Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Suara amerika dari opec

Pengiriman tentara as ke arab saudi ada kaitannya dengan minyak,meski impor minyak dari kuwait hanya sedikit. minyak sudah menjadi masalah keamanan as. saddam bertindak akibat frustasi total.

25 Agustus 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

APA arti minyak Kuwait bagi AS? Selama lima bulan pertama sampai Mei tahun ini, menurut catatan Departemen Energi AS. impor minyak AS dari Kuwait cuma 17,7 juta barel. Berarti hanya sedikit di atas jumlah minyak yang diimpornya dari Indonesia. Jumlah ini tidak begitu berarti karena tidak sampai 2% dari seluruh minyak yang diimpor AS. Bahkan impor minyak AS dari Kanada, yang bukan negara utama penghasil minyak, lima kali lipat dari yang diimpornya dari Kuwait. Sepintas lalu, tindakan AS untuk mengirim pasukannya ke Arab Saudi, dan meriskir perang terbuka dengan Irak, memang tak ada hubungan dengan minyak. Minyak Kuwait tidak ada artinya bagi AS karena tidak sulit untuk mengganti impor minyak Kuwait yang kecil itu dengan impor minyak dari negara lain. Presiden Bush mengatakan bahwa pengiriman pasukan AS ke Arab Saudi hanya bersifat defensif". Tapi dia juga mengatakan bahwa tujuan kiriman pasukan AS ke Teluk Persia adalah pertama, agar tentara Irak ditarik dari Kuwait. Kedua, agar pemerintah Kuwait dikembalikan lagi. Dan ketiga, tercapainya stabilitas keamanan di Teluk Persia. Kalau tujuan sebuah operasi militer adalah pengusiran tentara lawan dari satu daerah ke daerah lain, lalu apanya yang bersifat defensif dari operasi militer tersebut? Propaganda AS untuk mempengaruhi opini dunia juga tidak bisa dikatakan defensif. Tiap hari media massa AS penuh dengan cerita kekejaman Saddam Hussein, "Hitler dari Timur Tengah". Presiden Bush, di depan televisi, menyebut Saddam Hussein sebagai "seorang penjahat internasional yang tidak mengindahkan etika dunia". Tindakan AS untuk mempengaruhi opini dunia terhadap Irak ternyata memang efektif. Dunia tak begitu lagi merasakan standar ganda yang dianut AS dalam politik luar negerinya. Orang sudah sulit melihat bahwa hanya ada perbedaan sejengkal antara invasi tentara Irak ke Kuwait dan penyerbuan tentara AS ke Granada dan Panama. Namun, tak bisa disangkal bahwa respons AS terhadap krisis di Teluk Persia sebenarnya dipengaruhi oleh motif yang lebih mendasar, yang pada suatu saat tidak bisa disembunyikan lagi. Presiden George Bush, yang pernah menjadi pengusaha minyak di Texas, tahu bahwa ketergantungan AS terhadap minyak impor makin meningkat karena pertambahan konsumsinya tidak bisa dipenuhi lagi dari produksi dalam negerinya. Sekarang, sekitar 50% kebutuhan minyak AS harus diimpor, dan sebagian besar impor ini berasal dari Timur Tengah. Karena ketergantungannya yang cukup besar terhadap minyak impor ini, AS sangat peka terhadap kejadian yang bisa mempengaruhi produksi atau harga minyak. Dia akan berbuat apa saja, kalau perlu perang, untuk mengamankan kebutuhan minyaknya. Pemerintah AS diperkirakan akan mengeluarkan biaya US$ 15 juta sehari untuk operasi pasukannya di Arab Saudi, dalam keadaan anggaran belanja yang makin parah. Tapi masalah minyak bagi AS sudah dianggap sebagai masalah keamanan nasional. Sebelumnya, masalah keamanan nasional nomor satu bagi AS adalah ancaman Uni Soviet dan negara komunis lainnya. Tapi dengan berakhirnya perang dingin dengan Uni Soviet, masalah keamanan nasional yang utama bagi AS sekarang adalah terjaminnya penyediaan minyak karena tanpa penyediaan minyak yang cukup, ekonomi AS akan terancam. Karena minyak sudah merupakan komoditi strategis bagi keamanan nasional AS, maka AS tak akan membiarkan seorang Saddam Hussein menguasai 20% cadangan minyak dunia, dan ditambah 25% lagi, bila cadangan minyak Arab Saudi berada di bawah ancamannya. AS tak akan membiarkan pemasokan minyaknya menjadi sandera Saddam Hussein. Tindakan AS di Timur Tengah ini tidak saja mengubah peta bumi perminyakan, melainkan juga mengubah struktur geopolitik secara keseluruhan di Timur Tengah. Tentara AS tiba di Arab Saudi pada saat seluruh Timur Tengah mengalami berbagai macam frustrasi. Frustrasi terhadap kegagalan AS untuk memaksa Israel berunding dengan PLO. Frustrasi terhadap lambannya gerakan ke arah pemerintahan yang lebih demokratis. Struktur pemerintahan di Timur Tengah sebagian besar masih merupakan struktur kuno peninggalan kolonial. Struktur politik masih jauh dari pluralisme, dan kekuasaan masih terpusat pada para syeik yang feodal dan para diktator. Juga frustrasi dari belum meratanya kemakmuran yang berasal dari uang minyak. Frustrasi karena tak adanya badan perwakilan rakyat yang mengontrol bagaimana para syeik menggunakan uang minyaknya. Frustrasi melihat bagaimana uang minyak lebih banyak diboroskan untuk kemewahan dan persenjataan yang terlalu canggih, yang belum bisa digunakan oleh orang Arab sendiri. Frustrasi belum tercapainya cita-cita pan-Arab, sebuah ide yang mendambakan berdirinya satu negara nasional Arab dengan penduduk 200 juta, dan menghapuskan garis buatan perbatasan negara Arab, yang dipaksakan oleh pemerintah kolonial Inggris dan Prancis setelah Perang Dunia I. Orang boleh tak bisa memaafkan Saddam Hussein atas kekejamannya selama ini. Tapi dalam keadaan frustrasi total inilah, Saddam Hussein muncul sebagai sebuah lambang kekerasan untuk melampiaskan sebuah keputusasaan. Timur Tengah akan menjadi kancah yang lebih militan dan lebih keras. Dunia akan kehilangan Timur Tengah yang moderat dan lebih rasional. Dampak campur tangan AS di Timur Tengah juga akan terasa buat OPEC. Organisasi negara pengekspor minyak ini menghadapi situasi yang unik dan sekaligus sulit. Krisis di Teluk Persia telah membatalkan semua yang diputuskan dalam sidang terakhirnya di Jenewa bulan lalu, terutama yang menyangkut kuota produksi minyak. Permintaan AS kepada Arab Saudi, Venezuela, dan Emirat Arab untuk menambah produksi minyaknya dengan 4 juta barel sehari, untuk menutup kekurangan akibat terhentinya pemasokan minyak dari Irak dan Kuwait, akan menimbulkan masalah "kuasi yuridis" buat OPEC. Sebab, ketiga negeri ini tak mau dicap sebagai pelanggar ketentuan kuota yang ditetapkan OPEC. Dan OPEC memang akan menemui situasi baru bila anggotanya bertemu lagi nantinya. Semula OPEC bisa mengabaikan pengaruh luar dalam pengambilan keputusan. Sekarang, OPEC tak bisa begitu saja mengabaikan suara Amerika. Kepentingan AS akan menggantung di awang-awang, di mana saja OPEC bersidang. Sebab, bila krisis sekarang ini berlalu, Arab Saudi dan Kuwait akan harus membayar utang terima kasihnya kepada Amerika.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus