Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Rademakers angkat bicara

Wawancara tempo dengan fons rademakers tentang film saija dan adinda di tengah kesibukan peredarannya di eropa. rademakers mengisahkan karirnya se bagai orang film. (fl)

10 September 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI tengah kesibukannya mengatur peredaran film Saija da Adinda di Eropa, Fons Rademakers, 57 tahun, 22 Agustus yang lalu diwawancarai oleh Jusfiq Hadjar pembantu TEMPO di Negeri Belanda. Wawancara berlangsung di kediaman Rademakers yang terletak di pusat kota Amsterdam Rademakers juga mengisahkan perjalanan karirnya sebagai orang film. Pernah menjadi asisten sutradara untuk sutradara-sutradara terkemuka dunia Jean Renoir (Perancis), Vittorio de Sica (Italia) dan Charles Creighton (Inggeris) - Fons membuat film pertamanya, Een Dorp Aan De Rivier di tahun 1958. Film berbahasa Belanda ini mendapat hadiah Oscar sebagai film berbahasa asing terbaik di tahun 1959. Fihll Saija dan Adinda merupakan filmnya yang kedelapan. Berikut ini adalah petikan dari wawancara yang berlangsung selama lebih dari tiga jam itu. Tanya: Dari manakah munculnya ide pertama untuk memfilmkan karya Multatuli itu? Jawab: Sebenarnya sudah lama saya berfikir-fikir untuk memfilmkan karya Multatuli yang amat terkenal itu. Tema ketidak-adilan yang digarap oleh Multatuli itu menarik perhatian saya, dan memang selalu muncul dalam film-film saya. Kebetulan, ketika saya berada di Indonesia tahun 1970 untuk keperluan persiapan pembuatan film Stille Kracht, Menteri Penerangan RI waktu itu bertanya, mengapa saya tidak membuat film berdasar karya Multatuli. T: Siapakah penulis skenario pertama? Apakah setelah skenario itu selesai pihak Indonesia melakukan perubahan-perubahan? J: Skenario itu ditulis oleh Gerard Soeteman. Dan skenario itulah yang telah disetujui oleh Departemen Penerangan RI. Memang ketika kami berada di Indonesia ada orang yang menginginkan agar beberapa bagian dari skenario itu diubah atau ditambah. Tetapi perubahan dan tambahan itu tidak saya setujui karena skenario yang saya ikuti itu telah disetujui oleh pemerintah Indonesia. T: Selama pembuatan film itu sering terjadi 'keributan' yang antara lain menyebabkan mundurnya sutradara Mochtar Soemodimedjo. Apakah yang sebenarnya menyebabkan 'keributan' itu? J: Keributan memang pernah terjadi. Tapi keributan dalam membuat film adalah soal yang biasa. Dan saya memang sering melihat keributan di pihak produser Indonesia dengan orang-orang Indonesia yang ikut dalam produksi. Akan halnya Mochtar Soemodimedjo, dia meninggalkan produksi di tengah-tengah jalan. Katanya karena dia harus menyelesaikan fihn lain. Ini sebenarnya bertentangan dengan kontrak, karena dia mesti terus mengikuti opname hingga selesai. T: Bisakah anda menerangkan sedikit bunyi kontrak dalam soal pembiayaan film ini?. . . J: Dalam kontrak disebutkan bahwa produser Indonesia menanggung segala pengeluaran biaya yang dikeluarkan di Indonesia, termasuk biaya penginapan awak Belanda di Hotel Arya Duta. Perincian pengeluaran biaya itu adalah 1/3 ditanggung oleh produser Indonesia, dan 2/3 oleh produser Belanda. Hak pengedaran film itupun dibagi, di Indonesia dan Asia dipegang oleh produser Indonesia, sedangkan di Eropa oleh produser Belanda. T: Film Saija dan Adinda ini dituduh oleh BSF Indonesia sebagai film yang menjelek-jelekkan bangsa Indonesia, sembari memperlihatkan kebaikan orang Belanda. Bagaimana komentar anda mengenai ini? J: Ah, yang benar saja. Kalau film itu menjelekjelekkan orang Indonesia tentu Deppen RI yang telah membaca skenarionya akan menolaknya. T: Tapi Sumarmo, ketua pelaksana Badan Sensor Film, mengatakan antara lain bahwa 'tanaman paksa' (cultuur stelsel) misalnya tidak ditonjolkan . . . J: Cultuur stelsel di Banten? Saya tidak bisa mengubah sejarah! Cultuur stelsel tidak pernah ditrapkan di Lebak! Soemarmo mungkin tidak pernah belajar sejarah tanah airnya sendiri. T: Sebagai sutradara dan orang Belanda, apakah yang sebenarnya yang ingin anda katakan melalui film ini? J: Seperti saya katakan tadi, saya ingin menceritakan ketidak adilan, jeritan yang masih kedengaran sekarang ini di mana-mana. Jeritan Multatuli itu masih aktuil. T: Bagaimana pendapat anda tentang ucapan Peransi dalam salah satu keterangannya di koran Jakarta, Kompas, yang mengatakan bahwa anda hanya ingin menarik perhatian kaum kiri Belanda . . . J: Peransi kecewa akan ketidak ikutannya dalam produksi film ini, dan sekalian mau mengambil muka yang sok nasionalis kepada penguasa dan pendapat umum Indonesia. ltu urusannya, dan orang Indonesia toh tidak akan bisa dikibuli begitu saja. Yang saya cela adalah dalam usaha mengambil muka itu dia telah memperalat Multatuli. Ini tidak fair. T: Apakah anda bersedia melakukan perubahan-perubahan pada film ini jika perubahan itu menjadi persyaratan untuk peredarannya di Indonesia? J: Apakah Badan Sensor Film akan menulis kembali Saija dan Adinda? Itu urusan mereka. Sepanjang yang menjadi urusan saya, saya telah menghormati jiwa buku tersebut di dalam film itu, dan kesetiaan saya itu diakui oleh para kritisi. T: Karena film ini telah selesai beredar di Eropa, berapa banyak keuntungan yang telah anda peroleh di pasaran Eropa? Berapa modal seluruhnya yang diperlukan untuk membuat film ini? J: Film ini belum beredar di seluruh Eropa. Baru di negeri Belanda dan Belgia. Sekarang saya sedang mempersiapkan peredarannya di Jerman Barat Italia dan Spanyol. Hingga sekarang walaupun sukses yang diperolehnya di negeri Belanda, modal saya belum kembali, apalagi untung. Saya tidak ingin mengatakan kepada saudara besar modal pembuatan film ini. Cuma bisa saya bayangkan bahwa modalnya memang besar. T: Apakah anda masih ada rencana kerja sama dengan pihak Indonesia? J: Untuk sementara ini saya sedang sibuk mempersiapkan sebuah film yang akan mulai diopname di permulaan tahun depan. Sesudah film itu selesai nanti, dan kalau ada kesempatan, saya tidak menutup kesempatan untuk bekerja sama dengan pihak Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus