Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SERBUAN itu akhirnya datang juga. Raja televisi dunia, Rupert Murdoch, sejak awal bulan ini resmi mengantongi 20 per-sen saham ANTV, stasiun televisi milik keluarga Bakrie.
Berita masuknya pemodal asing ke ra-nah bisnis televisi domestik sebetulnya bukan hal baru. Sudah selama bebe-rapa tahun terakhir para investor asing menanamkan duitnya di stasiun televisi lokal.
Hanya, selama ini belum ada yang te-rang-terangan seperti Murdoch. Inves-tasi pun dilakukan tak langsung, tapi lewat induk perusahaan pengelola stasiun televisi.
Siasat ini diterapkan untuk mengakali ketentuan Undang-Undang Penyiaran. Sebab, dalam aturan itu digariskan, ke-pemilikan asing secara langsung di televisi lokal hanya dibatasi 20 persen.
Murdoch masuk ANTV lewat STAR TV, unit usahanya yang bermarkas di Hong Kong. Kabarnya, untuk bisa me-nguasai 20 persen saham PT Cakrawala Andalas Televisi, pengelola stasiun televisi ANTV, dana yang dicurahkan STAR TV sedikitnya US$ 20 juta—sekitar Rp 200 miliar.
”Ini merupakan investasi bersama,” kata Direktur Utama ANTV, Anindya Noverdian Bakrie. Saham yang dib-eli pun merupakan saham baru. Karena itu, menurut putra sulung Menteri Perekonomian Aburizal Bakrie ini, dana itu sepenuhnya masuk ke perusahaan—bukan ke kantong para pemegang saham.
ANTV layak mensyukuri keberhasil-annya menggaet Murdoch. Sebab, tiga tahun lalu stasiun TV ini hampir b-ubar. Utangnya saat itu mencapai Rp 1,4 tri-liun. Utang obligasi dolar ke kreditor asing dan utang bank mencapai Rp 1,2 triliun, dan utang ke mitra dagang Rp 200 miliar.
Untuk keluar dari jepitan utang, ma-najemen ANTV menawarkan proposal perdamaian ke para kreditor dalam sidang di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, Juli 2002. Beruntung, hampir seratus persen kreditor setuju mengkonversi piutangnya menjadi kepemilikan saham. Sedangkan pelunasan utang dagang di-cicil lima tahun.
Konsekuensinya, porsi saham PT Bak-rie Investindo dan PT Capital Mana-gement Asia (CMA) Indonesia milik Anin-dya tergerus. Namun, CMA diminta te-tap mengelola ANTV, berikut porsi s-aham kreditor yang totalnya mencapai 83 persen.
CMA juga sepakat menyuntikkan mo-dal kerja. ”Sejak itulah ANTV tak lagi terbebani utang,” kata Anindya. Kinerja keuangannya pun te-rus membaik. ”Pendapatan ka-mi tahun ini tu-m-buh 600 persen bila dibandingkan de-ngan tahun 2002.”
Masuknya Murdoch kian menandakan serbuan pemodal dan media asing ke Indonesia tak mungkin dihindari. ”Kita tak bisa lagi terkungkung oleh panda-ng-an nasionalisme sempit,” kata bos Para Group, Chaerul Tanjung, pemilik Trans TV.
Lontaran serupa disampaikan Hary Tanoesoedibjo, bos Grup Bimantara, yang menguasai tiga stasiun TV: RCTI, TPI, dan Global TV, lewat bendera PT Media Nusantara Citra.
Namun, Ketua Dewan Redaksi RCTI ini berpendapat, kepemilikan asing di perusahaan media tetap harus dibatasi. ”Di negara mana pun ini dilakukan,” ujarnya. Tapi beredar kabar, STAR TV masih akan terus menambah porsi sahamnya hingga 51 persen.
”Bila melihat record-nya selama ini, dia memang tidak pernah mau jadi pemegang saham minoritas,” kata H.B. Naveen, Presiden Direktur Mediate, unit usaha PT Bhakti Investama kepunya-an Hary.
Jika anggapan itu be-nar, tentu tambahan porsi saham harus dilakukan Murdoch lewat perusahaan perantara (nominee), atau berinvestasi tidak langsung lewat per--usahaan induk baru ANTV. Sebab, hanya cara ini yang tidak melanggar Undang-Undang Penyiaran yang membatasi kepemilikan asing.
Juru bicara STAR TV, Jannie Poon, menampik sinyalemen itu. ”Cukup 20 persen,” katanya kepada Tempo. Lagi pula, Anindya menambahkan, ”Di India dan Cina, STAR TV pun pemegang saham minoritas.”
Meski begitu, Murdoch tampaknya tak akan setengah hati dalam upaya mele-bar-kan sayap bisnisnya di Indonesia. Apalagi, ini proyek pertama-nya di stasiun televisi berdaya jangkau nasional.
Tak mengherankan, Anin-dya pun menyebutkan bahwa STAR TV masih akan me-nyun-tikkan tambah-an modal kerja buat ANTV. ”Plus tenaga ah-linya.” Jadi, sudah jelas, ancaman serius terhampar di depan mata bagi sembilan televisi lokal lainnya.
Bukannya apa-apa. News Corp, per-usahaan induk milik Murdoch, total pen-dapatannya setahun mencapai US$ 24 miliar (sekitar Rp 240 triliun). Nilai investasinya di ANTV pun tak ada arti-nya bila dibandingkan dengan akuisisi per-usahaan game dan hiburan di Amerika Serikat, IGN Entertainment, oleh News Corp baru-baru ini, yang mencapai US$ 650 juta (sekitar Rp 6,5 triliun).
LUASNYA pangsa pa-sar televisi Indonesia, de-ngan jangkauan pe-no-nton yang diperkirakan mencapai 180 juta orang—terting-gi ketiga di Asia—memang merupakan la--han bisnis yang me-ng-giurkan bagi para pemodal asing.
Apalagi, pertumbuhan iklan televisi di Indonesia mencapai 30 persen per tahun. Untuk tahun lalu saja, jumlahnya mencapai Rp 15,4 triliun atau hampir 70 persen dari total iklan media massa.
Sebelum mencapai kata sepakat de-ngan ANTV, Murdoch kabarnya sempat bernegosiasi dengan TV7 dan Trans TV. ”Tapi tidak tercapai deal,” ujar sumber Tempo. Chaerul Tanjung membenarkan, Trans TV pernah didekati STAR TV. ”Tapi itu sudah setengah tahun lalu,” katanya. Direktur Pemberitaan TV7, Bambang Su-kartiono, pun tak menampiknya. ”Lirik kanan-kiri itu kan biasa,” ujarnya kepada Agriceli dari Tempo.
Perusahaan televisi a-sing yang kini juga sedang meng-incar publik Indonesia adalah TV3. Perusahaan asal Mala-ysia yang berinduk ke Media Prima Berhad—pemilik 43 persen saham New Straits Times—ini bahkan telah melakukan uji tuntas atas rencana pembelian Lativi.
Stasiun televisi kepunyaan bos Pasa-raya, Abdul Latief, itu kini memang tengah dijajakan Bank Mandiri. Langkah itu ditempuh setelah Lativi, sejak pertengahan 2003 lalu, tak bisa lagi membayar cicilan kreditnya senilai Rp 350 miliar (plus bunga sekarang mencapai Rp 450 miliar).
Menurut Sekretaris Perusahaan Bank Mandiri, Ekoputro Adijayanto, proses negosiasi masih berlangsung. ”Sekarang masih dalam tahap tawar-menawar,” katanya. Karena itu, Kepala Hubungan Kemasyarakatan Lativi, Raldi Doy, memperkirakan hasil akhir rencana akuisisi baru bisa dilansir akhir tahun nanti.
Selain TV3, calon investor lain yang juga pernah menjajaki kemungkinan pembelian Lativi adalah Trans TV. Ha-nya, kata Ekoputro, ”Pembicaraannya belum sampai ke level seperti TV3.”
Chaerul mengakui, ia pernah ditawari menjadi investor di Lativi. ”Tapi belum ada langkah lebih jauh,” ujarnya. Menurut sumber Tempo, Trans TV memang tak sepakat dengan metode transaksi yang ditawarkan. ”Trans TV baru mau masuk jika kredit macet Lativi telah dire-strukturisasi Bank Mandiri,” katanya.
Trans TV sendiri, kabarnya, baru-baru ini didekati Grup Salim untuk dimerger dengan stasiun televisi Indosiar. Bahkan ada rencana nantinya digabungkan dengan Lativi jika stasiun televisi ini jadi dibeli Trans TV.
Namun, menurut bankir investasi yang enggan disebut namanya, Chae-rul masih belum sepakat soal penghitung-an nilai aset Trans TV. Ia pun ingin, jika dilakukan penggabungan, kendali manajemen ada di tangan Trans TV.
Kemungkinan merger di antara ke-dua stasiun televisi ini bisa jadi bukan isapan jempol. Sebab, Salim, yang kini masih menguasai langsung sekitar 28 persen saham di Indosiar, disebut-sebut juga punya kepemilikan saham di Para Group, induk Trans TV.
Tali persahabatan antara Salim dan Chaerul pun sudah terjalin lama. ”Hubungan saya dengan Pak Anth-oni Salim baik sekali,” kata Chaerul. Ia mengaku pernah membantu Salim menyediakan dana talangan ketika Bank Central Asia di-rush pada 1998. ”Betul, nilainya triliunan rupiahlah,” ujarnya.
Meski begitu, ia menyangkal telah ada pembicaraan tentang rencana penggabungan kedua stasiun televisi itu. ”Kami saling menjaga privasi masing-masing,” ucapnya. Ia pun membantah kepemilikan Salim di Para Group maupun di Bank Mega.
Hubungan bisnisnya dengan Salim, kata Chaerul, sebatas pada proyek pro-perti di Batam dan di bisnis jasa kesehatan di Singapura. Tapi, ”Selain itu, kami kini sedang menjajaki kemungkin-an-kemungkinan lainnya.”
Direktur Keuangan Indosiar, Phiong Phillipus, menegaskan sejauh ini belum pernah ada pembicaraan langsung soal rencana merger. Menurut bekas Direktur Keuangan PT Indocement Tunggal Perkasa ini, spekulasi itu bisa jadi karena, ”Banyak pegawai Indosiar yang ditarik oleh Pak Ishadi (Direktur Trans TV).”
Lepas dari benar-tidaknya kabar itu, Naveen memperkirakan fenomena merger cepat atau lambat bakal terjadi. Alasannya, meski nilai iklan terus tumbuh dan pangsa pasar TV sangat lebar, kue iklan yang ada tak cukup besar untuk diperebutkan oleh 10 televisi berskala nasional. Padahal, biaya investasi dan operasional sebuah televisi nasional sangatlah besar.
Karena itu, kata Naveen, ”Tiga sampai empat televisi sudah paling banyak.” Di negara-negara lain pun tak ada televisi nasional sebanyak di Indonesia. ”Kebanyakan TV kabel atau TV regional.”
Chaerul sepakat soal ini. Seleksi alamiah, menurut dia, akan terjadi dengan sendirinya. Dia memperkirakan, televisi nasional yang bisa hidup hanya yang bisa bertahan di posisi lima besar. ”Di bawah itu, sulit.”
Metta Dharmasaputra, Yura Syahrul, Efri Ritonga
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo