Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Menonton Teater Lungid yang Berbeda

Di Festival Salihara, Teater Lungid mementaskan naskah yang ditulis Goenawan Mohamad. Format baru, tapi masih memikat.

24 Agustus 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIDAK setiap orang siap dengan perubahan. Bagi mereka, suatu perkembangan bisa diterima sebagai bencana. Suatu penampilan yang berbeda pun disikapi sebagai kesalahan. Begitu pula ketika orang datang menyaksikan penampilan Teater Lungid saat membawakan naskah Visa, yang ditulis Goenawan Mohamad, pada 14 dan 15 Agustus lalu di Salihara.

Festival Salihara 2009 ditutup dengan penampilan Teater Lungid dari Surakarta. Kelompok yang sebelumnya bernama Teater Gapit ini dikenal sebagai kelompok teater berbahasa Jawa ngoko, yang biasanya tampil dengan naskah seperti Rol, Leng, Stup, Dom, Reh, dan Tuk, yang semuanya merupakan karya Bambang Widoyo Sp. Naskah-naskah itu berbicara tentang masyarakat kelas bawah dalam nada kelam, dan dipentaskan dengan bentuk realis yang memikat.

Berbeda dengan naskah-naskah yang biasanya mereka pentaskan—yang sarat konflik dan beralur ganda—Visa yang ditulis Goenawan Mohamad ini justru tanpa alur. Konflik hanya ada di masing-masing karakter, yang memiliki latar belakang sosial berbeda. Peran-peran dalam naskah ini pun kalangan orang berpunya, seperti nenek yang akan menengok cucunya di Amerika, atau bahkan seorang pengusaha.

Meskipun demikian, Visa tampak ingin berbicara tentang cukup banyak hal. Mencermati naskah ini, kita akan diajak menyimak bagaimana sejumlah orang dengan latar belakang dan kepentingan berbeda dipersatukan oleh kebutuhan yang sama akan visa. Dengan setting ruang kantor pengurusan visa di Kedutaan Amerika, mereka bersisapa, bergaul, membocorkan persoalan-persoalan domestik ke ruang publik.

Pada bagian lain, naskah ini juga seperti ingin mencatat nisbinya nasib orang-orang di hadapan birokrasi pemberian visa, ketika kelengkapan dokumen tidak dapat menjamin permohonan seseorang akan dikabulkan. Belum lagi pertanyaan-pertanyaan remeh yang terkadang terkesan mengada-ada tapi dapat menjadi sandungan ketika kesulitan menjawabnya.

Teater Lungid mengawali pertunjukan dengan tembang-tembang jenaka, mengisyaratkan bahwa pertunjukan mereka bukan sesuatu yang harus dihadapi serius. Menggunakan alat-alat musik gender barung, slenthem, dan gambang yang dipadukan dengan biola, klarinet, banjo, dan marakas, Yayat Suhiryatna berhasil mengemas musik yang efektif dan memenuhi tuntutan pertunjukan. Setelah sedikit pidato pengantar, dimulailah permainan yang sebenarnya.

Seorang laki-laki, petugas penerima formulir (dimainkan Bangun Santoso), masuk ke ruang tunggu yang masih sepi. Ia mengecek lampu ruangan dengan cara menepukkan tangan, menandai kecanggihan teknologi di ruangan itu, lalu bergerak menuju posnya, sebuah loket di sudut ruang.

Satu demi satu pemohon visa berdatangan setelah melewati pintu dengan detector, menyerahkan formulir, dan mengisi kursi-kursi yang tersedia. Lalu percakapan pun berlangsung seperti suatu keniscayaan, dari menanyakan jam kedatangan, maksud dan tujuan bepergian, sampai melarat-larat ke berbagai persoalan. Salah seorang pendaftar (dimainkan Gendut), yang begitu mempercayai takhayul, memercik-mercikkan air putih dan membaca mantra-mantra untuk memperlancar permohonan visanya.

Melihat panggung yang dipenuhi kursi-kursi beraneka warna, penonton diberi penanda bahwa lakon ini memang berformat nonrealistis, sehingga peristiwa di ruang tersebut pun tidak membutuhkan akurasi dengan keadaan sebenarnya. Tidak terlihat antrean panjang atau sibuknya petugas keamanan.

Naskah Visa ditulis oleh Goenawan Mohamad dalam bahasa Indonesia, tapi dengan sejumlah pertimbangan kemudian diterjemahkan dan diadaptasi oleh Pelok Trisno Santoso. Konon, melalui proses yang panjang dan sulit, akhirnya Jarot B. Dharsono sebagai sutradara berhasil memecahkan berbagai kendala yang mereka hadapi dan mencapai bentuk sebagaimana mereka tampilkan. Penggunaan bahasa Inggris berdialek Jawa pun merupakan upaya yang menyegarkan pertunjukan.

Pemain seperti Wahyu Inong, Cempluk Lestari, dan Budi Bodhot bermain gemilang. Sejak awal hingga akhir pertunjukan, peran mereka sangat besar dalam menggiring penonton dari satu suasana ke suasana lain. Kalaupun ada hal yang perlu dicatat dari pertunjukan itu adalah sebagian pemain masih tampak canggung dengan pilihan bentuk pemanggungan dan sebagian pemain belum menyikapi dialog-dialog sebagai milik, yang kadang membuat penikmatan terganggu.

Pertunjukan berakhir dengan munculnya kembali seseorang (dimainkan Srimulyani)—yang masuk bersama yang lainnya di awal adegan tapi kemudian menghilang—secara tiba-tiba dengan visa di tangan, berjalan ke luar ruangan. Para pendaftar terenyak, sementara di layar tampak lembaran dolar melayang-layang.

Barangkali banyak penggemar lama Teater Lungid merasa kehilangan. Namun, harus diakui, kelompok ini telah berhasil mempertahankan reputasinya sebagai kelompok yang memiliki daya pikat, meski dengan format pertunjukan yang sama sekali berbeda.

Ags. Arya Dipayana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus