiki catatan waktunya. "Sekaligus biar enggak cedera terus, jadi larinya bisa menyenangkan," katanya pekan lalu. Sakit dan nyeri adalah pengorbanan yang dibayar lelaki 30 tahun itu akan hobi yang digelutinya setahun terakhir ini. Sudah dua kali ia mengalami cedera hebat karena salah dalam menjalankan olahraga yang sedang digilai banyak orang ini.

Akhir September 2013, dalam Adidas King of the Road di BSD City, Indera merasakan nyeri di paha bagian belakang. Saat itu ia baru dua bulan gemar berlari, tapi sudah mengikuti lomba dengan jarak tempuh 16,8 kilometer. Kesakitan dirasakan pria yang berprofesi sebagai arsitek ini sejak di kilometer 14. Tapi, karena sedang semangat-semangatnya berolahraga, ia memilih melanjutkan hingga garis akhir. Meski tertatih-tatih dan menyelingi dengan berjalan, Indera mampu mencapai garis akhir.

Kelar balapan, Indera pergi ke tukang pijat khusus olahraga. Tapi di sinilah kesalahannya. "Kalau sedang cedera, seharusnya enggak boleh dipijat. Aduh, saya dulu itu enggak tahu apa-apa," ujarnya. Walhasil, dua bulan ia berjalan pincang.

Hampir setahun berlalu, ternyata cedera kembali mampir. Ramadan lalu, Indera terkena cedera iliotibial band syndrome akibat lari yang berlebihan. Kali ini ia memutuskan ke dokter dan ahli fisioterapi. "Sakitnya amit-amit, jangan sampai kejadian lagi," katanya. Selama dua bulan, ia mengotakkan sepatu larinya. Belajar dari pengalaman pertama, kembali berlari saat masih dalam masa penyembuhan justru akan menyerang bagian lain tubuh.

* * * *

LARI memang sedang digilai. Hal itu bisa dilihat dari jumlah peserta berbagai lomba lari. Jakarta Marathon, yang baru digelar dua kali, sudah berhasil menjaring 14 ribu peserta tahun ini, naik 4.000 dari tahun sebelumnya. Sebagian besar peserta atau penggila olahraga ini melakukan latihan tanpa bimbingan pelatih. Mereka biasanya hanya mempercayakan program latihan pada aplikasi di telepon seluler atau teman satu komunitas. Hal itulah yang membuat jumlah pelari yang mengalami cedera meningkat.

Dokter spesialis kesehatan olahraga Michael Triangto mengatakan jumlah pasien pelari meningkat dalam setahun terakhir. "Satu hari bisa ada dua-tiga orang. Dulu pasien jumlah itu biasanya ada dalam sepekan," ucapnya saat ditemui di ruang prakteknya di Rumah Sakit Mitra Kemayoran, Rabu pekan lalu. Mereka datang dengan bermacam keluhan.

Pengajar Program Dokter Spesialis Kedokteran Olahraga Universitas Indonesia ini memuji peningkatan antusiasme masyarakat pada olahraga. Hanya, Michael menyayangkan semangat berlebihan yang membuat porsi latihan mereka sudah seperti atlet sungguhan. "Ini yang saya pertanyakan: apa sebenarnya tujuan mereka berlari," ujarnya. Apalagi jika kemudian banyak pelari yang mengabaikan nyeri karena menganggap penderitaan adalah bagian dari keberhasilan. Padahal nyeri, luka, dan kram adalah petunjuk bahwa aktivitas yang dilakukan salah. Jika pelari sudah mendapati tanda-tanda tersebut, Michael menganjurkan agar berhenti. Kalau tidak, cedera sudah pasti mengancam.

Michael mengatakan ada tiga area yang rawan cedera: lutut dan pergelangan kaki, paha dan betis, serta pinggang.

Cedera bagian pergelangan kaki biasanya dirasakan oleh mereka yang memiliki kelainan telapak kaki. Dokter spesialis kesehatan olahraga Hario Tilarso menjelaskan, banyak pelari yang sering mengalami nyeri di bagian telapak ini, dari ujung jari hingga tumit. Mereka yang sering melakukan lari cepat atau sprint biasanya merasakan sakit pada ujung telapak. Adapun pada penggemar lari jarak jauh, kesakitan umumnya melanda dari bagian tengah telapak hingga tumit. Tapi, Hario melanjutkan, tipikal nyeri tersebut bisa berbeda tergantung cara orang menapak. Ada yang lebih banyak menggunakan tumit ketika berlari sehingga dari sepatunya terlihat bagian belakang yang lebih cepat aus. Begitu pula mereka yang sering menekan bagian depan kakinya, otomatis ujung alas kakinya yang lekas terkikis.

Trauma berulang di bagian telapak ini akan menimbulkan plantar fasciitis atau peradangan ligamen-jaringan ikat antartulang. Tandanya, kata pengajar di Ilmu Kedokteran Olahraga Universitas Indonesia ini, ketika bangun tidur terjadi kekakuan di bagian telapak. "Kalau jalan sepuluh langkah baru terasa, kemudian nyeri itu hilang lagi," ucap Hario.

Naik ke atas dari pergelangan kaki, yaitu lutut. "Di sini terletak sendi yang paling rumit," kata Ketua Perhimpunan Pembina Kesehatan Olahraga Indonesia ini. Di persendian yang merupakan titik temu antara paha dan betis ini terdapat bantalan yang berfungsi sebagai peredam. Ya, lutut mirip shock breaker pada mobil.

Bagian yang lentur ini akan menahan berat badan tubuh. Hario menjelaskan, berlari sama saja memberi beban lutut dan ankle lima-delapan kali berat badan. Jadi orang dengan tubuh seberat 80 kilogram, sekali menapakkan kaki ke bumi, dia menjatuhkan bobot hingga 400 kilogram untuk lututnya. Adapun untuk berjalan hanya maksimal dua kali berat badan yang ditanggung lutut.

Nyeri di lokasi ini, menurut Michael, biasanya muncul akibat kesalahan teknik berlari. Atau memang dia memiliki otot penopang yang lemah. Kepada orang seperti itu, ia menyarankan memakai alat bantu penahan ataupun penyokong lutut.

Cedera kedua yang sering ditemui adalah cedera bagian betis dan paha. "Biasanya karena peregangan yang kurang baik," ucap Michael. Akibatnya, ketika paha terus dipacu untuk berlari, ototnya tertarik. Timbullah dua penyebab nyeri, yaitu strain atau otot tertarik dan sprain, yang berupa robekan serat otot. Responsnya berupa bengkak dan keseleo di paha belakang. Pada kasus Indera, Michael menjelaskan, ada kemungkinan karena dia berlari tanpa persiapan yang matang. Ditambah lagi ia tetap memaksakan diri berlari hingga finis meski sudah terasa nyeri. Hasilnya, ya, cedera hamstring-nyeri pada tiga otot penyokong paha.

Terakhir adalah cedera di bagian pinggang. Michael mengatakan ini mudah dijumpai pada mereka yang punya masalah berat badan. Dia menganjurkan pelari yang mengalami obesitas memulai dengan jarak dan waktu yang pendek, mengingat beban lutut yang harus menopang bobot tubuh. Kalau lutut tidak kuat, nyerinya bisa menjalar ke pinggang.

Langkah pertama untuk cedera adalah menerapkan prinsip rest, ice, compression, dan elevation, yang disingkat RICE. Konsep ini digagas pada 1978 oleh dokter Gabe Mirkin-penulis buku The Sportsmedicine Book. Rest, kata Michael, adalah saatnya berhenti ketika kaki terasa nyeri.

Ice adalah pendinginan dengan es untuk mengurangi bengkak. Namun, dalam situs resmi Mirkin di drmirkin.com, ia merevisi rekomendasi pemakaian es. Studi dari klinik di Cleveland, Amerika Serikat, pada 2010 justru menunjukkan bahwa es menunda penyembuhan lantaran mencegah tubuh mengeluarkan IGF (insulin-like growth factor-1), hormon yang membantu menyembuhkan jaringan yang rusak. "Rest (berhenti latihan), kompresi, dan pengangkatan, tapi tidak ada lagi es," ujar Mirkin dalam artikel yang dipublikasikan pada 21 Juni 2013.

Kompresi adalah teknik untuk mencegah pelebaran radang. Caranya dengan pembebatan area yang terluka. Semakin luas radang, kata Michael, maka semakin sulit pula kesembuhannya. Setelah dua langkah tersebut, bagian yang nyeri diletakkan pada daerah yang lebih tinggi supaya cairan yang berada di lokasi radang akan turun dan berkurang bengkaknya.

Sebenarnya, Michael mengingatkan, lebih baik berfokus mencegah cedera, dari pemilihan sepatu hingga tempat latihan. "Pakai sepatu khusus lari, bukan sepatu olahraga umumnya," ucapnya. Alas kaki yang dipilih pun harus acap digunakan. Sepatu yang sudah dibeli dua tahun lalu, misalnya, daya pegas dan daya absorbsi busa-busa solnya sudah tidak bagus lagi. Lebih baik sepatu seperti ini tetap di rak sepatu saja, meski terlihat masih sangat bagus.

Pertimbangan lain adalah tempat berlari. Tentu yang paling baik adalah lapangan atletik. Alternatifnya adalah lapangan rumput, yang, menurut Hario, paling aman bagi kaki. Jalan beraspal yang banyak dipakai pelari di kota-kota besar, kata dia, tidak bagus untuk lari karena memiliki daya lenting yang keras dengan telapak. Lebih baik mengambil jalur yang dibuat dari conblock. "Di conblock, ada sela pasir sehingga lebih berongga," ujar dokter yang berpraktek di Rumah Sakit Premier Bintaro ini.

Hario mengingatkan, bagi pemula, pertimbangkan pula berat badan, durasi, dan intensitas. Yang sehabis berlari terasa pegal dua hari kemudian, itu masih masuk kondisi normal. Lantaran tubuh yang jarang dipakai berolahraga mulai digerakkan kembali. "Tapi, kalau tiap habis lari sakit terus, berarti ada yang salah," katanya.

Michael menekankan target yang sebenarnya hendak dicapai para penggila lari yang bukan atlet itu. "Kalau bicara kesehatan, lupakan kemenangan. Kalau sudah target menang, persiapkan risiko cedera," tuturnya.

Dianing Sari


Area Rawan Cedera

Pergelangan kaki
-Biasanya dirasakan oleh mereka yang memiliki kelainan telapak kaki.
-Banyak pelari pemula sering mengalami nyeri di bagian ini, dari ujung jari hingga tumit.
-Pelari sprint biasanya mengalami sakit pada ujung telapak.
-Pelari jarak jauh mengalami sakit pada bagian tengah telapak hingga tumit.

Betis dan paha
Biasanya karena peregangan yang kurang baik.

Lutut
-Di lutut terdapat bantalan yang berfungsi sebagai peredam, mirip shock breaker pada mobil.
-Bagian yang lentur ini akan menahan berat badan tubuh. Berlari sama saja memberi beban lutut dan ankle lima-delapan kali berat badan. Orang dengan tubuh seberat 80 kilogram, misalnya. Sekali menapakkan kaki ke bumi, dia menjatuhkan bobot hingga 400 kilogram untuk lututnya.

Pinggang
Pelari yang mengalami obesitas dianjurkan memulai dengan jarak dan waktu yang pendek. Kalau lutut tidak kuat, nyerinya bisa menjalar ke pinggang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus