ORANG lupa siapa Iwan. Lagu "Flamboyan" yang pernah melejit
lewat suara Acil di Bimbo tak pernah lagi didengar. Trio Birnbo
sendiri sudah menyabet kanan-kiri, sehingga warnanya tidak mulus
lagi. Lagu ciptaan Iwan A. Rachman yang mengandung hawa seriosa
itu, merupakan batu tonggak penciptaan lagu-lagu pop Indonesia,
di mana unsur-unsur komersiil bisa berpelukan dengan bobot
artistik.
Tatkala kemudian Iwan bersama Grup Pencinta Lagu UNPAD tampil di
Gelanggang Renang Ancol Jakarta 27 dan 28 Mei yang lalu lagu
tersebut juga tak sempat terdengar. Tapi Iwan yang sekarang
insinyur pertanian, berkumis dan berdahi lebih lebar seperti
muncul dari album lama. Di depan 40 orang pemuda yang membawa
gitar, suling dan harmonika, dengan sebuah tongkat kecil, lelaki
ini masih menunjukkan pamornya.
Tak kurang dari 18 buah lagu selama 2 jam dua malam itu
terdengar lantang menggelegar dan kompak. Berasal dari berbagai
negara. Antara lain: "Henematov" (Afghanistan), "Janggoyama"
(Afrika), "Haben" (Israel), "Gon-gon" (Sudan). Disampaikan
dengan sangat akrab dengan aransemen yang tergarap rapih.
Apalagi Rudy Djamii yang jangkung dan suka ketawa mendadak itu
ikut hadir menggulung acara. Dengan iawakannya yang iauh berbeda
dengan dagelan macam Ateng orang ini telah memberikan suasana
yang segar, sehingga waktu rasanya begitu cepat lewat. Meskipun
malam kedua suaranya jadi serak dihajar oleh angin malam dari
laut Ancol, ia tetap semangat berkoar-koar membawakan
banyolannya yang sadar tak sadar banyak kesisipan bahasa Sunda.
"Bener"
Benny Subarja, salah seorang yang pegang gitar di bagian depan,
tampak sangat menonjol. Suaranya komersiil untuk ukuran musik
zaman sekarang. Ada kelembutan, keharuan tetapi juga sigap dan
mendebur mengikuti berbagai macam irama yang saling menjalin
dalam rentetan lagu-lagu malam itu. Iwan membanggakannya sebagai
anak muda yang sangat kreatif - banyak mencipta lagu - akan
tetapi juga "bener" sekolahnya. "Yah Benny memang kreatif tapi
juga bagus ujiannya, benar tidak pak Dosen?" tanyanya kepada
dosen si Benny yang juga hadir malam itu.
Ini amat penting. Para mahasiswa yan telah ditempa dengan tangan
besi dalam latihan-latihan itu memang menunjukkan penampang anak
muda yang lain. Mereka berpakaian santai. Celana jean gelang,
berambut gondrong. Tetapi mereka pun sopan-sopan dan lurus
sekolahnya. Tak ada yang berniat untuk menonjolkan diri. Sebab
sekali satu orang terlalu ambisius untuk tertonjol ke depan tak
urung suara bersama itu akan berantakan. Disiplin inilah yang
merupakan pesona yang lain lagi - sehingga betapapun anak-anak
muda itu hanya berdiri atau duduk di tempatnya sampai selesai
toh mereka tidak kurang daya pukau.
Para penonton yang menonton sambil berenang di hari pertama
mulanya ada yang tak puas, karena jam karet. Tapi
penonton-penonton yang duduk di bibir kolam renang pada hari
kedua, terjerat di tempatnya sampai selesai. Lagu demi lagu,
silih berganti antara sentakan-sentakan yang keras dan
bertenaga, menjadi lembut dan gemerincing berlangsung dengan
cepat. Panggung yang digarap oleh Roejito memang agak kewalahan
- atau barangkali tak berniat menggarap ruangan yang cukup aneh
di kolam renang tetapi bayang-bayang Iwan dan kawan-kawannya
muncul di air kolam, sempat menarik perhatian yang nonton dari
kejauhan.
Kalau Banyak Cingcong
Terlalu berlebihan untuk mengatakan kalau Iwan muncul dengan
luar biasa. Tapi paling tidak ia sudah menunjukkan hasil kerja
yang profesional dengan tempo berlatih yang singkat. Kalau dalam
pemunculan di TIM beberapa tahun yang lalu ia menyenangkan
khalayak karena cara penampilannya yang sederhana dan akrab,
sekarang itu sempat diulanginya. Dengan tidak malu-malu ia
memberi aba-aba: satu, dua, tiga, empat -- atau kalau salah,
enak saja mengulang. Iwan memang sederhana dan praktis. Sesuai
dengan temperamennya yang suka naik gunung, karena kalau di sana
banyak cingcong, tantangannya nyawa.
Meskipun dua malam pertunjukan, rata-rata penonton bisa
dibikinnya gayeng, toh masih ada juga yang menuntut lain.
Misalnya perkara tak adanya kaum hawa di barisan GPL itu. Untuk
ini Iwan menjawab memang ada kesengajaan, karena target
temperamen yang mau dicapai. Ada hal yang keras mau
dilontarkannya. Hal-hal yang bergelora. Tak tahu kita apa ini
ada hubungannya dengan perkembangan watak Iwan. Karena yang
mengarang lagu bukan Iwan saja. Apalagi lagu-lagu itu dikarang
dalam bahasa Inggeris - seolah bahasa pribumi sudah tidak enak
lagi dipakai. Lagu-lagu ini bertutur mengajak bicara tapi tetap
siap untuk dikomersiilkan. Perpaduan ini membuat penampilan
malam itu komunikatif.
Sayang sekali penonton tidak begitu banyak. Mestinya acara
semacam ini bisa nongol di TV atau di Taman Ismail Marzuki. Ia
membawa sesuatu yan baik buat perkembangan musik. Di samping itu
membawa ciri yang lain buat tampang anak-anak muda masa ini.
Sementara band puteri Arya Yunior yang juga dilepaskan dua malam
untuk membuka acara, menunjukkan permainan yang kurang
bergairah. Pada malam pertama mereka terdengar sumbang. Untung
kesempatan berikutnya mereka lebih rapih.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini