Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Merogoh bunyi rimba

Unesco sponsori penelitian musik pedusunan di kutai. berhasil diteliti 60 buah jenis musik termasuk lagunya dari muara wahau dan muara ancalong. instrumen kutai mirip instrumen negara tetangga.

11 Juni 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INILAH pertanyaannya: Adakah musik dari suku Dayak termasuk musik, atau hanya sekedar alat untuk mengiringi doa-doa dan mantera-mantera dalam upacara adat? Para peserta Penelitian Musik Pedusunan Yang Terancam Musnah --proyek: "A Study of Malay Culture"- sebelum turun ke rimba sudah mengkaji-kajinya. Sebentar lagi mereka akan melangsungkan diskusi di Jakarta. Tapi boleh jadi juga pertanyaan tersebut akan tetap belum terjawab tuntas. Ini memang usaha Unesco. Musik pedusunan yang dijadikan objek meliputi kawasan Maluku, Sumatera, Kalimantan, Serawak, Semenanjung Melayu. Termasuk Hulu Muang Thai, Laos, Kam boja dan Vietnam. "Jenis musik di daerah-daerah itu paling kurang mendapat perhatian untuk diteliti, dibandingkan musik garnelan Jawa, Bali dan orkestra Muangthai", demikian keterangan dalam rencana proyek. Sebetulnya Indonesia sendiri pernah mengajukan penelitian musik untuk daerah Nias, KalBar dan Kutai. "Tapi di Kutai ternyata jenis musiknya lebih banyak sesuai dengan banyaknya suku yang ada. Sedang di Nias dan KalBar hanya ada suku Nias dan Dayak Iban" jawab Sumarsis - pejabat kebudayaan Indonesia -- Dirjen Kebudayaan Indonesia. Kelompok studi kebudayaan Melayu pada akhirnya mendahulukan daerah Kutai. Ini berarti usaha bupati Achmad, Dahlan alumni Gajah Mada, yang ngebet ingin menyelamatkan kesenian tradisionil Kutai tak sia-sia. Orang ini pernah menyelenggarakan pesta adat Erau, secara besar-besaran di ibukota kabupaten, sehingga nyaris dikecam sebagai pemborosan. Waktu itu semua suku dan anak suku dikerahkan berlomba dalam pesta, sehingga mereka terpaksa kembali mempelajari kesenian masing-masing, supaya tidak kalah dengan suku lainnya. Dirjen Kebudayaan Prof. Ida Bagus Mantra sempat hadir. Pesta yang tidak pernah dilaksanakan lagi sejak puluhan tahun itu, menarik hatinya. Ia membawa keprihatinan kesenian Kutai, ke konperensi "Kebudayaan Melayu" di Bali tahun 1974 yang lalu. Kerepotan ini milik Unesco -- sebagai kelanjutan konperensi meja bundar mengenai penelitian musik di Wilayah Asia Tenggara yang diselenggarakan di Manila setahun sebelumnya. Demikianlah Kutai tertolong dari maut. Lalu para ahli ethno-musikologi dari Malaysia, Singapura, Birma, Thailand dan Malagasi muncul di bawah pimpinan Prof. Dr. Yose Maceda dari Pilipina. Unesco sendiri mengirimkan tenaga ahli dari Paris. Dengan menunggang kapal klotok biasa ekspedisi ini merambat di sungai Mahakam. Syukurlah mereka cukup sabar, meskipun perjalanan amat lamban. Tiba di pedalaman, selama 20 hari mereka mengenyam perawatan losmen terapung. Mandi di kali setempat, karena tidak ada kesempatan lain. Hanya utusan dari Malagasi yang tidak sudi mandi di kali. Bukan karena sombong -- hanya ingat pesan "neneknya" - supaya hati-hati terhadap sungai di Kalimantan. Berkali-kali dibujuk, toh tetap nggak mau buka baju. Sampai akhir bulan April yang lalu, telah berhasil diteliti 60 buah jenis musik termasuk lagunya dari kecamatan Muara Wahau dan Muara Ancalong. Letaknya jauh di perut rimba KalTim. Hasil penelitian masih tertutup rapat. Semua anggota ekspedisi membungkam. "Soalnya masih akan didiskusikan di Jakarta", tukas Mohamad Aini, Kepala Kabin Kebudayaan KalTim kepada koresponden TEMPO di Samarinda. Hasil diskusi itu, seperti dikatakan I Made Bandem dari Indonesia, akan dituangkan dalam sebuah rekomendasi untuk diajukan ke Unesco. "Kita juga mengharapkan berdirinya Akademi Musik Tradisionil setelah penelitian ini", kata Aini . Sedikit dapat dikabarkan bahwa para peneliti menemui adanya persamaan alat musik Kutai dengan instrumen negara tetangga. Ada yang bernama "Gerdek" - alat tiup yang terdiri dari 5 lonjor bambu yang diikat jadi satu. Ditancapkan pada labu yan sudah dikeringkan. Ada juga yang bernama "Sampe" -- sejenis gitar yang berdawai tiga. Hal-hal ini mungkin akan menjadi bahan diskusi yang menarik, kalau apa yang diketemukan itu memang mau dinamakan musik. Sementara itu Yose Maceda tampak tidak puas. Setelah melepas anggota ekspedisi ke negara masing-masing ia tidak cepat-cepat pulang ke Pilipina. Ketua Akademi Musik Manila ini, masuk kembali ke pedalaman, untuk merogoh rimba musik yang masih gelap itu. Tak banyak yang bisa diketahui, apa yang dikerjakannya. Belajar main musik, atau malah mengumpulkan anggerek. Yang terang muncul kawatnya ke rumah: "Minta duit!".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus