Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Empat menit. Hanya empat menit. Itulah film 7 Deadly Kisses karya Sari Astrid Mananda Maria alias Sammaria Simanjuntak, 29 tahun, yang diputar di Cinemax 7, Potsdamer Platz. Film ini mengetengahkan tujuh teknik ciuman dahsyat.
Sammaria sebelumnya kita kenal lewat Cin(T)a, film tentang dua orang anak muda yang berbeda agama, Islam dan Katolik. Mereka berdiskusi tentang Tuhan, tema yang boleh disebut jarang diangkat dalam film kita. Tak mengherankan, film itu menyabet penghargaan skenario asli terbaik Citra 2009.
Film 7 Deadly Kisses menampilkan dua cowok culun yang saling memperagakan metode ciuman. Ada metode kelinci, ada metode ular, ada metode naga, dan sebagainya. Bibir mereka sedot-menyedot. Lidah mereka jilat-menjilat. Telan-menelan ludah. Setiap adegan ciuman dijelaskan oleh narator. Film ini kocak–membuat penonton tertawa.
Karena cuma empat menit, pemutaran film ini dibarengkan dengan film Mommy's Coming karya Cheryl Dunye, 45 tahun. Dunye adalah sutradara underground Amerika kelahiran Liberia yang terkenal karena karya-karyanya provokatif. Dia pernah membuat film mengenai kehidupan lesbian keturunan Afrika yang berada di penjara-penjara.
Dunye sendiri bukan nama asing di Berlinale. Ia meraih Teddy Award–penghargaan film terbaik gay, lesbian, dan transgender–di Berlinale 1996 untuk film The Watermelon Woman. Pada Berlinale 2010, filmnya, The Owls, juga ditayangkan. Mommy's Coming adalah film terbarunya, menceritakan pasangan lesbian Dylan dan Claudia yang melakukan adegan seks di mana saja di Berlin, bahkan di dalam taksi. Suatu kali, Helen, ibu Dylan, datang mengunjunginya. Dylan khawatir kehidupan liarnya akan mengagetkan sang ibu. Tapi, sebaliknya, sang ibu ikut dalam kancah eksperimen seks. Film ini gabungan antara komedi dan pornografi.
Seksi Panorama memang makin banyak diwarnai film bertema gay, lesbian, dan transeksual. Tercatat 50-an film gay dan lesbian dari berbagai dunia ditayangkan di Berlinale. Dari Asia Tenggara, cukup banyak film genre ini yang tampil. Salah satunya Lost in Paradise karya Vu Ngoc Dang, yang menyajikan kehidupan "lonte pria" di Ho Chi Minh.
Film Anak-anak Srikandi, yang diputar di gedung Cinestar 7, penuh dijubeli penonton. Anak-anak Srikandi adalah sebuah bunga rampai karya pendek delapan sutradara ihwal lesbian Indonesia. Kedelapan sutradara itu adalah Imelda Taurinamandala, Eggie Dian, Oji, Yulia Dwi Andriyanti alias Edith, Winnie Wibowo, Hera Danish, Stea Lim, dan Afank Maryani.
Kalau sebagai penikmat film Anda belum pernah mendengar nama mereka, tak usah bingung. Kedelapan orang itu memang belum pernah membuat film sama sekali. Mereka bukan semata orang baru, melainkan "orang asing" perfilman. Mereka mendapat pelatihan khusus lebih dulu untuk membuat Anak-anak Srikandi. Boleh dikata, seperti dijelaskan Laura Coppens, produser dan penggagasnya, "Film ini merupakan buah lokakarya yang diselenggarakan oleh Goethe-Institut, Juli 2010 dan Juni 2011."
Baru pertama kali membuat film yang langsung diputar di festival prestisius Berlinale dan dijubeli penonton, lalu harus tampil di panggung untuk tanya-jawab, membuat mereka agak grogi. "Saya gugup sekali sebenarnya," ungkap Stea Lim. Dia satu-satunya sutradara yang punya sedikit latar belakang dunia film. Ia pernah membuat film pendek dan terlibat dalam berbagai produksi sebagai produser. Di Anak-anak Srikandi, semula ia lebih terlibat dalam penyelenggaraan lokakarya. "Namun, di tengah proses, saya 'gatal' juga dan bertanya apa saya bisa ikut bikin," ia pun tergelak.
Karya Stea Lim, Deconstruction, menampilkan persoalan berbagai lapisan kaum lesbian Indonesia. Ada yang di satu sisi sudah sangat kosmopolit, ada yang masih konservatif. Sejumlah orang berganti-ganti baju di nomor ini, sementara Stea Lim sendiri mengenakan jilbab.
Imelda Taurinamandala dalam Hello World menyajikan refleksi masa kecilnya, yang sejak dini ingin menjadi anak lelaki. Hera Danish dalam In Between berkisah bagaimana sebagai seorang biseksual dia diserang sana-sini: disudutkan pacarnya, baik yang lelaki maupun yang perempuan. Akan halnya No Label adalah sebuah karikatur sederhana karya Afank Maryani tentang betapa rancunya penggolongan atau pelabelan, bahkan di kalangan kaum lesbian sendiri.
Acceptance dari Oji merupakan karya paling optimistis. Karya ini menampilkan adegan proses seleksi pegawai sebuah perusahaan. Pertanyaan di bagian tes yang paling menentukan:
"Kamu lesbian?"
"Ehm, apakah ini akan mempengaruhi hasilnya?"
"Tidak."
Oji membawa film itu sebagai semacam keyakinan penuh harap, suatu wishful thinking, bahwa tak ada masalah untuk terbuka sebagai lesbian saat melamar kerja.
Edith's Jilbab adalah potret kecil perjalanan spiritual Edith atau Yulia Dwi Andriyanti. Dengan pengambilan gambar satu sudut saja, Edith duduk di sebuah pojok rumahnya, berkisah tentang dirinya yang tumbuh sebagai perempuan alim yang berdasarkan pilihannya sendiri mengenakan jilbab, yang di kemudian hari menyadari bahwa dia adalah seorang lesbian.
A Verse dari Winnie Wibowo merupakan karya yang mungkin paling "ramai". Ia menggambarkan berbagai sisi hidupnya yang beragam: menari Bali, santai di diskotek, bekerja di mal, mengantar dua adiknya yang sepanjang jalan terus bernyanyi, juga bermesraan dengan pacarnya. Ia mengalami masalah di keluarga karena orientasi seksualnya, yang membuatnya kabur dari rumah pada usia 12 tahun.
Urusan kabur juga disajikan Eggie Dian. Filmnya membawa kita ke sebuah bangku taman di Yogyakarta, yang disebutnya sebagai rumahnya. Ia memang hidup di jalanan, tidur di bangku itu secara tetap. Hidup dari mengamen. Betul-betul jadi anak jalanan. Ia pernah pula kena garuk, ditangkap dan disiksa polisi.
Judul Anak-anak Srikandi, gampang ditebak, diambil dari sosok Srikandi, tokoh Mahabharata yang dalam banyak versi digambarkan sebagai sosok androgini. Srikandi pula yang dimunculkan sebagai penghubung antar-episode, melalui pementasan wayang dari dalang Ki Suci Soleh, seorang waria, dan pesinden Ning Anik Juwana, juga waria. Ada sabetan wayang Ki Suci Soleh di setiap perpindahan episode.
Anak-anak Srikandi merupakan proyek yang dirancang khusus. "Saya beberapa kali menjadi tamu di Q Film Festival di Jakarta," kata Laura Coppens. "Dan saya melihat bermunculannya ekspresi kaum gay Indonesia, tapi tidak kaum lesbiannya," ujar perempuan berambut kriwil panjang terurai ini. "Publik Berlinale tampak sangat menghargai keberanian film ini untuk jujur dan terbuka, mengingat di Indonesia sedang bangkit konservatisme dan intoleransi."
Film lain Indonesia yang tampil di Berlinale adalah Mirror Never Lies karya Kamila Andini. Film ini masuk kategori "Generasi", yang diperuntukkan bagi remaja dan anak-anak. Mirror mengambil latar Wakatobi, menyoroti kehidupan suku Bajo–manusia laut. Kisahnya bertolak dari Pakis (Gita Novalista) dan bocah Bajo berusia 12 tahun (Eko) yang kehilangan ayah kandungnya di laut tapi terus memelihara harapan bahwa suatu waktu sang ayah akan kembali.
Gita dan Eko ikut datang ke Berlin bersama Andini. Mereka tidak terlihat kedinginan saat salju turun. Sebagian besar pertanyaan anak-anak Jerman dalam diskusi seusai pemutaran yang tertuju kepada mereka berkisar pada apakah mereka tak takut hidup di atas air, bagaimana keadaan di sana sebenarnya, dan apakah ayah Gita benar-benar sudah wafat seperti tokoh Pakis yang dimainkannya.
Juri untuk seksi Generasi juga anak-anak. Sayang, Mirror tidak menang. Peraih Crystal Bear, penghargaan tertinggi untuk seksi ini, adalah film Arcadia karya sutradara Amerika, Olivia Silver.
Seno Joko Suyono, Ging Ginanjar (Berlin)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo