Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Iwan (tanpa bimbo) di ancol

Pagelaran musik grup pencipta lagu unpad berhasil di gelanggang renang ancol 27 dan 28 mei. pemusiknya mahasiswa, santai, tetapi disiplin. lagu-lagu berasal dari berbagai negara.

11 Juni 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ORANG lupa siapa Iwan. Lagu "Flamboyan" yang pernah melejit lewat suara Acil di Bimbo tak pernah lagi didengar. Trio Birnbo sendiri sudah menyabet kanan-kiri, sehingga warnanya tidak mulus lagi. Lagu ciptaan Iwan A. Rachman yang mengandung hawa seriosa itu, merupakan batu tonggak penciptaan lagu-lagu pop Indonesia, di mana unsur-unsur komersiil bisa berpelukan dengan bobot artistik. Tatkala kemudian Iwan bersama Grup Pencinta Lagu UNPAD tampil di Gelanggang Renang Ancol Jakarta 27 dan 28 Mei yang lalu lagu tersebut juga tak sempat terdengar. Tapi Iwan yang sekarang insinyur pertanian, berkumis dan berdahi lebih lebar seperti muncul dari album lama. Di depan 40 orang pemuda yang membawa gitar, suling dan harmonika, dengan sebuah tongkat kecil, lelaki ini masih menunjukkan pamornya. Tak kurang dari 18 buah lagu selama 2 jam dua malam itu terdengar lantang menggelegar dan kompak. Berasal dari berbagai negara. Antara lain: "Henematov" (Afghanistan), "Janggoyama" (Afrika), "Haben" (Israel), "Gon-gon" (Sudan). Disampaikan dengan sangat akrab dengan aransemen yang tergarap rapih. Apalagi Rudy Djamii yang jangkung dan suka ketawa mendadak itu ikut hadir menggulung acara. Dengan iawakannya yang iauh berbeda dengan dagelan macam Ateng orang ini telah memberikan suasana yang segar, sehingga waktu rasanya begitu cepat lewat. Meskipun malam kedua suaranya jadi serak dihajar oleh angin malam dari laut Ancol, ia tetap semangat berkoar-koar membawakan banyolannya yang sadar tak sadar banyak kesisipan bahasa Sunda. "Bener" Benny Subarja, salah seorang yang pegang gitar di bagian depan, tampak sangat menonjol. Suaranya komersiil untuk ukuran musik zaman sekarang. Ada kelembutan, keharuan tetapi juga sigap dan mendebur mengikuti berbagai macam irama yang saling menjalin dalam rentetan lagu-lagu malam itu. Iwan membanggakannya sebagai anak muda yang sangat kreatif - banyak mencipta lagu - akan tetapi juga "bener" sekolahnya. "Yah Benny memang kreatif tapi juga bagus ujiannya, benar tidak pak Dosen?" tanyanya kepada dosen si Benny yang juga hadir malam itu. Ini amat penting. Para mahasiswa yan telah ditempa dengan tangan besi dalam latihan-latihan itu memang menunjukkan penampang anak muda yang lain. Mereka berpakaian santai. Celana jean gelang, berambut gondrong. Tetapi mereka pun sopan-sopan dan lurus sekolahnya. Tak ada yang berniat untuk menonjolkan diri. Sebab sekali satu orang terlalu ambisius untuk tertonjol ke depan tak urung suara bersama itu akan berantakan. Disiplin inilah yang merupakan pesona yang lain lagi - sehingga betapapun anak-anak muda itu hanya berdiri atau duduk di tempatnya sampai selesai toh mereka tidak kurang daya pukau. Para penonton yang menonton sambil berenang di hari pertama mulanya ada yang tak puas, karena jam karet. Tapi penonton-penonton yang duduk di bibir kolam renang pada hari kedua, terjerat di tempatnya sampai selesai. Lagu demi lagu, silih berganti antara sentakan-sentakan yang keras dan bertenaga, menjadi lembut dan gemerincing berlangsung dengan cepat. Panggung yang digarap oleh Roejito memang agak kewalahan - atau barangkali tak berniat menggarap ruangan yang cukup aneh di kolam renang tetapi bayang-bayang Iwan dan kawan-kawannya muncul di air kolam, sempat menarik perhatian yang nonton dari kejauhan. Kalau Banyak Cingcong Terlalu berlebihan untuk mengatakan kalau Iwan muncul dengan luar biasa. Tapi paling tidak ia sudah menunjukkan hasil kerja yang profesional dengan tempo berlatih yang singkat. Kalau dalam pemunculan di TIM beberapa tahun yang lalu ia menyenangkan khalayak karena cara penampilannya yang sederhana dan akrab, sekarang itu sempat diulanginya. Dengan tidak malu-malu ia memberi aba-aba: satu, dua, tiga, empat -- atau kalau salah, enak saja mengulang. Iwan memang sederhana dan praktis. Sesuai dengan temperamennya yang suka naik gunung, karena kalau di sana banyak cingcong, tantangannya nyawa. Meskipun dua malam pertunjukan, rata-rata penonton bisa dibikinnya gayeng, toh masih ada juga yang menuntut lain. Misalnya perkara tak adanya kaum hawa di barisan GPL itu. Untuk ini Iwan menjawab memang ada kesengajaan, karena target temperamen yang mau dicapai. Ada hal yang keras mau dilontarkannya. Hal-hal yang bergelora. Tak tahu kita apa ini ada hubungannya dengan perkembangan watak Iwan. Karena yang mengarang lagu bukan Iwan saja. Apalagi lagu-lagu itu dikarang dalam bahasa Inggeris - seolah bahasa pribumi sudah tidak enak lagi dipakai. Lagu-lagu ini bertutur mengajak bicara tapi tetap siap untuk dikomersiilkan. Perpaduan ini membuat penampilan malam itu komunikatif. Sayang sekali penonton tidak begitu banyak. Mestinya acara semacam ini bisa nongol di TV atau di Taman Ismail Marzuki. Ia membawa sesuatu yan baik buat perkembangan musik. Di samping itu membawa ciri yang lain buat tampang anak-anak muda masa ini. Sementara band puteri Arya Yunior yang juga dilepaskan dua malam untuk membuka acara, menunjukkan permainan yang kurang bergairah. Pada malam pertama mereka terdengar sumbang. Untung kesempatan berikutnya mereka lebih rapih.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus