Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Jumlah kekerasan terhadap pekerja rumah tangga bertambah setiap tahun.
Pembahasan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga terganjal oleh PDI Perjuangan dan Golkar.
Sebagian majikan mulai menyadari pentingnya perlindungan dan kesejahteraan untuk pekerja rumah tangga.
SRI Siti Marni, 25 tahun, masih trauma mengingat peristiwa yang dialaminya selama sekitar sembilan tahun. Lebih dari sepertiga masa hidupnya itu, Ani—panggilannya—dikurung dan disiksa oleh majikannya, Meta Hasan Musdalifah. “Kalau diingat lagi, ya masih trauma. Kalau bisa, saya enggak mau lagi jadi pekerja rumah tangga,” kata Ani kepada Tempo, Kamis, 17 Juni lalu, sehari setelah peringatan Hari Pekerja Rumah Tangga Internasional.
Pada 2007, saudaranya mengenalkan Ani kepada Musdalifah. Menurut Ani, saat itu Musdalifah berjanji menyekolahkan dia di Jakarta. Dari rumahnya di Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Ani yang saat itu masih berusia 11 tahun dan baru lulus sekolah dasar pun berangkat ke rumah Musdalifah di Utan Kayu, Matraman, Jakarta Timur. Selama delapan bulan pertama, majikannya itu memperlakukan dia dengan baik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca: Kisah Sukses TKI, Hampir Diperkosa dan Menjadi Penulis Novel
Lalu tibalah mimpi buruk itu. Alih-alih disekolahkan, Ani justru dianiaya. Musdalifah pernah mengguyur tubuh Ani dengan air panas hingga kulitnya melepuh. Badannya pun pernah disetrika sampai kulitnya terbakar. Dalam kondisi itu, Ani dipaksa terus bekerja. Suatu hari Musdalifah menuding Ani tak membersihkan kotoran kucing di kandang. Kemudian ia memaksa Ani memakan tinja kucing tersebut.
Pada Februari 2016, saat Musdalifah lengah, Ani berhasil kabur dengan memanjat pagar rumah setinggi dua meter. Ia meminta pertolongan kepada tetangga yang kemudian mengantarnya ke kantor polisi. Polisi yang menggerebek rumah itu menemukan ada tiga pekerja rumah tangga lain yang juga disiksa oleh Musdalifah dan suaminya. Bahkan ada pekerja yang juga mengalami kekerasan seksual.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seperti juga Ani, mereka tidak pernah mendapat bayaran dari majikannya. Hingga kasusnya dibawa ke meja hijau dan majikannya dipenjara, mereka tak mendapat kompensasi apa pun. Ani hanya mendapat perawatan di rumah sakit, itu pun dengan dibantu oleh lembaga masyarakat sipil, seperti Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) dan Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK).
Koordinator Nasional Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga Lita Anggraini mengatakan kekerasan terhadap pekerja rumah tangga terus meningkat setiap tahun. Pada 2018, Jala PRT mencatat ada 434 kasus kekerasan. Tahun berikutnya, jumlahnya bertambah menjadi 467 kasus. Tahun lalu, jumlah itu melonjak hingga 897 kasus. Adapun jumlah kasus sementara hingga April tahun ini sebanyak 437.
Menurut Lita, sebagian besar kasus itu merupakan kekerasan ekonomi, seperti gaji tak dibayar atau dipotong, pemutusan hubungan kerja, hingga tak mendapat tunjangan hari raya. Sebagian lagi terkait dengan dugaan pelecehan seksual, penyekapan, penyalur yang bermasalah, kekerasan fisik, dan perdagangan manusia. “Hampir semua kasus itu tidak sampai ke pengadilan karena dianggap tidak ada bukti,” tuturnya.
Baca: Investigasi Tempo, Perbudakan TKI di Sarang Burung Walet
Pekerja rumah tangga, kata Lita, termasuk berkategori rentan. Sebab, belum ada payung hukum yang mengatur perlindungan terhadap mereka. Lita mencontohkan, dinas tenaga kerja tak bisa ikut menyelesaikan persoalan gaji atau THR karena pekerja rumah tangga tidak berstatus pekerja atau memiliki hubungan kerja yang jelas. Payung hukum itu jelas diperlukan mengingat jumlah pekerja rumah tangga di Indonesia cukup banyak. Survei Organisasi Buruh Internasional (ILO) dan Universitas Indonesia pada 2015 menunjukkan ada 4,2 juta orang menjadi pekerja rumah tangga.
Hingga kini, Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga belum disahkan. Padahal peraturan itu sudah diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat pada 2004. Bolak-balik masuk program legislasi nasional, pasal-pasal dalam RUU PPRT tak pernah dibahas di Senayan. Pertengahan tahun lalu, RUU PPRT disetujui sebagai usul inisiatif DPR dalam rapat pleno Badan Legislasi. Namun Badan Musyawarah—alat kelengkapan Dewan yang berisi pimpinan DPR serta pimpinan fraksi—tak meloloskan rancangan itu untuk dibahas. Tahun ini draf tersebut kembali masuk program legislasi nasional.
Baca: Investigasi Tempo, Rute Gelap Pengais Ringgit
Jika RUU PPRT disahkan, hubungan kerja antara pekerja rumah tangga dan majikannya bakal lebih jelas. Sebagian pasal dalam rancangan tersebut mengatur perlindungan dan kesejahteraan untuk pekerja rumah tangga. Misalnya ada pengaturan usia pekerja minimal 18 tahun, jam kerja, waktu libur, besaran upah, serta tunjangan kesehatan dan THR.
Berupaya mengegolkan RUU tersebut, Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) bersama sejumlah organisasi masyarakat sipil lain, termasuk Jala PRT, terus melobi DPR. Komisioner Komnas Perempuan Theresia Iswarini mengatakan lembaganya membentuk tim lobi yang bertugas mendekati anggota Dewan. “Kami terus berupaya agar RUU PPRT segera dibahas dan disahkan,” ujar Theresia.
Menurut Theresia, sebanyak tujuh dari sembilan fraksi di Dewan mendukung pembahasan rancangan tersebut. Salah satu yang mendukung segera dibahasnya RUU PPRT adalah Fraksi NasDem. Wakil Ketua Badan Legislasi dari NasDem, Willy Aditya, mengatakan RUU ini penting segera dibahas karena maraknya kasus kekerasan terhadap pekerja rumah tangga. Willy mengakui masih ada fraksi yang khawatir RUU ini bakal mengubah aturan perekrutan pekerja rumah tangga yang semula informal menjadi formal. “Padahal aturan ini berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak,” ujar Willy.
Ganjalan pembahasan draf tersebut datang dari dua fraksi terbesar di DPR, yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Golongan Karya. Dua partai itu beranggapan aturan itu bakal menyusahkan masyarakat. Anggota Badan Legislasi dari Fraksi Golkar, Firman Subagyo, mengatakan partainya belum melihat urgensi rancangan aturan tersebut. Ia mencontohkan, tidak semua orang sanggup membayar gaji pekerja rumah tangga sesuai dengan upah minimum atau memberikan tunjangan kesehatan.
Ratusan massa perempuan pekerja rumah tangga (PRT) melakukan unjuk rasa menuntut pengesahan RUU PPRT di kawasan Thamrin, Jakarta Pusat, Mei 2018. TEMPO/M. Taufan Rengganis
Firman juga menyoroti soal pengaturan jam kerja dalam rancangan tersebut. Kalau terjadi kelebihan jam kerja, pekerja rumah tangga bisa saja meminta uang lembur. Dampaknya, beban majikan akan bertambah. “Selama ini proses perekrutan pekerja rumah tangga lebih banyak didasarkan pada pendekatan sosio-kultural yang berlandaskan jam kerja dan gotong royong,” kata Firman.
Anggota Badan Legislasi dari Fraksi PDI Perjuangan, Hendrawan Supratikno, menganggap RUU PPRT perlu digodok kembali sebelum dibahas. PDI Perjuangan menilai hubungan antara pekerja rumah tangga dan majikan bukan relasi transaksional. “Aspek rasional dan kultural itu tidak boleh direduksi menjadi transaksional,” ucapnya. Menurut Hendrawan, RUU tersebut harus berorientasi pada relasi kekeluargaan, keadilan, dan perlindungan hukum.
Benarkah RUU itu bakal mempersulit majikan? Komisioner Komnas Perempuan Theresia Iswarini mengatakan tidak ada poin dalam RUU PPRT yang berseberangan dengan nilai kekeluargaan. Ia mencontohkan besaran gaji, jam kerja, dan hari libur bisa dikompromikan oleh majikan dan pekerja rumah tangga. “Jadi tidak harus mengikuti upah minimum,” kata Theresia.
Komnas Perempuan sudah bersurat dan berkomunikasi dengan sejumlah kader partai banteng untuk berdialog dengan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri juga dengan Ketua PDIP sekaligus Ketua DPR, Puan Maharani. Komnas Perempuan bermaksud menjelaskan secara menyeluruh soal isi RUU PPRT. Namun permintaan itu belum mendapat respons. Theresia berharap dua partai yang menolak bisa melihat urgensi pembahasan RUU PPRT. Adapun menurut Hendrawan, partainya terbuka untuk berkomunikasi.
Meski belum ada payung hukum yang jelas, sejumlah majikan sudah mulai menyadari pentingnya perlindungan dan kesejahteraan untuk pekerja rumah tangga. Dea Noviana, tenaga kesehatan yang bekerja di salah satu rumah sakit di Yogyakarta, tak mempersoalkan sistem kontrak kerja dengan pekerja rumah tangga. Menurut dia, sistem kontrak justru memperjelas hak dan kewajiban majikan serta pekerja.
Tak hanya membayar gaji untuk Siti Islamiyah, pekerja di rumahnya, Dea juga merogoh kocek untuk membayar iuran jaminan sosial ketenagakerjaan senilai Rp 30 ribu per bulan. Ia pun memberikan tunjangan hari raya sebesar satu kali gaji Siti, yaitu Rp 2,3 juta. Siti juga mendapat jatah libur sehari sepekan. “Saya sebagai pekerja juga memerlukan waktu istirahat. Jadi wajar kalau pekerja rumah tangga mendapat libur,” katanya.
Pun Siti Islamiyah yang bekerja sebagai pengasuh anak membenarkan soal fasilitas yang diterimanya. Perempuan 38 tahun ini telah bekerja sekitar lima tahun di rumah Dea dan tak pernah merasa kekurangan sebagai pekerja rumah tangga. “Semua kebutuhan saya terpenuhi,” ucapnya.
DEVY ERNIS, BUDIARTI UTAMI PUTRI, EGI ADYATAMA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo