DI tengah kesibukannya mengatur peredaran film Saija da Adinda
di Eropa, Fons Rademakers, 57 tahun, 22 Agustus yang lalu
diwawancarai oleh Jusfiq Hadjar pembantu TEMPO di Negeri
Belanda. Wawancara berlangsung di kediaman Rademakers yang
terletak di pusat kota Amsterdam Rademakers juga mengisahkan
perjalanan karirnya sebagai orang film. Pernah menjadi asisten
sutradara untuk sutradara-sutradara terkemuka dunia Jean Renoir
(Perancis), Vittorio de Sica (Italia) dan Charles Creighton
(Inggeris) - Fons membuat film pertamanya, Een Dorp Aan De
Rivier di tahun 1958. Film berbahasa Belanda ini mendapat hadiah
Oscar sebagai film berbahasa asing terbaik di tahun 1959. Fihll
Saija dan Adinda merupakan filmnya yang kedelapan.
Berikut ini adalah petikan dari wawancara yang berlangsung
selama lebih dari tiga jam itu.
Tanya: Dari manakah munculnya ide pertama untuk memfilmkan karya
Multatuli itu?
Jawab: Sebenarnya sudah lama saya berfikir-fikir untuk
memfilmkan karya Multatuli yang amat terkenal itu. Tema
ketidak-adilan yang digarap oleh Multatuli itu menarik perhatian
saya, dan memang selalu muncul dalam film-film saya. Kebetulan,
ketika saya berada di Indonesia tahun 1970 untuk keperluan
persiapan pembuatan film Stille Kracht, Menteri Penerangan RI
waktu itu bertanya, mengapa saya tidak membuat film berdasar
karya Multatuli.
T: Siapakah penulis skenario pertama? Apakah setelah skenario
itu selesai pihak Indonesia melakukan perubahan-perubahan?
J: Skenario itu ditulis oleh Gerard Soeteman. Dan skenario
itulah yang telah disetujui oleh Departemen Penerangan RI.
Memang ketika kami berada di Indonesia ada orang yang
menginginkan agar beberapa bagian dari skenario itu diubah atau
ditambah. Tetapi perubahan dan tambahan itu tidak saya setujui
karena skenario yang saya ikuti itu telah disetujui oleh
pemerintah Indonesia.
T: Selama pembuatan film itu sering terjadi 'keributan' yang
antara lain menyebabkan mundurnya sutradara Mochtar
Soemodimedjo. Apakah yang sebenarnya menyebabkan 'keributan'
itu?
J: Keributan memang pernah terjadi. Tapi keributan dalam membuat
film adalah soal yang biasa. Dan saya memang sering melihat
keributan di pihak produser Indonesia dengan orang-orang
Indonesia yang ikut dalam produksi. Akan halnya Mochtar
Soemodimedjo, dia meninggalkan produksi di tengah-tengah jalan.
Katanya karena dia harus menyelesaikan fihn lain. Ini sebenarnya
bertentangan dengan kontrak, karena dia mesti terus mengikuti
opname hingga selesai.
T: Bisakah anda menerangkan sedikit bunyi kontrak dalam soal
pembiayaan film ini?. . .
J: Dalam kontrak disebutkan bahwa produser Indonesia menanggung
segala pengeluaran biaya yang dikeluarkan di Indonesia, termasuk
biaya penginapan awak Belanda di Hotel Arya Duta. Perincian
pengeluaran biaya itu adalah 1/3 ditanggung oleh produser
Indonesia, dan 2/3 oleh produser Belanda. Hak pengedaran film
itupun dibagi, di Indonesia dan Asia dipegang oleh produser
Indonesia, sedangkan di Eropa oleh produser Belanda.
T: Film Saija dan Adinda ini dituduh oleh BSF Indonesia sebagai
film yang menjelek-jelekkan bangsa Indonesia, sembari
memperlihatkan kebaikan orang Belanda. Bagaimana komentar anda
mengenai ini?
J: Ah, yang benar saja. Kalau film itu menjelekjelekkan orang
Indonesia tentu Deppen RI yang telah membaca skenarionya akan
menolaknya.
T: Tapi Sumarmo, ketua pelaksana Badan Sensor Film, mengatakan
antara lain bahwa 'tanaman paksa' (cultuur stelsel) misalnya
tidak ditonjolkan . . .
J: Cultuur stelsel di Banten? Saya tidak bisa mengubah sejarah!
Cultuur stelsel tidak pernah ditrapkan di Lebak! Soemarmo
mungkin tidak pernah belajar sejarah tanah airnya sendiri.
T: Sebagai sutradara dan orang Belanda, apakah yang sebenarnya
yang ingin anda katakan melalui film ini?
J: Seperti saya katakan tadi, saya ingin menceritakan ketidak
adilan, jeritan yang masih kedengaran sekarang ini di mana-mana.
Jeritan Multatuli itu masih aktuil.
T: Bagaimana pendapat anda tentang ucapan Peransi dalam salah
satu keterangannya di koran Jakarta, Kompas, yang mengatakan
bahwa anda hanya ingin menarik perhatian kaum kiri Belanda . . .
J: Peransi kecewa akan ketidak ikutannya dalam produksi film
ini, dan sekalian mau mengambil muka yang sok nasionalis kepada
penguasa dan pendapat umum Indonesia. ltu urusannya, dan orang
Indonesia toh tidak akan bisa dikibuli begitu saja. Yang saya
cela adalah dalam usaha mengambil muka itu dia telah memperalat
Multatuli. Ini tidak fair.
T: Apakah anda bersedia melakukan perubahan-perubahan pada film
ini jika perubahan itu menjadi persyaratan untuk peredarannya di
Indonesia?
J: Apakah Badan Sensor Film akan menulis kembali Saija dan
Adinda? Itu urusan mereka. Sepanjang yang menjadi urusan saya,
saya telah menghormati jiwa buku tersebut di dalam film itu, dan
kesetiaan saya itu diakui oleh para kritisi.
T: Karena film ini telah selesai beredar di Eropa, berapa banyak
keuntungan yang telah anda peroleh di pasaran Eropa? Berapa
modal seluruhnya yang diperlukan untuk membuat film ini?
J: Film ini belum beredar di seluruh Eropa. Baru di negeri
Belanda dan Belgia. Sekarang saya sedang mempersiapkan
peredarannya di Jerman Barat Italia dan Spanyol. Hingga sekarang
walaupun sukses yang diperolehnya di negeri Belanda, modal saya
belum kembali, apalagi untung. Saya tidak ingin mengatakan
kepada saudara besar modal pembuatan film ini. Cuma bisa saya
bayangkan bahwa modalnya memang besar.
T: Apakah anda masih ada rencana kerja sama dengan pihak
Indonesia?
J: Untuk sementara ini saya sedang sibuk mempersiapkan sebuah
film yang akan mulai diopname di permulaan tahun depan. Sesudah
film itu selesai nanti, dan kalau ada kesempatan, saya tidak
menutup kesempatan untuk bekerja sama dengan pihak Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini