Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Mengoreksi Surat Ganjil

Pengadilan menyatakan bahwa penghentian penuntutan kasus Soeharto tidak sah. Dalih kejaksaan dinilai janggal.

19 Juni 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEPUK tangan pecah begitu hakim selesai membacakan putusan. Sejumlah pengunjung lalu berlari ke luar ruang dan mementaskan drama singkat. Seorang pria berkopiah duduk terpekur tanpa daya seperti terdakwa, sementara beberapa orang membacakan dosa-dosanya selama menjadi presiden. Pria itu sedang memerankan diri sebagai bekas presiden Soeharto.

Itulah cara aktivis Gerakan Masyarakat Adili Soeharto (Gemas) menyambut vonis yang diketukkan hakim tunggal Andi Samsan Nganro, Senin pekan lalu. Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan itu membuat keputusan mengejutkan. Dia memenangkan gugatan praperadilan terhadap kejaksaan yang mengeluarkan surat ketetapan penghentian penuntutan terhadap kasus Soeharto pada awal Mei lalu. ”Surat itu tidak sah dan pengadilan menyatakan penuntutan perkara Soehato dibuka dan dilanjutkan,” kata Andi dalam putusannya.

Kejaksaan menghentikan penuntutan kasus Soeharto dengan alasan pria 85 tahun ini menderita kerusakan otak permanen. Menurut Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, dengan kondisi seperti itu ia tak mungkin diperiksa. Beberapa tahun lalu, Soeharto sempat dibawa ke pengadilan dengan tuduhan melakukan korupsi yang merugikan negara sekitar Rp 1,7 triliun lewat tujuh yayasan yang didirikannya.

Langkah yang diambil kejaksaan menuai reaksi keras. Unjuk rasa yang menuntut Soeharto agar tetap diperiksa merebak di sejumlah daerah. Sejumlah aktivis Gemas mendesak Jaksa Agung mencabut surat penghentian penuntutan itu. Organisasi yang bergabung dalam gerakan ini antara lain Indonesia Corruption Watch, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, dan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia. ”Surat ketetapan itu melukai rasa keadilan masyarakat,” kata Johnson Panjaitan dari PBHI.

Tak hanya berdemo, bersama Asosiasi Penasihat Hukum dan HAM, Gemas membawa kasus ini ke meja hijau, awal Juni lalu. Mereka mempraperadilankan Kejaksaan Agung. Menurut Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Uli Parulian Sihombing, keputusan kejaksaan cacat hukum lantaran tak sesuai dengan pasal 140 ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Pasal itu memuat tiga syarat penghentian penuntutan, yakni tidak ditemukan cukup bukti, perkara bukan tindak pidana, serta perkara ditutup demi hukum. Menurut Uli, syarat pertama sudah jelas: jaksa mempunyai bukti bahwa Soeharto melakukan korupsi di tujuh yayasan yang didirikannya. Syarat kedua, kasus Soeharto memang masalah pidana. Adapun syarat ketiga, sesuai dengan pasal 44 KUHP, kasus ini hanya bisa ditutup demi hukum jika terdakwa sakit jiwa. ”Padahal Soeharto hanya mengalami kerusakan otak,” kata Uli.

Hakim Andi sependapat dengan para penggugat. Menurut dia, kejaksaan bahkan tidak melakukan prosedur hukum seperti yang diperintahkan Mahkamah Agung dalam mengobati Soeharto. Seharusnya kejaksaan melaporkan perkembangan pengobatan Soeharto pada sebuah pengadilan terbuka. ”Ini jaksa justru menutup perkara demi hukum, tindakan itu bertentangan dengan putusan MA,” katanya.

Menurut Andi, dalih kejaksaan menutup perkara ini juga ganjil. Alasan kesehatan tidak dikenal dalam doktrin hukum pidana. ”Dalam KUHP hanya dikenal alasan meninggal, tidak dapat dituntut untuk perkara yang sama, dan kedaluwarsa,” kata Andi.

Kejaksaan sendiri melakukan banding atas vonis tersebut, Selasa pekan lalu. ”Kalau banding kalah, masih ada upaya hukum lain,” kata Abdul Rahman Saleh. Menurut juru bicara Kejaksaan Agung I Wayan Pasek Suarta, kejaksaan tak melakukan kesalahan apa pun dalam mengeluarkan surat penghentian penuntutan. ”Karena itu kami yakin permohonan banding kami akan dikabulkan pengadilan tinggi,” ujarnya.

Sebelum kejaksaan mengeluarkan surat ketetapan penghentian penuntutan itu, sebenarnya tim pengacara Soeharto sudah meminta kejaksaan mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) kasus Soeharto. Dari dokumen yang diterima Tempo, O.C. Kaligis, salah satu pengacara Soeharto, juga sudah empat kali mengirim surat ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, meminta perkara kliennya itu ditutup. Surat pertama untuk SBY dikirim pertama kali pada 20 Oktober 2004, beberapa saat setelah ia dilantik menjadi presiden.

Dalam suratnya itu, Kaligis menyatakan, saat dirinya berbincang-bincang dengan Soeharto, mantan presiden tersebut ingin kasusnya dihentikan. ”Beliau berharap kasusnya, baik penyidikan maupun penuntutannya, dihentikan Kejaksaan Agung,” kata Kaligis. Harapan itu memang sempat terkabul kendati kini pengadilan mengoreksinya lagi.

L.R. Baskoro, Badriah, Agung Wijaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus