Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Merdeka: Nomor Istimewa

Galeri Foto Antara memamerkan majalah edisi khusus enam bulan pascakemerdekaan. Terselip guyonan zaman revolusi.

24 Agustus 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GAMBAR kulit muka majalah itu sederhana saja. Sepotong kepalan tangan kanan dengan buku-buku jari menebal, lantas diberi latar kobaran api. Di belakangnya ada peta wilayah Republik yang mencakup pulau-pulau berikut: Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Maluku, dan Nusa Tenggara. Pulau Papua menyempil di pojok gelap; hanya ujungnya yang tampak.

Sebagai judul, hanya ada satu kata: ”MERDEKA”. Di pojok kiri atas, baru kita paham apa isi majalah itu: ”Nomor Peringatan 6 Boelan Repoeblik Indonesia”. Kertasnya sudah menguning, menandakan usianya yang lebih dari separuh abad.

Disajikan dalam bentuk print digital, kulit muka dan isi majalah setebal 124 halaman ini dipamerkan di Galeri Foto Jurnalistik Antara, Pasar Baru, Jakarta—bekerja sama dengan Departemen Komunikasi dan Informatika dan Monumen Pers Solo—untuk menyambut hari kemerdekaan hingga pertengahan September nanti. Dipamerkan juga sejumlah penerbitan dan iklan produk seperti mesin jahit, mentega, atau pakaian wanita yang ada pada era 1945.

Majalah ini terbit pada 17 Februari 1946, persis enam bulan setelah Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan dari Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Yang menerbitkannya redaksi surat kabar harian berjudul sama, Merdeka, pimpinan Burhanuddin Mohammad Diah.

Mengamati isinya satu per satu, mafhumlah kita, berjarak 63 tahun dari peristiwa itu, semangat zaman pada eranya: manusia bebas, revolusi, merdeka! Bacalah pesan Bung Karno yang demikian pekat semangatnya: ”Enam boelan kita telah merdeka. Sesoedah enam abad, masih merdeka! Sekali merdeka, tetap merdeka!” Disusul dengan pesan dari para pemimpin, antara lain Wakil Presiden Hatta dan Perdana Menteri Sjahrir, juga tokoh pergerakan Tan Malaka—lebih senior dari ketiganya—yang tidak menulis pesan khusus, tapi diwakili oleh selebaran Partai Rakyat Indonesia pimpinannya.

Di dalamnya ada kolom serius tentang kondisi negeri, ada cerita, ada sajak-sajak. Tapi dari lembaran-lembaran itu kita juga diingatkan akan sebuah masa yang penuh kekacauan: beras sulit, sewaktu-waktu bisa tertimpa bom Belanda, atau justru sekadar kehilangan momen seperti yang dirasakan Rosihan Anwar. Saat itu ia Redaktur Umum Merdeka. Catatan pribadinya tentang bulan-bulan pertama proklamasi itu dimuat hingga tiga halaman penuh. Rosihan rupanya tidak ada di Jakarta pada 17 Agustus itu. ”Saja lagi istirahat di roemah sakit Boenoet di Soekaboemi,” ia menulis. Rupanya, malaria ”meledak lagi dalam toeboeh”.

Lalu bagaimana kisruhnya suasana rapat Panitia Kemerdekaan yang digelar dua hari setelah proklamasi? Pembicaraan yang kacau dan para pemimpin yang serba gelisah. Apalagi ketika Kasman Singodimedjo, jaksa agung pertama negeri ini, datang. Ia minta Tentara Pembela Tanah Air sebaiknya dibubarkan. ”Semoea jang mendengar terdiam. Sjamsoedin St. Makmur menangis seperti anak ketjil, dia pergi doedoek, sapoetangan dikeloearkan,” Rosihan mencatat.

Dikemas dengan gaya majalah berita, isinya juga mencakup esai foto kehidupan Bung Karno dan Fatmawati ketika Guntur, putra sulung, belum lagi dua tahun. Foto-foto dalam majalah ini ditangani duo bersaudara Mendur, yang—menurut kurator Oscar Motuloh—bersama Justus dan Nyong Umbas, Alex Mamusung, dan Oscar Ganda mendirikan Indonesia Press Photo Service (Ipphos). Sebagian koleksi mereka ikut dipajang di pameran ini.

Tak terbayang kini situasi redaksi yang menurut majalah itu terbit dalam suasana penuh ”djedar-djedor”. Dengan guyon, mereka bercerita tentang sulitnya mencari beras kala itu. Sampai-sampai koran pernah hampir tidak terbit karena para pengetiknya pergi mencari beras ke Klender dan Kara_wang. Kita pun tertawa dengan seloroh para pemuda egaliter ini ketika menertawai janggut baru yang dipelihara pemimpinnya setelah disekap di seksi polisi Pasar Baroe oleh Kenpei—polisi rahasia—Jepang. ”Nampaknja lebih bersemangat dengan djenggotnja jang melengkoeng itoe, karena kalaoe sedang mengoenjah ramboetan, djenggotnja itoe bergojang-gojang….”

Kurie Suditomo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus