IWAN Abdulrachman usia hampir 30 tahun, kini asisten dosen,
golongan III a/PGPS di Fakultas Pertanian Universitas
Padjadjaran. Tingginya 1.69 cm. Berat 67 kg. Masih main silat,
naik gunung dan menulis lagu. Sudah punya anak berusia 15 bulan.
Setelah 3 tahun lenyap (terakhir di TIM, bulan Juli 1974)
bersama Grup Pencinta Lagu Unpad (GPL) yang berkekuatan 40
orang, ia muncul di Gelanggang Renang Ancol. Memperkuat
barisannya adalah Rudi Jamil, Benny Subardja dan Albert Warnerin
- dua yang terakhir ini adalah gembong grup rok Giant Step.
Di bawah ini wawancara yang dilakukan oleh Edy Herwanto di
Hostel Ancol. Tatkala mereka habis latihan sebelum pertunjukan.
Tanya: Sudah lama tidak nongol, kenapa?
Iwan: Banyak di antara anggota GPL yang sibuk menyelesaikan
skripsi atau kerja di lapangan. Maklum anggota GPL banyak di
tingkat lanjut. Tapi kami sudah mengadakan kaderisasi.
Kaderisasi GPL tidak dilakukan terbuka. Kepada beberapa
mahasiswa yang kelihatannya berbakat, anggota GPL senior
memberikan rekomendasi untuk menjadi anggota baru.
Tanya: Kenapa tidak terbuka?
Iwan: Sebab masalahnya ini 'kan usaha sampingan saja? Kami
mencari teman baru yang sefaham, kami ajak untuk hidup
berkelompok dan utuh. Pendeknya interesnya bukan di musik saja.
Sebab tujuan sebenarnya adalah hidup berkelompok secara
kekeluargaan dan latihan disiplin. Toh meskipun mereka sibuk
dengan GPL, prestasi akademis mereka ketika menempuh ujian
sarjana tidak mengecewakan. Yah herannya kenapa GPL masih tetap
ada. Ini memang pertanyaan. Cuma yang jelas, kita benar-benar
dari yang tidak ada menjadi ada.
Tanya: Apa ada rasa kaku baru muncul lagi?
Iwan: Tidak. Biasa saja. Soal sukses atau tidak kita lihat saja
nanti, itu tergantung suasana. Kami anggap ini suatu kejadian
yang tidak luar biasa, sehingga kami tidak perlu tegang. Kami
pun tetap seperti dulu, tidak terikat sesuatu aliran. Macam lagu
sweet, hard, atau blues, semua kami bawakan, tidak mesti hanya
lagu-lagu rakyat. Hanya soal aransemen yang berbeda. Aransemen
lagu-lagu itu digarap bersama.
Tanya: Anda sendiri sudah banyak bikin lagu lagi?
Iwan: Sudah 3 tahun ini saya nggak bikin lagu sepotongpun. Ada
juga hampir 5 buah, tapi nggak ada gairah untuk dipublisir.
Mungkin rangsangannya terlalu pribadi. Saya masih belum yakin
apakah lagu-lagu itu akan diterima sebagaimana yang terjadi pada
"Bulan Merah" atau "Melati Dari Jayagiri". Lagu-lagu itu nggak
saya garap dengan akal, untuk lagu saya bekerja dengan intuisi.
Tanya: Bagaimana hubungan GPL dengan Bimbo?
Iwan: Warna GPL lain dengan Bimbo. Secara kwantitatif GPL sudah
beda. Karakteristik orangnya pun lain. Jadi penggarapan dan
bumbu-bumbunya juga lain. GPL punya Benny, Albert, Armi ataupun
saya untuk menggarap lagu, tapi kadang juga bersama menggarap
aransemennya. Sementara di Bimbo Indralah yang memainkan peranan
besar menggarap aransemen, dibanding saya yang kecil.
Tanya: Ada niat untuk membuat GPL jadi profesional?
Iwan: Profesional dalam kwalitas. Tapi profesional dalam
profesi, sulit. GPL ini kan cuma tambahan, bertemunya kita hanya
karena kami sama-sama sejalan menuntut ilmu di Unpad. Sebab
bagaimana pun GPL tidak memberikan penghasilan materiil. Kalau
misalnya dibayar, coba hitung honornya dibagi 40 orang. Nggak
mungkin bisa jadi kaya dari GPL. Sebenarnya sih kami juga ingin
masuk rekaman. Soalnya manajemen kami belum prof - masih amatir.
Sampai-sampai kami belum pernah melawat ke Malaysia, Singapura,
Filipina, bahkan melawat antara kampus di Indonesia sekalipun
belum pernah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini