INILAH pertanyaannya: Adakah musik dari suku Dayak termasuk
musik, atau hanya sekedar alat untuk mengiringi doa-doa dan
mantera-mantera dalam upacara adat?
Para peserta Penelitian Musik Pedusunan Yang Terancam Musnah
--proyek: "A Study of Malay Culture"- sebelum turun ke rimba
sudah mengkaji-kajinya. Sebentar lagi mereka akan melangsungkan
diskusi di Jakarta. Tapi boleh jadi juga pertanyaan tersebut
akan tetap belum terjawab tuntas.
Ini memang usaha Unesco. Musik pedusunan yang dijadikan objek
meliputi kawasan Maluku, Sumatera, Kalimantan, Serawak,
Semenanjung Melayu. Termasuk Hulu Muang Thai, Laos, Kam boja dan
Vietnam. "Jenis musik di daerah-daerah itu paling kurang
mendapat perhatian untuk diteliti, dibandingkan musik garnelan
Jawa, Bali dan orkestra Muangthai", demikian keterangan dalam
rencana proyek.
Sebetulnya Indonesia sendiri pernah mengajukan penelitian musik
untuk daerah Nias, KalBar dan Kutai. "Tapi di Kutai ternyata
jenis musiknya lebih banyak sesuai dengan banyaknya suku yang
ada. Sedang di Nias dan KalBar hanya ada suku Nias dan Dayak
Iban" jawab Sumarsis - pejabat kebudayaan Indonesia -- Dirjen
Kebudayaan Indonesia. Kelompok studi kebudayaan Melayu pada
akhirnya mendahulukan daerah Kutai.
Ini berarti usaha bupati Achmad, Dahlan alumni Gajah Mada, yang
ngebet ingin menyelamatkan kesenian tradisionil Kutai tak
sia-sia. Orang ini pernah menyelenggarakan pesta adat Erau,
secara besar-besaran di ibukota kabupaten, sehingga nyaris
dikecam sebagai pemborosan. Waktu itu semua suku dan anak suku
dikerahkan berlomba dalam pesta, sehingga mereka terpaksa
kembali mempelajari kesenian masing-masing, supaya tidak kalah
dengan suku lainnya.
Dirjen Kebudayaan Prof. Ida Bagus Mantra sempat hadir. Pesta
yang tidak pernah dilaksanakan lagi sejak puluhan tahun itu,
menarik hatinya. Ia membawa keprihatinan kesenian Kutai, ke
konperensi "Kebudayaan Melayu" di Bali tahun 1974 yang lalu.
Kerepotan ini milik Unesco -- sebagai kelanjutan konperensi meja
bundar mengenai penelitian musik di Wilayah Asia Tenggara yang
diselenggarakan di Manila setahun sebelumnya. Demikianlah Kutai
tertolong dari maut.
Lalu para ahli ethno-musikologi dari Malaysia, Singapura, Birma,
Thailand dan Malagasi muncul di bawah pimpinan Prof. Dr. Yose
Maceda dari Pilipina. Unesco sendiri mengirimkan tenaga ahli
dari Paris. Dengan menunggang kapal klotok biasa ekspedisi ini
merambat di sungai Mahakam.
Syukurlah mereka cukup sabar, meskipun perjalanan amat lamban.
Tiba di pedalaman, selama 20 hari mereka mengenyam perawatan
losmen terapung. Mandi di kali setempat, karena tidak ada
kesempatan lain. Hanya utusan dari Malagasi yang tidak sudi
mandi di kali. Bukan karena sombong -- hanya ingat pesan
"neneknya" - supaya hati-hati terhadap sungai di Kalimantan.
Berkali-kali dibujuk, toh tetap nggak mau buka baju.
Sampai akhir bulan April yang lalu, telah berhasil diteliti 60
buah jenis musik termasuk lagunya dari kecamatan Muara Wahau dan
Muara Ancalong. Letaknya jauh di perut rimba KalTim. Hasil
penelitian masih tertutup rapat. Semua anggota ekspedisi
membungkam. "Soalnya masih akan didiskusikan di Jakarta", tukas
Mohamad Aini, Kepala Kabin Kebudayaan KalTim kepada koresponden
TEMPO di Samarinda. Hasil diskusi itu, seperti dikatakan I Made
Bandem dari Indonesia, akan dituangkan dalam sebuah rekomendasi
untuk diajukan ke Unesco. "Kita juga mengharapkan berdirinya
Akademi Musik Tradisionil setelah penelitian ini", kata Aini .
Sedikit dapat dikabarkan bahwa para peneliti menemui adanya
persamaan alat musik Kutai dengan instrumen negara tetangga. Ada
yang bernama "Gerdek" - alat tiup yang terdiri dari 5 lonjor
bambu yang diikat jadi satu. Ditancapkan pada labu yan sudah
dikeringkan. Ada juga yang bernama "Sampe" -- sejenis gitar yang
berdawai tiga. Hal-hal ini mungkin akan menjadi bahan diskusi
yang menarik, kalau apa yang diketemukan itu memang mau
dinamakan musik.
Sementara itu Yose Maceda tampak tidak puas. Setelah melepas
anggota ekspedisi ke negara masing-masing ia tidak cepat-cepat
pulang ke Pilipina. Ketua Akademi Musik Manila ini, masuk
kembali ke pedalaman, untuk merogoh rimba musik yang masih gelap
itu. Tak banyak yang bisa diketahui, apa yang dikerjakannya.
Belajar main musik, atau malah mengumpulkan anggerek. Yang
terang muncul kawatnya ke rumah: "Minta duit!".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini