Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MERAH PUTIH
(PT Media Desa Indonesia dan Margate House, 2009)
Produser: Jeremy Stewart, Rob Allyn, Hashim Djojohadikusumo
Sutradara: Yadi Sugandi
Penulis Naskah: Rob Allyn dan Connor Allyn
Pemain: Lukman Sardi, Darius Sinathrya, Donny Alamsyah, Zumi Zola, T. Rifnu Wikana
SETIDAKNYA ada dua alasan mengapa film ini dinanti khalayak, bahkan sebelum proses produksinya dimulai. Pertama, biaya pembuatannya mencapai Rp 60-an miliar untuk tiga film—angka terbesar dalam sejarah pembuatan film Indonesia. Kedua, sejak awal, sudah dihebohkan bahwa akan ada sentuhan Hollywood di sini: dari produser, penulis naskah, hingga tim special effect.
Produser asal New York, Amerika Serikat, Jeremy Stewart dan Rob Allyn, bergandengan dengan pengusaha Hashim Djojohadikusumo. Mereka merogoh kocek begitu banyak demi mewujudkan film trilogi berdasarkan kisah Letnan Satu R.M. Subianto Djojohadikusumo dan Kadet R.M. Sujono Djojohadikusumo. Kedua paman Hashim itu gugur melawan Belanda di Lengkong, Jawa Tengah, pada 1946.
Maka direkrutlah para spesialis film perang Hollywood: koordinator special effect Adam Howarth (Saving Private Ryan, Black Hawk Down), make up dan visual effect Rob Trenton (Batman-The Dark Knight), dan ahli persenjataan John Bowring (The Matrix, The Thin Red Line, X-Men Origins: Wolverine). Wow!
(Calon) penonton kian tak sabar menanti film yang diklaim sebagai ”drama perang Indonesia bergaya Hollywood” ini. Lama tiada, baru kini ada yang film bergenre perang. Pada 1970an dan 1980-an, kita punya sederet film berlatar revolusi kemerdekaan. Beberapa judul yang terkenal: Janur Kuning (1980), Serangan Fajar (1982), dan Lebak Membara (1983). Yang terakhir, yang ternyata masih belum tertandingi adalah Tjut Nyak Dhien karya Erros Djarot.
Merah Putih mengisahkan sekelompok pemuda berbeda suku, agama, dan latar belakang. Ada Amir (Lukman Sardi), Marius (Darius Sinathrya), Thomas (Donny Alamsyah), Surono (Zumi Zola), dan Dayan (Teuku Rifnu Wikana). Dengan niat yang berbeda, mereka mendaftar ke Sekolah Tentara Rakyat. Amir, seorang guru yang tengah menanti kelahiran anak pertama, tergerak lantaran melihat muridnya tertembak oleh tentara Belanda. Sedangkan Surono bergabung demi mengikuti jejak ayahnya yang dulu juga berjuang di medan perang. Merekalah Band of Brothers versi Indonesia.
Latar belakang lokasi dan waktu hanya disebut: Jawa Tengah, 1947. Hingga akhir film, tak ada secuil pun keterangan ataupun ilustrasi di sudut Jawa Tengah manakah peristiwa ini terjadi. Seolah-olah peperangan—yang sejatinya terinspirasi Agresi Militer Belanda II pimpinan Van Mook—ini terjadi di negeri antah berantah.
Film ini mengabaikan detail penting yang dituntut oleh sebuah film sejarah: kostum, ilustrasi musik, dan latar belakang lokasi pada masa itu. Tidak ada ilustrasi bangunan, artistik, atau apa pun yang spesifik yang menggambarkan film berlatar tahun 1947. Sulit bagi kita membedakan film ini berlatar tahun 1947 atau 2009. Bahkan di salah satu adegan—ketika truk-truk Belanda melintasi desa—tampak jalanan sudah mulus teraspal. Baju seragam pun terlihat rapi jali seperti sering disetrika.
Padahal penulis skenario Rob dan Connor Allyn—ayah dan anak—dan timnya tak hanya membaca buku sejarah kemerdekaan dan tentara Indonesia, tapi juga meninjau lokasi-lokasi asli peperangan dan mewawancarai sejumlah veteran perang.
Film ini juga lemah dalam dialog: berpanjang-panjang, kaku, dan tidak membumi. Naskah awal memang di_garap dalam bahasa Inggris. Walhasil, banyak ungkapan yang terasa sebagai terjemahan belaka—tak sesuai dengan konteks lokal. Misalnya, saat mengajak istrinya berdansa, Amir bilang, ”Pernahkah kamu berdansa dengan tentara?” Terasa sekali itu terjemahan dari Have you ever dance with a soldier? Begitu juga humor tentara yang kerap terlontar: mungkin lucu dalam bahasa Inggris, tapi tidak pas dalam konteks bahasa Indonesia, sehingga adegan dan dialog terasa dicangkok dari tanah Hollywood ke Indonesia.
Lukman Sardi, yang sejatinya menjadi harapan film ini, juga ikut terseret dialog yang membosankan itu. Aktingnya jauh berbeda saat ia tampil di Berbagi Suami (2006) atau May (2008). Yang justru menjanjikan adalah Rifnu Wikana—9 Naga (2006) dan Laskar Pelangi (2008). Ia sukses berperan sebagai Dayan, pemuda Bali yang bijak sekaligus humoris.
Selebihnya hambar. Jangankan membangkitkan nasionalisme, menikmati film ini sebagai hiburan saja sulit. Masih bisakah kita berharap pada dua film berikutnya? Mudah-mudahan penonton tak dikecewakan lagi. Persoalannya akhirnya bukan pada kedahsyatan ahli dari tanah Hollywood dan miliaran rupiah untuk ongkos produksi, tetapi apakah yang terpampang di layar itu berhasil menyentuh dan mewakili isi hati penonton.
Andari Karina Anom
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo